Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ipphos, riwayatmu dilelang

1 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INGAT foto proklamasi? Itu tiada duanya. Sebab, proklamasi memang dipotret hanya oleh Alex Mendur. Ia pendiri NV Indonesian Press Photo Service, atau Ipphos Coy. Ltd., yang beken sebagai Ipphos. Memang, kantor berita foto ini berdiri 44 tahun lalu atas prakarsa dua fotografer terkenal masa itu, Alexius Impurung Mendur (meninggal 1984) dan adiknya Frans Sumarto Mendur (meninggal 1971). Mereka berkongsi dengan kakak-beradik Umbas dan Alex Mamusung. Dokumentasi Ipphos pada Clash II nyaris musnah ketika Belanda menyerbu Yogya. Berkat bantuan Sri Sultan, sebagian diselamatkan di dalam Keraton Yogya. Kantor pusat di Jakarta pun sering digerebek. Banyak film negatif dirampas NICA. "Kalau bukan berkat kedua Mendur itu mungkin tak ada dokumentasi foto tentang kejadian penting di zaman revolusi fisik," tulis Haji Rosihan Anwar dalam pengantar Mat Kodak Melihat untuk Sejuta Mata, 1985. Koleksi sekitar 500 ribu master foto (film negatif) sekarang disimpan dalam kotak kayu di ruang sederhana, Jalan Hayam Wuruk 30, Jakarta. Nasibnya merana dijilat ngengat dan jamur. Ipphos minim kemampuannya merawat sesuai dengan aturan karena tak memiliki pengatur suhu udara atau pesawat antilembap. "Saya sampai nggak berani membukanya. Habis, banyak yang lengket," kata Nyonya Y.M. Mubagio-Mendur, 50 tahun. Ibu empat anak dan nenek tiga cucu ini putri kedua mendiang Alex Mendur. Ia baru dua tahun mengelola Ipphos, sejak Alex Mamusung, 75 tahun, mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Nasib film negatif yang terancam musnah itu menggugah Nyoman Moena. Eksekutif terkemuka dan tokoh bank ini bersama PWI Pusat berusaha menyelamatkan. Antara lain, dengan restorasi. Perlu ahli khusus, dan itu, kabarnya, ada di Jepang. yoman Moena yakin beroleh dukungan donatur. "Kalau bukan kita, siapa lagi yang harus menghargai foto bersejarah itu," ujarnya. Selain di Jalan Hayam Wuruk (d/h Molenvliet Oost 30), Ipphos pernah punya cabang di Yogya -- hingga kegiatan pemerintah RI pada kurun waktu hijrah dapat selalu diliput. Cabang Surabaya berdiri atas jasa baik Komodor Nazir, Komandan Angkatan Laut waktu itu. Cabang Palembang disponsori Dr. A.K. Gani dan Isa Anshari. Cabang Makassar (kini Ujungpandang) berdiri pada 10 November 1949 atas dukungan masyarakat. Kini markas satu-satunya di Jakarta bakal digusur pula. Gedung ini eks perusahaan Belanda, Fermont Cuypers. Mendur dkk. masuk sejak Oktober 1945, dan mempertahankannya dari penguasaan NICA. Izin usaha foto pers diperoleh dari Burgemeester van Batavia, atau Wali Kota Jakarta, 11 Juni 1946. Setahun kemudian dibuat akta notaris oleh Suroyo. Penetapan Menteri Kehakiman RI 17 Mei 1952 dan masuk Berita Negara RI di tahun yang sama. Suasana damai sehabis Konperensi Meja Bundar (KMB). Fermont kembali, 1950, dan menempati dua ruang muka, satu ruang panjang dan dua ruang belakang. Ketika Indonesia menagih Irian Barat dari Belanda, Fermont mudik ke negerinya. Ada nasionalisasi. Gedung Fermont ini masuk di Kementerian Pekerjaan Umum (PU), dan PT Virama Karya didudukkan di situ. Di lokasi 2.000 m2 itu jatah Ipphos 500 m2 -- selaku penyewa. Suatu hari, Juli 1976, Ipphos diminta hengkang oleh Virama. Namun, urusan tenang sejenak ketika Gubernur Ali Sadikin, 1977, menetapkan status gedung itu bersejarah. Status ini dibatalkan Gubernur Soeprapto, 1983. Kembali Ipphos sebagai penyewa. Awal 1988 Menteri PU membentuk "Panitia Pengosongan Gedung Hayam Wuruk 30". Ipphos dan Virama menjadi anggotanya. Namun, Juli tahun lalu, Virama "menembak" Ipphos dengan menggugat Pemerintah DKI. Gedung tua itu agaknya dianggap bikin kumuh deretan gedung jangkung yang kemilau di sana. Dengan alasan untuk perluasan usaha, Virama mendesak gedung dikosongkan. "Saya minta Rp 380 juta. Itu saya kira hanya 1/10 nilai tanah. Ditawar Rp 150 juta. Ya berat, dong," kata Nyonya Mubagio. Tiba-tiba ada edaran lelang dari Virama Karya, 21 Novemher lalu. Dan Senin kemarin muncul utusan calon pembeli dari PT Gajah Tunggal, pemilik pasar swalayan, jiran gedung itu. "Wong itu perkantoran biasa. Kalau dikatakan istimewa, ya, ada Ipphos di situ," kata Ir. Sajidi Pringgodarsono kepada Sri Indrayati dari TEMPO. "Gedung ini akan dijual setelah ada pernyataan Gubernur DKI dan pembicaraan dengan Departemen P dan K, itu bukan gedung bersejarah." Menurut Direktur Virama Karya itu, pemegang saham, termasuk Departemen Keuangan, memutuskan melelangnya. Ipphos dan alamat Jalan Hayam Wuruk 30 toh telanjur bagai ikan dan air dalam memori sejarah. Dalam kaitan pembatalan status gedung itu, 31 Mei 1983, Drs. Uka Tjandrasasmita, Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen P dan K, menyarankan kepada Gubernur DKI: "Kalau gedung itu harus diremajakan, hasil kegiatan perjuangan Ipphos selama revolusi fisik maupun aktivitas yang berkaitan dengan perjuangan bangsa tetap terabadikan dalam salah satu ruangan di gedung itu". "Usul simpatik ini pantas dipertimbangkan," ujar Nyoman Moena. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus