Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jaringan Gusdurian mengecam upaya Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR yang melakukan pembangkangan konstitusi serta membahayakan kedaulatan hukum. Pengecaman ini merespons sikap DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi atau MK soal UU Pilkada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid menilai pembangkangan DPR terhadap putusan MK merupakan bentuk korupsi pada tatanan konstitusi. Sikap DPR itu, ujarnya, berpotensi menciptakan krisis hukum pada masa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menyoroti dua putusan MK yang diabaikan oleh DPR lewat rapat panja Badan Legislasi atau Baleg. Dalam rapat itu, Baleg DPR tidak mengakomodir putusan MK di pembahasan RUU Pilkada.
"Dua poin penting yang diabaikan oleh DPR dari putusan MK adalah terkait pengajuan calon kepala daerah dan batas usia calon," katanya dalam keterangan tertulis, Kamis, 22 Agustus 2024.
Dia menilai, syarat pengajuan calon kepala daerah yang dibahas dalam RUU Pilkada oleh Baleg DPR berpotensi membuat pelaksanaan pemilihan serentak itu mengalami berbagai masalah. Di antaranya seperti banyaknya kotak kosong di lebih dari 150 daerah hingga persekongkolan politik.
"Pilkada yang semestinya digunakan untuk memilih pemimpin rakyat hanya menjadi arena permainan elite politik yang mengabaikan kepentingan rakyat," ujarnya.
Selain itu, Alissa juga menyinggung putusan MK yang tidak diakomodir DPR soal syarat usia pencalonan kepala daerah. Menurut dia, hal semacam itu diduga dilakukan untuk meloloskan putra sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Kaesang Pangarep.
Kaesang baru berusia 29 tahun saat penetapan calon kepala daerah. Ia mengatakan, apabila putusan MK itu dijalankan, maka Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia itu teradang untuk maju.
"Sementara revisi UU Pilkada yang merujuk keputusan MA memungkinkan Kaesang mendaftar karena jika terpilih pada Pilkada mendatang, ia akan ditetapkan pada usia 30 tahun," ujarnya.
Padahal, Alissa mengatakan bahwa putusan MK ialah putusan yang final dan mengikat. Hal itu telah diatur di Pasal 24C UUD 1945, yang menyatakan bahwa kewenangan MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang.
Karena itu, ujarnya, semua elemen wajib taat menjalankan putusan MK tanpa menempuh upaya lain. Menurut dia, tidak menaati putusan MK merupakan bentuk pembangkangan dan pengkhianatan konstitusi.
Adapun Jaringan Gusdurian menyatakan sikap untuk meminta pemerintah menghentikan pembahasan RUU Pilkada. Alissa juga menyerukan para elite politik dan ketua umum untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok.
"Menyerukan kepada seluruh tokoh agama, jejaring masyarakat sipil, elemen mahasiswa, akademisi, buruh, dan kelompok masyarakat lainnya untuk melakukan konsolidasi nasional terkait upaya penyelamatan demokrasi dan konstitusi," kata Alissa.
Dia juga meminta kepada seluruh penegak dan komunitas Jaringan Gusdurian untuk melakukan konsolidasi dan menggalang dukungan masyarakat luas, sebagai upaya menjaga tegaknya konstitusi.