Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi, menegaskan tidak pernah meminta perpanjangan jabatan sebagai kepala negara. Hal tersebut disampaikan Jokowi di Solo, pada Senin, 30 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini saya ulangi lagi, tidak pernah yang namanya saya meminta perpanjangan tiga periode kepada siapapun," katanya di Solo, Jawa Tengah, Senin, dilansir dari Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu, Jokowi meminta agar isu tersebut ditanyakan kepada sejumlah pihak, salah satunya Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Sebagaimana diketahui, saat menjabat sebagai presiden, Jokowi masih tercatat sebagai kader PDIP. "Tanyakan saja ke Bu Mega, Mbak Puan, tanyakan saja ke partai. Kapan, di mana, siapa yang saya utus, nggak pernah ada," ujarnya.
Jokowi meminta kepada siapa pun untuk tidak melontarkan pernyataan yang tidak jelas kebenarannya. "Jangan mem-framing jahat seperti itu, nggak baik," kata dia.
Sebelumnya, Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus suap yang menjerat Harun Masiku. Penetapan nama Hasto Kristiyanto sebagai tersangka tertuang dalam surat perintah penyidikan atau sprindik bernomor Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 tanggal 23 Desember 2024.
Usai ditetapkan sebagai tersangka, Hasto memberikan pernyataan melalui media sosial pribadinya. Pada pernyataan tersebut, dia menyinggung soal pihak yang pernah meminta perpanjangan jabatan tiga periode kepada Megawati, meskipun tanpa menyebut nama.
Tanggapan Bahlil Lahadalia
Ketua DPP Partai Golkar Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa dirinya lah yang mengajukan ide untuk menunda waktu Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024.
"Tolong dicatat baik-baik ya. Sebelum saya menjadi Ketua Umum Golkar, ide pertama yang mengeluarkan untuk pilpres ditunda itu adalah ide Menteri Investasi yaitu saya," kata Bahlil saat jumpa pers di kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Selasa, 31 Desember 2024.
Hal tersebut sekaligus membantah pernyataan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang mengatakan Presiden ke 7 Joko Widodo yang meminta penundaan pilpres hingga perpanjangan masa jabatan menjadi tiga periode. "Jadi rasanya agak sok tau juga kelihatannya ya," kata Bahlil.
Bahlil menjelaskan, ide itu muncul lantaran kala itu situasi kondisi perekonomian Indonesia masih belum stabil pasca lepas dari masa pandemi COVID-19. Akibat kondisi perekonomian belum stabil, Bahlil pun mendapat masukan dari beberapa kalangan termasuk investor agar pilpres diundur terlebih dahulu sambil menunggu kondisi perekonomian pulih.
"Kalau memang dapat dipertimbangkan secara aturan memperbolehkan, ya kalau boleh pilpres nya ditunda. Ditunda atau dibuat pemilunya mundur, itu soal lain. Jadi nggak ada yang minta tiga periode," kata Bahlil.
Oleh karena itu, Bahlil mempertanyakan pihak-pihak yang menggulirkan isu bahwa Jokowi lah yang meminta perpanjangan masa jabatan ke pihak PDI Perjuangan.
Sementara itu, Ketua PAN, Zulkifli Hasan dan Luhut Binsar Pandjaitan yang sebelumnya getol menggaungkan wacana penundaan Pilpres 2024 belum angkat bicara soal pernyataan Jokowi tersebut.
Pada awal 2022, Zulhas menerangkan beberapa alasan yang membuat pihaknya berpikir Jokowi masih harus menjabat setelah 2024. Pertama, karena situasi pandemi yang masih berlangsung dan memerlukan perhatian khusus. Kedua, kondisi perekonomian yang belum stabil, sehingga pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat masih perlu melakukan pemulihan untuk kembali bangkit. Ketiga, situasi konflik global yang perlu diantisipasi.
Pada Maret 2022, Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi atau Menkomarves Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim memiliki data bahwa wacana penundaan pemilu sekaligus wacana 3 periode Jokowi didukung oleh 110 juta warganet. Ia menepis tudingan sejumlah pihak yang meragukan validitas data tersebut, maupun tudingan yang menyebut bahwa big data itu tidak benar.
Hendrik Khoirul Muhid dan Julnis Firmansyah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.