Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibatnya, sebuah gurauan asal Jawa kini populer di kalangan para perwira ABRI. Mereka menyebutnya dengan kode empat kata: ngalah, ngomel, ngalih, dan ngamuk. Alkisah, menurut gurauan ini, tentara itu kalau mendapat tekanan pada awalnya akan mengalah. Kalau tekanan itu tidak juga berhenti mereka akan mulai ngomel (menggerutu). Jika gerutuan itu tetap tak diindahkan, pilihannya adalah ngalih (pindah). Kalau jurus ini pun tidak mengurangi tekanan yang ada, "Ya, kita ngamuk," kata Letnan Jenderal Suyono sambil tertawa. Lantas, di mana posisi ABRI sekarang? "Sedang pindah dari ngomel ke ngalih," jawab Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Keamanan itu setengah bercanda.
Dalam nada yang lebih serius, Panglima ABRI Jenderal Wiranto mengomunikasikan pesan senada dalam pernyataan pers hari ulang tahun ABRI, Ahad 4 Oktober lalu. "Apakah rela masyarakat yang berbudaya dan agamis ini diwakili oleh golongan tertentu dengan cara menghujat, menghina, dan mempermalukan ABRI yang berisi prajurit dan keluarga serta warakawuri/janda dan anak-anak yatimnya, hanya untuk kepentingan dan kepuasan politik semata?" kata Wiranto.
Emha Ainun Nadjib menjawab pertanyaan pimpinan ABRI itu dengan kumpulan kata yang agak puitis. "ABRI itu bukan iblis yang pasti jahat dan bukan pula malaikat yang pasti baik," tutur kiai mbeling ini kepada para pemirsanya. "ABRI adalah kumpulan manusia seperti kita dengan segala macam kemungkinan dan ketidakpastiannya," ujar Cak Nun.
Penuturan itu agaknya merupakan upaya budayawan muda ini membangun jembatan batin antara masyarakat dan ABRI, yang saat ini terpisah oleh jurang sakit hati masa silam. Maklum, pendekatan keamanan yang dilakukan institusi militer ini kepada rakyat pada masa Orde Baru telah menimbulkan berbagai ekses yang menyebabkannya menjadi sasaran hujatan pada era reformasi sekarang ini. Sementara itu, pendekatan kesejahteraan tentu terasa sulit dilakukan pada saat krisis moneter sedang melilit.
Walhasil, ABRI dilihat Emha membutuhkan terobosan baru dalam interaksinya dengan rakyat banyak. "Yang saya tawarkan adalah pendekatan kebudayaan," kata Emha. Maka, pemirsa TVRI pun diajaknya menyaksikan Panglima ABRI Jenderal Wiranto menyanyi dengan mengenakan pakaian sipil, dan Ketua Fraksi ABRI Mayjen Ahmad Rustandi berdialog dengan berbagai kalangan masyarakat dalam acara temu budaya yang dipandunya dengan diselingi iringan musik Kyai Kanjeng.
Tentu upaya ini bukan dimaksudkan Emha untuk mengubah angkatan bersenjata menjadi angkatan budayawan. Organisasi yang merupakan penanggung jawab utama keamanan nasional ini rupanya meminta bantuannya dalam menyampaikan citra ABRI yang baru. "Saya bersedia membantu karena ABRI mengakui telah melakukan berbagai kesalahan di masa lalu dan sekarang ingin kembali ke pangkuan rakyat," kata tokoh yang biasa bersuara kritis itu.
Dorongan untuk "kembali ke pangkuan rakyat" itu tampaknya memang merupakan aspirasi yang cukup kental di kalangan para prajurit. "Kerusuhan di Jakarta Mei lalu menunjukkan pada kami bahwa pasukan kita tidak terlatih untuk mengatasi lingkungan masyarakat yang memusuhinya," kata seorang jenderal berbintang tiga yang tak mau disebut namanya.
Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letnan Jenderal Bambang Susilo Yudhoyono melihat penyebab munculnya reaksi negatif masyarakat terhadap ABRI itu sebagai dampak penyalahgunaan kekuatan ABRI oleh panglima tertinggi untuk melestarikan kekuasaannya. Penyalahgunaan wewenang ini menyebabkan implementasi doktrin ABRI sebagai tentara rakyat bergeser menjadi "tentara kekuasaan", sehingga para prajurit berperilaku seperti tentara pendudukan dan menimbulkan reaksi perlawanan rakyat. Karena itu, untuk memastikan kesalahan ini tidak berulang di masa depan, "Garis komando antara presiden sebagai panglima tertinggi dan panglima ABRI akan dirumuskan kembali," tuturnya.
Rumusan baru itu sebenarnya memperjelas pengertian bahwa ABRI adalah "alat negara" dan bukan "alat pemerintah". Konsekuensinya, jajaran kepolisian harus dilepas dari struktur ABRI. Maklum, tugas polisi sebagai aparat penegak hukum menyebabkannya berperan sebagai "alat pemerintah". Wajar jika Jenderal Wiranto lantas mengumumkan rencana pemisahan polisi dengan tentara sehingga polisi bukan lagi bagian dari ABRI.
Ini pun sebenarnya bukan suatu hal yang istimewa. Sebab, dalam Undang-Undang Pertahanan Keamanan No. 20 Tahun 1982 disebut, sebenarnya tanggung jawab kegiatan operasional polisi berada di pundak Menteri Pertahanan dan Keamanan dan bukan di bawah Pangab. Hanya, perangkapan jabatan Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI oleh Jenderal Wiranto membuat batasan ini menjadi kabur.
Perangkapan kedua jabatan ini jelas tidak dapat ditoleransi lagi bila paradigma baru yang dinyatakan Bambang Susilo Yudhoyono diterapkan. Masalahnya, Departemen Pertahanan dan Keamanan adalah bagian dari aparatur pemerintah. Mungkin pula itu sebabnya suara yang mempertanyakan kapan perangkapan jabatan ini akan dihilangkan sempat muncul ketika Jenderal Wiranto mengadakan dengar pendapat dengan para wakil rakyat di Komisi I DPR, pekan lalu.
Berarti, akan segera terjadi perubahan di pucuk pimpinan ABRI? Belum tentu demikian. Soalnya, implementasi reformasi di jajaran ABRI tidak akan dilakukan seketika, melainkan secara bertahap. Untuk memindahkan jajaran kepolisian saja sedikitnya dibutuhkan perubahan dua undang-undang dan itu membutuhkan waktu. Mantan Kapolri Jenderal Awaloeddin Djamin memperkirakan operasionalisasinya mungkin baru terwujud tahun 2000.
Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan, Letjen Suyono, menyatakan tahap pertama pelepasan polisi dari tentara adalah dengan melepas tanggun jawab pembinaan yang selama ini berada di Markas Besar ABRI ke Departemen Pertahanan dan Keamanan. "Tahap-tahap selanjutnya dilakukan seuai dengan kesiapannya," kata Suyono.
Kalaupun penyapihan polisi dari organisasi tentara telah dilakukan sepenuhnya, bukan berarti sasaran kritik masyarakat telah sirna. Peran non-militer ABRI, terutama konsep dwifungsi, merupakan salah satu topik yang ramai diperbincangkan masyarakat. Secara resmi Jenderal Wiranto mempersilahkan masyarakat untuk memutuskan persoalan ini. Namun, bila hasil jajak pendapat Tempo yang menjadi acuan, tawaran Pangab ini tidak akan memecahkan masalah. Pasalnya, kekuatan mereka yang pro dan antidwifungsi ini ternyata cukup berimbang (lihat Monitor).
Kompromi mungkin didapat pada kesepakatan mengurangi peran sosial politik ABRI, yang selama ini, seperti diakui oleh Bambang Susilo Yudhoyono, sebagai hal yang "berlebihan". Begitu banyaknya energi yang terkuras ke peran nonmiliter hingga peran hankamnya sendiri terasa "kedodoran". Sementara itu, peran nonmiliter yang berlebihan menyebabkan ekses yang menimbulkan perlawanan masyarakat.
Tindakan tercela masa lalu seperti itu, menurut Panglima ABRI, akan terus-menerus dikoreksi. Namun, masih menurut Jenderal Wiranto, harus fair. Dalam hal ini, sungguh tepat pendapat seorang pakar yang menyatakan bahwa demi kepastian hukum, tindakan aparat pada suatu sistem politik tertentu di masa lalu hanya bisa ditakar dan dinilai dengan aturan dan nilai serta hukum positif yang berlaku saat itu.
Dalam konteks inilah Jenderal Wiranto juga menegaskan komitmen ABRI untuk menuntaskan berbagai kasus seperti penculikan aktivis, penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, penyidikan tuduhan pemerkosaan massal dan penjarahan terorganisasi.
Memang masih harus ditunggu sejauh apa niat baik yang diucapkan Panglima ABRI ini akan terealisasi. Sebab, seperti dikatakan Kyai Mustofa Bisri dari pesantren Rembang, Jawa Tengah, "Pernyataan para pimpinan ABRI itu umumnya sudah benar, tapi dalam prakteknya semakin ke bawah semakin membuat kami takut," kata Gus Mus. Kesenjangan yang masih lebar antara doktrin dan penerapannya di lapangan ini memang diakui dengan jujur oleh Mayjen Achmad Rustandi. "Kami memang masih lemah di implementasi," katanya.
Barangkali ini kelemahan yang harus segera direformasi.
Bambang Harymurti, Hani Pudjiarti, Purwani Diyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo