Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jokowi Tak Mampir di Jemundo

Partai politik tak berkampanye di perkampungan umat Syiah di Sidoarjo. Hanya Rhoma Irama yang mereka ketahui.

7 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada poster atau umbul-umbul partai politik di Jemundo. Pada gerbang desa di Kecamatan Taman, Sidoarjo, Jawa Timur, itu hanya ada tulisan "Wartawan Dilarang Masuk" dan "Tamu Harap Lapor". Riuh-rendah kampanye pemilihan anggota legislatif, yang berakhir Sabtu pekan lalu, tak berimbas ke permukiman yang berjarak 20 kilometer dari Kota Surabaya arah barat daya itu.

Di desa ini berhimpun 200 orang dari 70 keluarga. Mereka menghuni rumah susun lima lantai khusus tempat tinggal umat Islam berhaluan Syiah asal Desa Karanggayam di Sampang, Madura. Konflik dengan faksi Sunni membuat mereka terusir dan hidup terkatung-katung di Gelanggang Olahraga Sampang sejak Agustus 2012. Pada Juni setahun kemudian. pemerintah provinsi memindahkan mereka ke Jemundo.

Pemilihan umum benar-benar tak terasa di desa ini. Tak ada kampanye di sana. Hingga empat hari menjelang pencoblosan, Rabu pekan ini, mereka juga belum mendapat kartu undangan memilih. Padahal 165 orang Syiah di sana punya hak suara seperti pada pemilihan lima tahun lalu dan saat pemilihan Gubernur Jawa Timur. "Petugas juga tak ada yang datang untuk mendata," kata Anwar, 38 tahun, yang menghuni satu unit 6 x 6 meter.

Ketika Jawa Timur menggelar pemilihan gubernur pada Agustus tahun lalu, petugas pemilihan datang ke Jemundo tiga hari menjelang pencoblosan. Pada hari pemilihan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah menyediakan odong-odong untuk mengangkut umat Syiah ke bilik suara yang terletak di dekat kantor Kepala Desa Jemundo. "Waktu itu disuruh mencoblos, ya, saya mencoblos," kata Naimah, umat Syiah yang lain.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur Eko Sasmito memastikan pengungsi Syiah yang berada di Sidoarjo telah masuk daftar pemilih tetap kabupaten itu. Nama mereka tercatat di tempat pemungutan suara yang terdekat dengan Jemundo. "Mereka dapat menggunakan hak pilihnya seperti warga negara yang lain," kata Eko.

Anjuran Eko agak sulit dipahami. Jangankan tahu siapa saja wakil mereka di daerah pemilihan itu, Anwar dan teman-temannya tak tahu partai apa saja yang berlaga dalam pemilihan umum. Walhasil, mereka juga tak paham nama yang digadang-gadang menjadi calon presiden dalam pemilihan Juli nanti.

Anwar atau Naimah tak pernah mendengar nama Joko Widodo, Gubernur Jakarta yang menjadi calon presiden dari PDI Perjuangan, yang popularitasnya kian meroket dari hari ke hari dan diberitakan televisi saban waktu. Begitu juga nama Prabowo Subianto, calon presiden dari Partai Gerakan Indonesia Raya, pesaing Jokowi dalam hal popularitas.

Satu-satunya orang yang dikenal umat Syiah di Jemundo hanyalah Rhoma Irama. Anwar atau Naimah pernah mendengar "Raja Dangdut" itu menjadi calon presiden dari Partai Kebangkitan Bangsa, selain karena Rhoma penyanyi terkenal. Jawa Timur adalah basis PKB, partai yang didirikan untuk menjaring kalangan Nahdlatul Ulama. Namun kabar itu hanya sebatas cerita dari mulut ke mulut. Rhoma Irama atau politikus PKB pun tak pernah mampir ke rumah susun itu untuk berkampanye.

Anwar tak berharap banyak pemilihan umum bisa bermanfaat bagi orang Syiah, atau menghasilkan legislator yang mendukung keinginan mereka kembali hidup di kampungnya. Menurut dia, warga Syiah di Jemundo awalnya berharap ada yang datang ke rumah susun itu memberi janji masa depan mereka. Anwar tak menyoal jika kemudian hari janji itu hampa. "Jika ada satu saja yang datang, semua orang sini pasti memilih dia," katanya.

Faktanya, tak satu pun politikus yang berani bertandang ke sana. Akhirnya, Anwar atau Naimah tak lagi mempedulikan gegap-gempita kampanye pemilihan umum yang terdengar di desa sebelah. Anwar bertekun pada hidupnya sehari-hari sebagai pengupas kulit kelapa di Pasar Puspa Agro.

Untuk setiap butir kelapa, ia menerima Rp 200. Delapan jam dalam sehari ia bisa mengupas 800 butir kelapa. Uang Rp 160 ribu itu, kata Anwar, sudah lebih dari cukup untuk membiayai hidupnya bersama istri dan dua anak. Istiqomah, anak sulungnya yang berusia 10 tahun, juga sudah bisa bersekolah dengan tenang di sekolah dasar umum, lalu belajar mengaji di madrasah diniah di dekat rumah susun.

Selain sebagai pengupas kelapa, tetangga Anwar umumnya bekerja sebagai pembuang kotoran ikan di pasar tersebut. Mereka bekerja bakda asar hingga pukul 03.00 dengan bayaran Rp 500 per kilogram ikan. Dihitung-hitung, kata Anwar, bekerja borongan membuang kotoran ikan menghasilkan uang lebih banyak. Anwar memilih jadi pengupas kelapa karena jam kerjanya tak mengganggu waktu tidurnya.

Meski telah hidup dan berkecukupan, Anwar tetap ingin kembali ke Karanggayam, kampung dan tanah kelahirannya di Sampang. Harapan itu selalu kandas karena pemerintah kabupaten dan provinsi tak menjamin keselamatan mereka. Rekonsiliasi dengan warga Sunni selalu mentok dalam urusan penerimaan keyakinan yang dianggap berbeda itu.

Anggota Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur, Gogot Cahyo Baskoro, memastikan tak ada partai politik mampir ke Jemundo untuk berkampanye. Partai-partai, kata dia, juga tak menyelipkan agenda mampir ke desa itu untuk menemui warga Syiah dan berbicara dengan mereka tentang konflik sengit menahun itu. "Ini isu nasional yang sangat sensitif," ujar Fuad Mahsuni, Wakil Ketua PKB Jawa Timur. Mashuni beralasan, umat Syiah di Jemundo masih labil secara psikologis akibat trauma terusir dari kampung halaman. Maka, kata dia, tidak terlalu pantas partai politik datang berkampanye.

Partai Persatuan Pembangunan punya alasan lain tak berkampanye di Jemundo. Menurut Ketua PPP Jawa Timur Mujahid Ansory, partai tak turun ke desa Syiah karena tak mau terlibat dalam konflik itu. Mereka, menurut dia, memilih menunggu tindakan Kementerian Agama atau Majelis Ulama Indonesia untuk mendamaikannya. "Kami dorong lembaga-lembaga itu untuk menyelesaikan konflik," katanya.

Ketua PDI Perjuangan Jawa Timur Sirmadji Tjondro Pragolo juga memutuskan tak berkampanye ke Jemundo dengan alasan memilih perjuangan legislasi ketimbang berkampanye sesaat. Dengan gaya diplomatis, Sirmadji mengatakan cara legislasi lebih elegan dan mendidik masyarakat secara politik untuk mendorong publik mengakui perbedaan dalam keyakinan.

Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga berkelit dan tak mau disalahkan dalam konflik faksi-faksi dalam agama Islam ini. Menurut Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Provinsi Muhammad Asyhar, kini sedang diupayakan mendekati tokoh-tokoh agama setempat agar bersedia menerima pengungsi Syiah kembali ke kampungnya. "Sekarang jeda dulu karena ada pemilu," kata Saifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur.

Kartika Candra (Jakarta), Mohammad Syarrafah (Sidoarjo), Edwin Fajerial (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus