Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika melihat perkembangan yang berlangsung di partai berlambang banteng itu belakangan ini, keyakinan tadi bukan sesuatu yang berlebihan. Sebab, partai pimpinan putri Bung Karno tersebut memang sedang kebanjiran dukungan. Lebih-lebih para pendukung tadi bukanlah berasal dari "pendukung tradisional" partai yang dekat dengan masyarakat kalangan menengah-bawah itu.
Seperti yang terjadi Sabtu lalu, di kantor pusat PDI Perjuangan, Jakarta, sepuluh orang yang mewakili 217 anggota baru PDI dan dilantik Megawati itu datang dari kelompok masyarakat yang beragam. Bahkan, dua di antaranya adalah purnawirawan ABRI berpangkat brigadir jenderal yang mengaku mewakili 150 pensiunan marinir lainnya.
Dukungan terhadap PDI pimpinan Megawati memang ibarat lembar-lembar kain spanduk "Posko PDI Perjuangan" yang jumlahnya ratusan, bahkan mungkin ribuan, memenuhi mulut-mulut jalan dan gang di seantero Jakarta dan kota lainnya. Dan kesetiaan pendukung Mega tidak hanya berhenti pada lembaran kain.
Dengan kekuatan yang solid, pendukung Mega--bersama dengan kelompok proreformasi saat itu--mampu melumpuhkan PDI Soerjadi (hasil Kongres Medan, rekayasa pemerintah) di ajang Pemilu 1997. Mereka bisa menggembosi perolehan kursi PDI dari 54 menjadi hanya 11 kursi. Dan pukulan itu bukan hanya untuk Soerjadi dan kawan-kawan, tapi juga bagi penguasa saat itu.
Selain sudah menunjukkan basis kekuatannya, Megawati kini juga sudah memperluas ??arena bermain??-nya. Dulu, di era Soeharto, ia terperangkap pada pola permainan penguasa (disibukkan dengan urusan legalitas PDI Munas atau PDI Kongres), tapi kini di era Habibie--selain menafikan PDI non Perjuangan--Megawati telah memperluas koalisi taktis dan ideologisnya.
Seperti yang digambarkan cerita di depan, rentang ideologis dan koalisi Mega sudah jauh lebih lebar sekarang ini. Sesuatu yang sulit dibayangkan sebelumnya bahwa PDI Mega, yang selalu diganggu penguasa, kini bisa menjadi wadah bagi sekelompok masyarakat dari lingkungan militer.
Tabu itu dibuka oleh mantan Komandan Sekolah Komando ABRI, Mayjend (Purn.) TNI Theo Syafei, mantan Panglima Daerah Militer XII/Cenderawasih, Mayjen (Purn.) Raja Kami Sembiring Meliala, dan Brigjen (Purn.) Soenarso, yang pernah menjadi asisten atase militer KBRI Moskow, yang resmi menjadi anggota partai September kemarin.
Langkah Theo dan kawan-kawan merupakan semacam penegasan saja dari kekecewaan sebagian kalangan militer pensiunan terhadap pemerintahan Habibie. Hal itu, antara lain, disebabkan oleh gagalnya sekelompok purnawirawan yang menjagokan Edi Sudrajat sebagai ketua umum Golkar, dalam musyawarah nasional luar biasa Golkar Juli lalu, serta masuknya orang-orang Habibie ke elite pemerintahan.
Mereka yang kecewa tadi antara lain bisa diidentifikasi lewat Barisan Nasional, yang ketika dideklarasikan tegas-tegas menyatakan bahwa ??Megawati pemimpin sejati rakyat??. Dalam organisasi ini antara lain berhimpun tokoh Golkar yang datang dari kalangan militer--purnawirawan tepatnya--seperti Try Sutrisno, Edi Sudradjat, dan Kemal Idris.
Dukungan dari kalangan purnawirawan di Barisan Nasional ini bukan hanya berarti adanya kemungkinan dukungan bagi Megawati dari kalangan Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri), tetapi juga dukungan dari organisasi di luar militer yang selama ini berafiliasi ke Golkar.
Sebab, dalam Barisan Nasional juga berhimpun tokoh seperti Sarwono Kusumaatmadja, Siswono Yudohusodo (keduanya aktif di Gerakan Keadilan dan Persatuan Bangsa), Maulana Isman dan Tjahyo Kumolo (keduanya dari Komite Nasional Pemuda Indonesia), yang mestinya masih memiliki jaringan pendukung.
Namun, jauh sebelum itu, Mega juga sudah runtang-runtung dengan tokoh Islam tradisional Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU, salah satu organisasi yang memiliki pengikut yang besar. Bahkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, pada Juli lalu, secara lisan menyatakan bergabung dengan Megawati.
Meskipun pernyataan Gus Dur itu bersifat pribadi, paling tidak ada peluang bagi Mega untuk juga merangkul pendukung Gus Dur. Dan di acara pelantikan di kantor pusat PDI Perjuangan, Lentengagung, Sabtu kemarin, Hasyim Wahid, adik kandung Gus Dur, sudah menunjukkan kepeloporannya sebagai anggota PDI.
Dengan demikian, pendukung Mega, yang selama ini banyak datang dari perkotaan, akan meluas ke masyarakat di daerah dan kota-kota kecil, konsentrasi terbesar pengikut Gus Dur. Perpaduan Gus Dur--Mega seakan memunculkan perekat politik baru, yakni Islam yang nasionalis dan nasionalis yang Islam.
Suatu perkembangan baru lain, pendukung Mega bukan lagi seperti gambaran PDI pada masa lalu, yakni datang dari kalangan bawah. Secara sistematis, PDI Mega juga menajamkan agendanya merangkul kalangan kelas menengah dan profesional.
Caranya, antara lain, dengan menggelar sarasehan ??Konsep dan Program PDI Perjuangan?? di hotel bintang lima Gran Melia, Jakarta, akhir September lalu, yang sekitar dua ribu pesertanya juga datang dari kalangan "berbintang lima" alias kelas menengah atas.
Upaya ini, selain merupakan ajang tatap muka antara tokoh PDI Perjuangan dan (calon) pendukungnya, juga ajang kampanye bahwa partai pimpinan Mega sudah siap dengan konsepnya.
Dan kampanye itu tampaknya membuahkan hasil. Seorang penggagas Serikat Profesional Untuk Reformasi (SPUR), Hotasi Nababan, misalnya, merasa tertarik dengan platform yang ditawarkan PDI saat acara di Gran Melia tersebut. ??Karena itu pula, kami dari kalangan profesional juga ingin menyumbangkan pemikiran agar PDI Mega bisa lebih masuk ke kalangan kelas menengah,?? kata eksekutif di perusahaan multinasional ini kepada I.G.G. Maha Adi S. dari TEMPO.
Melihat potensi yang dimiliki Megawati, tidak mengherankan jika pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Cornelis Lay, percaya bahwa peluang buat Mega ke kursi presiden bukan hal yang mengada-ada. Keinginan pendukung PDI Perjuangan agar Megawati mencalonkan diri sebagai Presiden--jika partainya menang dalam Pemilu 1999--menurut Cornelis, memang berdasar.
Menurut cendekiawan yang sering menyumbangkan pemikirannya ke PDI Perjuangan itu, selain sudah membuktikan dirinya sebagai pemimpin dengan moralitas tinggi dan berbasis sosial yang luas, ??PDI Mega adalah satu dari sedikit partai yang sudah melakukan konsolidasi dan memiliki infrastruktur,?? kata Cornelis.
Ramalan Cornelis dan harapan jutaan anggota PDI memang baru akan teruji di pemilu mendatang. Namun, semua itu berpulang kepada kesiapan dan keinginan masyarakat Indonesia untuk menciptakan pemilu yang bersih bagi kepentingan politik mereka.
Jika tidak, poster bertuliskan ??Megawati The Leader of The Future??, yang terpampang di salah satu sudut jalan di kawasan wisata Nusadua, Denpasar, hanya akan menjadi sekumpulan huruf yang bisu.
Rustam F. Mandayun, L.N. Idayanie, Agus S. R., dan biro-biro
Infografik:
TARIK-ULUR IZIN KONGRES PDI PERJUANGAN | |
22 September: | Kapolri Letjen Roesmanhadi mempersilakan Megawati menyelenggarakan kongres di Bali, asal jangan dengan nama PDI. |
23 September: | DPP PDI Perjuangan mengirim surat permohonan izin pelaksanaan kongres PDI di Denpasar ke Mabes Polri, dengan tetap memakai nama PDI. Tanpa embel-embel. |
23-29 September: | Kabarnya, Mega beberapa kali menemui Pangab Jenderal Wiranto dengan perantaraan Gubernur Lemhannas Letjen Agum Gumelar dan Menteri Transmigrasi Letjen A.M. Hendropriyono untuk mengurus izin kongres. |
29 September: | Menhankam/Pangan Jenderal Wiranto mengatakan akan memberi izin kongres asal ada jaminan dari Mega bahwa tak akan terjadi kerusuhan. |
30 September: | Kapolri Letjen Roesmanhadi menyatakan secara prinsip kepolisian telah memberi izin kepada Pdi untuk mengadakan kongres di Bali |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo