SUKSESI pucuk pimpinan di Provinsi Banten tampaknya jauh dari perhatian rakyat kecil. Asep, misalnya. Pemilik kios barang kelontong di Pasar Balaraja, Tangerang, ini mengaku tak peduli dengan pemilihan gubernur. Toh, siapa pun yang nantinya terpilih tak akan banyak membawa perubahan, begitu keyakinannya. "Dulu para pejabat berjanji, kalau Banten sudah jadi provinsi, hidup kita akan lebih baik. Nyatanya, sama saja," katanya. Bekas bagian dari Provinsi Jawa Barat itu resmi menjadi provinsi sendiri pada Oktober 2000 lalu.
Berbeda dengan suara rakyat kecil, pertarungan menuju kursi Gubernur Banten cukup riuh di kalangan politisi. Belasan calon, termasuk pengusaha Herman Sarens Sudiro dan Susila Budi Moeffreni, turut berlaga dalam pemilihan.
Namun, setelah melalui babak penyisihan, tinggal tiga calon yang melaju ke babak final, 17-18 Oktober. Mereka adalah wartawan senior Ace Masdupi Suhaedi, Deputi Bidang Regional Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Herman Haeruman, dan Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Banten Djoko Munandar. Untuk sementara, komposisi dukungan anggota dewan untuk ketiga calon cukup ketat. Ace mendulang 23 suara, Herman mengantongi 17 suara, dan Djoko meraih 17 suara.
Ketatnya kompetisi pemilihan gubernur memang masuk akal. Maklumlah, Banten yang berpenduduk 8 juta jiwa ini laksana gadis jelita dengan bakat melimpah. Beragam sumber kekayaan terpendam. Di antaranya 9 juta ton cadangan batu bara dan 10 ribu-200 ribu ton emas, yang tersebar dari Kabupaten Pandeglang sampai Serang. Belum lagi bila kita sebut potensi pemasukan dari kawasan wisata Anyer, Bandara Soekarno-Hatta, Pelabuhan Merak, bisnis properti di Tangerang, dan kawasan industri Cilegon-Tangerang, yang disesaki 4.500 pabrik.
Tahun lalu, sebelum menjadi Provinsi Banten, wilayah ini menyetor pajak Rp 1,2 triliun untuk kas Provinsi Jawa Barat. Singkat kata, potensi kekayaan Banten memang menggoda banyak pihak untuk mengelolanya.
Alhasil, politik uang pun berselemak di kancah pemilihan gubernur. Seorang calon dikabarkan membayar ratusan juta rupiah untuk satu suara anggota dewan yang terhormat. Calon yang lain diberitakan memborong suara satu fraksi penuh dengan menyetor Rp 5 miliar.
Betulkah demikian? Djoko Munandar, 54 tahun, calon gubernur dari PPP, tak membantah kemungkinan adanya praktek kotor money politics. "Itu bisa saja terjadi karena kompetisinya memang ketat," katanya. Djoko sendiri berduet dengan Ratu Atut Chosiyah, pengusaha asal Serang, calon dari Partai Golkar untuk posisi wakil gubernur. Namun, ia menolak dugaan dirinya turut bermain politik uang. "Saya berjalan sesuai dengan koridor peraturan yang berlaku," ucapnya.
Calon gubernur yang lain, Herman Haeruman, segendang setepukan. Warga asli Rangkasbitung, Banten, ini menilai pendekatan kekuasaan dan politik uang sudah tak berlaku. Masyarakat Banten adalah kumpulan jawara dan ulama yang sangat militan. "Mereka ini orang independen dan tak bisa diperintah begitu saja," kata Herman. Jadi, calon ideal adalah yang mampu menggaet hati masyarakat dan sanggup menjembatani berbagai pihak.
Sementara itu, kabar yang memanaskan kuping menerpa Ace Masdupi Suhaedi, yang menggandeng Tubagus Mamas Chaerudin, calon wakil gubernur yang juga Ketua PDI Perjuangan Banten. Ace, yang mantan Pemimpin Redaksi Lippostar.com, juga dikabarkan bagi-bagi duit untuk anggota dewan. Miliaran rupiah yang disebar itu dikabarkan mengucur dari James Riady, bos Grup Lippo. Imbalannya? Kebijakan Provinsi Banten nantinya diharapkan menguntungkan kepentingan bisnis Lippo yang bermarkas di Karawaci, Tangerang.
Memang, belum ada bukti konkret yang memastikan politik uang telah digelar Ace. Mantan wartawan Kompas ini pun menepis dugaan telah menebar fulus untuk memuluskan dukungan ke jabatan gubernur. "Saya enggak punya dukungan dana dari kelompok mana pun," kata lelaki 42 tahun ini. Seluruh program menuju kursi gubernur, Ace menekankan, adalah buah keringatnya sendiri. Ia lalu menyebut bantuan berbagai pihak termasuk ulama, kelompok mahasiswa, dan LSM yang bergiat di Banten sebagai modalnya. Pencalonan dirinya, menurut Ace, justru bermula dari keprihatinan terhadap calon-calon lain yang hanya mengandalkan otot dan uang.
Di pihak lain, petinggi Lippo enggan berkomentar apa pun mengenai hal ini. Namun, sumber TEMPO di perusahaan ini memastikan bahwa James Riady sudah kapok dengan politik main uang dan tak lagi mempraktekkannya. James tak mau mengulangi heboh kasus sumbangan US$ 1 juta untuk dana kampanye Presiden AS Bill Clinton, tahun 1996. "Lippo sudah belajar dari pengalaman," katanya.
Mardiyah Chamim, Edy Budiyarso, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini