Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di atas salah satu jembatan penyeberangan di Jalan Kramat Raya, misalnya, ada spanduk berteks "Cegah Kembalinya Peristiwa G30S-PKI". Di bagian kirinya ada lambang Partai Persatuan Pembangunan dan tulisan DPW PPP Jakarta. Spanduk serupa ada di depan Komdak. Teksnya berbunyi "Kerusuhan, Penjarahan, Teror, Instabilitas, Sabotase Gaya PKI". Di sudut kanan bawah ada tulisan Badan Kontak Pemuda Remaja Masjid Indonesia. Di jalan lain terpampang spanduk dengan tulisan merah dan putih, "Komunis, Nasakom, PRD, Forkot, Semua Sama: Pembuat Kerusuhan dan Anarkhi".
PRD, Forkot? Itulah dua kelompok mahasiswa yang tampaknya dicecar. PRD, kependekan dari Partai Rakyat Demokratik, adalah partai yang dituduh terlibat dalam aksi kerusuhan 27 Juli 1996. Sedangkan Forkot alias Forum Komunitas Mahasiswa se-Jabotabek adalah organisasi tanpa pimpinan yang beranggotakan mahasiswa di 47 kampus. Forkot inilah yang aktif mengadakan aksi demonstrasi menuntut Soeharto--belakangan juga Habibie--turun karena dianggap tak bisa menyelesaikan krisis moneter yang membelit rakyat.
Cecaran makin terlihat dalam Apel Siaga Antikomunis yang diselenggarakan oleh Forum Umat Islam Penegak Keadilan dan Konstitusi (Furkon) di halaman Masjid Istiqlal, 30 September lalu. Acara itu diikuti oleh lebih dari 25 ribu umat Islam dan menampilkan beberapa tokoh seperti Zainuddin M.Z. dan Emha Ainun Nadjib. ??Pasukan komunis itu menyusup di mana-mana, militer, organisasi masyarakat, birokrasi, dan mahasiswa,?? teriak Husni Thamrin, mantan ketua Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia.
Tudingan itu membuat PRD dan Forkot marah. Dalam aksi di depan Gedung DPR Rabu dua pekan silam, giliran Forkot menggelar spanduk jawaban. "Aksi Kami Tidak Ditunggangi Komunis", begitu antara lain spanduk yang mereka bawa. Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum PRD, memandang cara tersebut sengaja digunakan oleh negara, pemerintah, dan militer untuk membunuh kesadaran masyarakat atas reformasi dengan memanipulasi sentimen. "Seolah-olah kelompok kritis identik dengan komunis,?? kata Budiman, yang kini masih mendekam di LP Cipinang.
Lain lagi analisa Marcus Mietzner, murid pengamat politik Harold Crouch yang kini sedang membuat disertasi tentang hubungan ABRI dan Islam. Menurut dia, spanduk-spanduk dari lembaga Islam tersebut merupakan bukti bahwa ada kelompok internal dalam tubuh ABRI yang menggunakan Islam sebagai kekuatan politik yang harus dimobilisasi untuk melawan munculnya kembali komunisme. Selain itu, "Saya melihat mahasiswa itu membahayakan posisi Habibie. Karena itu, mereka mencap saja gerakan itu sebagai gerakan komunis,?? ujarnya. Kalau dilihat dari apa yang dibicarakan dalam Apel Siaga Antikomunis pekan lalu, pendapat itu ada benarnya. Salah satu pernyataan sikap yang diambil Furkon waktu itu adalah menolak ide Forkot untuk mengganti pemerintahan Habibie dengan Komite Rakyat.
Tentu saja tuduhan tersebut dibantah oleh yang bersangkutan. Husni Thamrin, bekas anggota DPR yang juga menjadi salah seorang pembicara dalam apel tersebut, menolak tuduhan bahwa ia punya hubungan dengan spanduk-spanduk tersebut. ??Di mana aku buat? Aku punya duit juga enggak, spanduk macam apa, sih??? bantahnya.
Sebetulnya, peringatan model begini bukan hal baru. Sejak bertahun lalu, tiap menjelang tanggal 30 September, masyarakat selalu diingatkan tentang kekejaman PKI. Maka, selain pencekokan film Pengkhianatan G-30-S/PKI yang wajib diputar di semua stasiun televisi, orang pun banyak mendengar peringatan bahaya komunis lewat komentar-komentar pejabat pemerintah. Tahun ini, tradisi itu agak berbeda karena aksi peringatan juga dilakukan oleh pihak di luar pemerintahan.
Ketua Komite Indonesia untuk Solidaritas Islam Dunia (Kisdi), Ahmad Sumargono, punya alasan sendiri mengapa mereka perlu melakukan aksi seperti itu, yaitu agar masyarakat tak lengah. Ahmad melihat sejumlah indikasi bahwa pola penjarahan yang meruyak belakangan ini mirip semasa 1960-an. Pola ini mengingatkannya pada gerakan Barisan Tani Indonesia. Penggalangan kekuasaan juga mulai terlihat, terutama di daerah-daerah. Aspirasi mereka dianggapnya sudah keluar dari gerakan mahasiswa. "Penjarahan, pembakaran itu kan ciri bahwa gerakan sudah tidak manusiawi. Saya lihat ada penyimpangan, ada penunggangan," ujar Ahmad. Sebagai ideologi, bagi Ahmad, komunis tak bisa mati.
Ia mengaku tak langsung menunjuk hidung Forkot sebagai komunis. Hanya, ia menasihati agar forum itu waspada. Soalnya, kalau memberi toleransi pada gerakan yang ala komunis ini, berarti ia merupakan ancaman bagi kekuatan yang antikomunis.
Forkot sendiri menganggap isu komunis di tubuh mereka sebagai lelucon yang tidak lucu oleh para pembuat spanduk dan selebaran. "Bagaimana kami bisa jadi komunis kalau kami sendiri tidak tahu apa itu komunis?" ujar Burhanudin, salah satu aktivis Forkot. Maklum, Burhanudin dan rata-rata aktivis Forkot lainnya lahir pada era 1970, jauh setelah PKI tutup buku di Indonesia. Menurut mahasiswa semester sembilan Fakultas Ushuludin IAIN Jakarta ini, komunis sudah tidak relevan lagi karena secara kultural di Indonesia sebenarnya bisa dikatakan tidak ada tempat bagi komunis.
Tak hanya anak-anak muda ini yang heran dengan "hantu" komunis yang terus dihidupkan ini. Bagi Pramoedya Ananta Toer, salah seorang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi mantel PKI dulu, tuduhan bahwa mahasiswa yang demonstrasi merupakan komunis ini sekadar keinginan penguasa untuk menjaga stabilitas. Padahal, menurut penulis buku Rumah Kaca ini, mereka naik justru karena mahasiswa dan anak-anak muda. Baginya, komunis kini sudah tidak ada apa-apanya. Ini sudah terbukti ketika komunis belakangan kembali ke Uni Soviet.
Sabandi Rewang, yang pernah menjabat sebagai ketua PKI Jawa Tengah dan sekretaris Komite Sentral PKI, memperkuat Pram. "Sekarang ini PKI sudah tidak ada. Tidak mungkin PKI muncul lagi. Tokoh-tokohnya pun sudah tidak ada," tutur mantan anggota politbiro eksekutif PKI itu.
Bukankah ada kabar orang-orang PKI kini berkumpul di Gerakan Rakyat Indonesia (GRI)? Hal ini dibantah oleh Yusuf Ishak, bekas wartawan yang sempat ditahan selama 10 tahun di rumah tahanan militer Budi Utomo. ??Itu bukan orang-orang PKI. Mereka adalah pelajar yang pada 1965 berusia 19 tahunan, yang sama sekali tidak tahu soal G30S-PKI,?? ujarnya. Dengan adanya tuduhan soal GRI yang tak mendasar itu--juga tudingan bahwa PRD dan Forkot adalah PKI--Yusuf menganggap ucapan pemerintah tentang adanya ancaman PKI itu omong kosong belaka.
Adapun Rewang mempunyai analisis lain. Baginya, penyebaran isu bahwa PKI bakal hidup lagi itu disengaja ditiupkan untuk menakut-nakuti orang agar tidak bergerak, terutama menghadapi pemilu mendatang. Megawati kini sudah tampak sangat besar dan mengakar. Penguasa menganggap, dengan menebar rasa takut, para mahasiswa yang menuntut agar Habibie turun itu akan berhenti melakukan aksi. "Sekarang kita menghadapi bahaya Orba, bukan bahaya laten komunis," Rewang menegaskan.
Apa pun pendapat mereka, sikap ABRI tampaknya tidak berubah. Komunis tetaplah "hantu" yang perlu diwaspadai. Lalu, soal tudingan bahwa gerakan mahasiswa ditunggangi komunis? ??Kami tidak menuding, Namun, kalau ada informasi ke arah itu, kami akan melakukan investigasi," kata Kepala Pusat Penerangan ABRI, Mayjen Syamsu Maarif.
Wicaksono dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo