Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEMPOL dan telunjuk tangan kanan Wahyu Ningrat menjepit ibu jari tangan kanan Nenah. Kedua tangan mereka digenggam oleh tangan kiri wali perempuan. Sesaat kemudian terdengar ijab kabul dalam bahasa Sunda halus, tanpa pernyataan syahadat atau persaksian ala agama sebagaimana lazimnya. Aliran sesat lagi?
Bukan. Ini hanyalah pernikahan antarpenganut kepercayaan Perjalanan, yang berlangsung di Desa Pasawakan, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Kamis dua pekan lalu. Seratusan anggota aliran kebatinan asli Bandung yang menghadiri upacara itu terlihat sumringah. Perasaan mereka lebih plong karena hak untuk tidak memilih salah satu agama resmi sudah diakui negara.
Begitulah. Sejak pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada akhir Desember tahun lalu, para penghayat kepercayaan memiliki kedudukan sama dengan penganut agama resmi. Ini memang terobosan penting bagi sekitar sembilan juta penghayat kepercayaan dari 195 organisasi di Tanah Air.
Sejak diakui melalui Ketetapan MPR Tahun 1978, posisi penghayat serba tanggung. Aliran kepercayaan dianggap sebagai produk budaya asli, bukan agama. Akibatnya, banyak penganut kepercayaan terpaksa mencomot salah satu dari enam agama resmi negara—Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu—agar hak sipil mereka diakui, misalnya untuk pernikahan atau mengurus kartu penduduk (KTP).
Memang ada beberapa penganut yang bisa mengesahkan perkawinannya di catatan sipil melalui sidang pengadilan. ”Tapi lebih banyak gagalnya, karena tidak ada dasar hukumnya,” kata Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sulistyo Tirtokusumo. Sejumlah penghayat lalu nekat menikah secara adat, sehingga tidak mendapat pengakuan negara.
Situasinya kini berubah, memang. Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 37 tentang pelaksanaan Undang-Undang Administrasi Kependudukan terbit dan berlaku efektif pada Agustus lalu, para penghayat tidak perlu lagi beragama. Kolom agama dalam KTP mereka bisa dikosongkan, dan—ini yang penting—mereka bisa menikah di depan pemuka penghayat kepercayaan aliran masing-masing untuk kemudian didaftarkan di catatan sipil. Langsung, sonder melalui penetapan pengadilan.
”Ini memang lompatan besar bagi penghayat kepercayaan,” kata Sulistyo. Itu sebabnya Wahyu dan Nenah sampai rela menunda perkawinan mereka setahun demi menunggu keluarnya peraturan pemerintah itu.
Perkawinan ini merupakan peristiwa ketiga di kalangan aliran Perjalanan sejak berlakunya undang-undang baru itu. Sebelumnya, ada perkawinan massal empat pasangan di Bandung dan satu pasangan lagi menikah di Bekasi, Jawa Barat. Undang-undang ini juga memungkinkan pasangan yang dulu tidak menikah secara aliran untuk mendaftarkan perkawinan mereka di catatan sipil.
Namun, menurut Ketua Umum Perjalanan, Andri Hernandi, opsi itu tidak akan banyak dipilih para penghayat. Ini lantaran mereka harus bercerai dulu secara agama, lalu menikah menurut aliran yang diyakininya. ”Nanti seperti ada tendensi pindah agama. Itu yang dihindari,” katanya. Apalagi masyarakat penghayat masih trauma dengan cap sebagai ateis, yang marak setelah peristiwa G30S lalu. ”Sudahlah, yang penting sekarang kami sudah diakui. Itu lebih penting,” katanya.
Tidak semua kelompok penghayat menyambut peraturan baru itu dengan sigap. Sumarah, yang termasuk kelompok aliran besar, misalnya, belum menunjuk pemuka. ”Kami belum membuat keputusan tentang pemuka aliran,” kata Ketua Sumarah, Suko Sudarso. Selama ini anggota Sumarah menikah lewat agama resmi.
Meski undang-undang yang menjamin hak penghayat sudah lahir, tidak demikian dengan praktek di lapangan. Ketua Penghayat Budi Daya, Engkus Ruswana, mengisahkan sejumlah anggotanya di Bandung masih belum bisa menikmati KTP dengan kolom agama yang dikosongkan. Alasannya macam-macam: belum ada petunjuk pelaksanaannya atau program perangkat lunak belum siap.
Masih ada masalah lain. Anggota yang menikah menurut aliran belum bisa mendaftarkan perkawinannya di catatan sipil. Ini lantaran mereka banyak yang tak punya akta kelahiran. ”Padahal banyak orang tua yang tidak menikah secara agama atau di catatan sipil, sehingga anak mereka tidak punya akta kelahiran,” katanya.
Yudono, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo