Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pemuda dan dua pemudi Indonesia sungguh tangkas. Dengan bahasa Inggris yang fasih, mereka menyanggah dan menjawab pertanyaan sederet orang dari berbagai bangsa yang mencecar mereka. Materi yang diperdebatkan bukan soal ecek-ecek. Ada suatu negara baru yang memisahkan diri dari induknya dan muncullah berbagai persoalan hukum internasional: mulai perlindungan anak, pornografi, hingga situasi perang. Dan amat membanggakan, keempatnya tak pernah kehilangan kata-kata.
Melissa Butar-butar, 18 tahun, Fitria Chairani, Novriadi Erman, dan Harjo Winoto, 20 tahun, dua pekan lampau membuktikan bahwa remaja Indonesia mampu diasah jadi pengacara berskala internasional. Dalam kompetisi Pengadilan Semu Hukum Internasional Asia Cup 2006 di Mita Conference Hall, Tokyo, Jepang, itu mereka bertindak sebagai pengacara tergugat yang harus bersilat lidah dengan penggugat dan dewan juri. Hasilnya, untuk pertama kalinya para mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu berhasil menggondol Foreign Minister’s Award.
Kemenangan ini terasa manis karena tim dari Depok itu bertarung melawan tim tangguh dari berbagai universitas terkemuka. Misalnya, Universitas Hong Kong, Universitas Kyoto, Universitas Osaka, Universitas Malaya, Universitas Ateneo de Manila, Universitas Nasional Singapura, dan Universitas Chulalongkorn dari Thailand.
Tak cuma menggondol predikat tim nomor satu, Harjo, 20 tahun, juga menjadi pemenang kedua untuk kategori pembicara terbaik. Untuk penyusunan materi gugatan, tim UI merebut tempat ketiga.
Salah satu alasan empat sekawan ini meraih sukses, menurut mereka, karena kasus yang diperdebatkan terasa dekat dengan situasi di Tanah Air. Menurut Fitria, tema yang dilombakan langsung mengingatkan mereka pada situasi Indonesia-GAM (Gerakan Aceh Merdeka). ”Meski Aceh akhirnya tidak menjadi negara merdeka,” ujar Fitria kepada Tempo.
Penghargaan ini disambut gembira oleh Dekan Fakultas Hukum UI, Hikmahanto Juwono. ”Mereka begitu membanggakan,” ujarnya. Katanya, di usia mereka yang masih amat belia, bahkan dua di antaranya belum mengambil mata kuliah hukum internasional karena baru duduk di semester 3, mereka fasih menggunakan pasal-pasal dalam berbagai aturan internasional.
Sementara di depan para juri mereka tampak begitu profesional, sebenarnya sebelum memasuki gelanggang keempat mahasiswa itu sempat dilanda krisis percaya diri. ”Kami sempat grogi ketika menghadapi Hong Kong,” kata Harjo, yang kuliah di fakultas hukum lantaran terilhami film The Practice dan Boston Legal. Maklum, salah satu anggota tim Hong Kong pernah menduduki peringkat ke-13 dari 300 peserta Philip C. Jessup Competition di Amerika. Belum lagi pertanyaan para juri begitu tajam dan penuh jebakan. ”Sering kali pertanyaan mereka melebar ke mana-mana, dan kami harus bisa menjawabnya,” ujar Fitria.
Butuh pengorbanan untuk meraih kemenangan itu. Selama tiga bulan, mereka menggembleng diri secara keras. Proses dimulai saat fakultas mengadakan seleksi yang melibatkan puluhan mahasiswa. Tiap calon peserta dinilai dari kemampuan membuat gugatan maupun pembelaan dan cara menyajikannya—tentu saja dalam bahasa Inggris. Akhirnya jumlah peserta pun sedikit demi sedikit berkurang dan hanya tersisa empat mahasiswa.
Mereka melanjutkan persiapan dengan tekun melakukan riset berbagai aturan hukum dan perjanjian internasional. Perkembangan berbagai kasus dan konflik di seluruh dunia pun terus dimonitor. Dalam lomba, menurut Melissa, mereka tak hanya menyebut pasal-pasal, tapi juga harus memberikan contoh kasus yang ada. ”Itu memberikan nilai tambah,” kata Fitria.
Persiapan keras menyita waktu empat mahasiswa itu. Kuliah pun kadang terbengkalai. Mereka bertemu setiap hari, dari pukul 10 pagi hingga malam hari. Bahkan sering kali menginap di rumah Fitria, yang menjadi markas mereka. ”Kami pernah tidak tidur, belajar sampai jam 6 pagi,” ujar Harjo.
Untuk melatih keterampilan berdebat, Fitria kerap bicara sendiri di depan cermin bak orang gila. Puluhan kali pula ia belajar presentasi di depan teman-temannya. ”Sampai mereka bosan,” kata Fitri disambut tawa teman-temannya.
Semua pengorbanan itu tak sia-sia. Hikmahanto berharap kian banyak mahasiswanya mengikuti jejak para pemenang itu. ”Supaya kalau kita ada masalah di Mahkamah Internasional, tidak perlu menyewa pengacara asing yang mahal yang tidak punya sensitivitas terhadap Indonesia.” Sebuah harapan yang tidak terlalu muluk.
Purwani D. Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo