Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Jurnalis Perempuan Rentan Alami Kekerasan

Hasil riset menunjukkan bahwa jurnalis perempuan masih rentan menjadi target kekerasan. Perlu aturan dan ruang aman bagi mereka.

15 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Jurnalis yang tergabung dalam Forum Jurnalis se-Surabaya melakukan aksi solidaritas jurnalis di Surabaya, Jawa Timur, 2021. ANTARA/Zabur Karuru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Kekerasan terhadap perempuan masih mengancam tanpa mengenal profesi.

  • Hasil riset menunjukkan 70,1 persen jurnalis perempuan mengalami kekerasan.

  • Perusahaan media perlu menyusun aturan detail tentang pelindungan jurnalis, khususnya perempuan.

Akhir 2021, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), lembaga peneliti independen yang berbasis di Yogyakarta, mengumumkan hasil survei kekerasan terhadap jurnalis perempuan Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan survei berskala nasional itu, sebanyak 85,7 persen dari 1.256 jurnalis perempuan dari seluruh Indonesia yang menjadi responden pernah mengalami berbagai tindakan kekerasan. Sebanyak 753 jurnalis perempuan (70,1 persen) mengaku mengalami kekerasan, baik di ranah fisik maupun digital. Dari pengakuan responden yang mengalami kekerasan tersebut, hanya 179 jurnalis (14,3 persen) yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual di sepanjang karier jurnalistik mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data terbaru dari hasil riset kolaboratif antara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan PR2Media pada 2022 juga menunjukkan fakta serupa. Riset tersebut mengungkapkan, 82,6 persen dari 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi yang menjadi responden penelitian tersebut menyatakan pernah mengalami kekerasan seksual.

Hal ini berbahaya karena menguatkan fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan masih mengancam, terus terjadi, bahkan makin meningkat di sekitar kita. Kekerasan itu pun terjadi tanpa memandang profesi. Termasuk dengan adanya jenis kekerasan gender berbasis online (KGBO), yakni ketidakadilan dan diskriminasi gender yang terjadi di ruang online, seperti pelecehan, intimidasi, penguntitan, penyadapan, serta pornografi yang tidak diminta.

Ironis lantaran kekerasan ini justru banyak dialami oleh jurnalis perempuan, kelompok yang secara sosial dan politik dapat dikategorikan lebih berdaya karena profesi serta pengetahuannya ketimbang perempuan Indonesia pada umumnya.

Berawal dari Ruang Redaksi

Meskipun di era sekarang jumlah jurnalis perempuan terus meningkat, daya tawar sosial-politik mereka di tempat kerja masih terbatas. Kultur maskulin yang mengidentikkan pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan laki-laki mendominasi ruang-ruang diskusi.

Isu-isu yang diangkat dan ditulis perempuan banyak diklasifikasi media sebagai isu yang dianggap ringan dan aman bagi perempuan, seperti gaya hidup, fashion, serta kehidupan domestik. Eksistensi jurnalis perempuan yang menempati posisi struktural media dan aktif membahas isu-isu penting, seperti politik, ekonomi, serta hukum, belum menjadi tren umum bagi media-media arus utama di Indonesia.

Penelitian PR2Media pada 2021 juga menemukan fakta bahwa mayoritas pelaku kekerasan terhadap jurnalis perempuan adalah rekan kerja (20,9 persen) dan atasan (6,9 persen).

Data ini memunculkan tanda tanya tentang apa yang telah dilakukan oleh organisasi media tempat jurnalis bekerja ketika menghadapi situasi tersebut. Lebih jauh ketika organisasi media tidak mampu menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis mereka sendiri, ke mana penyintas kekerasan mengadukan kasusnya untuk mencari pertolongan dan keadilan?

Di sinilah perlunya menciptakan ruang aman bagi jurnalis perempuan. Ruang aman yang mengedepankan budaya tanpa kekerasan, dari individu jurnalis, organisasi atau perusahaan media, asosiasi jurnalis, hingga regulator media.

Aktivis Aliansi Jurnalis Independen (AJI) membuat gambar dan tulisan kebebasan pers saat menggelar aksi solidaritas terkait kasus penganiayaan jurnalis Surabaya di depan Kejaksaan Agung, Jakarta, 2021. Tempo/Hilman Fathurrahman W

Dilihat dari angka statistik AJI pada 2012, jumlah jurnalis perempuan di Indonesia dibanding jurnalis laki-laki hanya sekitar 1:4 (25 persen). Data lain dari Angela Romano, akademikus Australia yang meneliti perkembangan pers Indonesia dalam transisi politik 1998, merinci variasi data persentase jurnalis perempuan di Indonesia pada 1973-2001 yang meningkat dari 2 persen menjadi 30 persen dari total jurnalis.

Sayangnya, jumlah jurnalis perempuan yang meningkat tidak otomatis mengindikasikan rendahnya budaya anti-kekerasan terhadap perempuan yang bekerja dalam media.

Fenomena ini disebut sebagai glass ceiling atau langit-langit kaca, yang menggambarkan pengalaman perempuan yang bekerja pada mayoritas organisasi media di dunia.

Langit-langit kaca merupakan istilah yang menggambarkan situasi bahwa, meski perempuan mulai banyak berpartisipasi di media, lebih sedikit perempuan yang memegang posisi kunci, berkontribusi nyata dalam proses pengambilan keputusan besar, ataupun mampu naik ke posisi yang lebih tinggi, lebih kuat, serta menguntungkan selama menjalani karier mereka di media.

Kondisi glass ceiling ini berpotensi melanggengkan kekerasan karena kebijakan atau keputusan tentang jurnalis perempuan akhirnya diselesaikan dari kacamata boys clubistilah yang merujuk pada dominasi laki-laki yang menduduki posisi-posisi puncak dalam manajemen media.

Perlu Regulasi yang Mampu Melindungi Jurnalis Perempuan

Selain mengikuti dan menindaklanjuti konvensi global dan lokal pada organisasi media secara nyata, Dewan Pers bersama asosiasi-asosiasi jurnalis serta organisasi media perlu segera mendorong dan menyusun regulasi serta kebijakan yang dapat melindungi dan mencegah kekerasan terhadap jurnalis, khususnya jurnalis perempuan.

Selama ini belum ada regulasi khusus dan peraturan standar tentang pencegahan, pelindungan, dan penanganan kasus kekerasan untuk jurnalis perempuan di Indonesia. Peraturan Dewan Pers Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan, misalnya, masih bersifat umum dan normatif.

Dukungan dan kehadiran semua pemangku kepentingan dalam membangun ekosistem anti-kekerasan terhadap jurnalis perempuan diperlukan di semua lini. Langkah Dewan Pers menyelaraskan visi manajemen dan pemilik media untuk melindungi jurnalis perempuan menjadi keniscayaan. Dewan Pers diperlukan sebagai otoritas lembaga yang lebih tinggi dalam mengatur kehidupan pers di Indonesia.

Aturan yang melarang adanya kekerasan di media ini tidak hanya berkaitan dengan konten-konten media, tapi juga menyasar kebijakan struktural dalam organisasi sehingga mampu memberi payung hukum dan sanksi yang tegas bagi pengelola media.

Langkah konkret selanjutnya, media perlu menyusun aturan turunan yang detail, bisa berupa protokol, peraturan perusahaan, ataupun perjanjian kerja bersama (PKB) tentang pelindungan jurnalis, khususnya terhadap jurnalis perempuan, termasuk kekerasan seksual sebagai bagian dari keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Keberadaan aturan ini akan memberikan jaminan kepada korban untuk berani melaporkan kasusnya tanpa ancaman pemecatan atau konflik ketenagakerjaan lain yang merugikan.

Dengan adanya jaminan regulasi, jurnalis memiliki ruang yang leluasa untuk mewujudkan sistem pendukung berbentuk serikat, asosiasi, dan gugus tugas yang berorientasi pada pelindungan jurnalis perempuan. Hal ini tentunya disertai dengan beragam pelatihan yang berkelanjutan, termasuk memberi materi baru tentang pelindungan keamanan digital dan pemahaman KGBO bagi jurnalis.

Wartawan dan jurnalis media cetak dan elektronik di Jakarta. TEMPO/Imam Sukamto

Menciptakan Ruang Aman bagi Jurnalis Perempuan

PR2Media membuat modul Mencegah dan Mengatasi Kekerasan terhadap Jurnalis Perempuan serta mendefinisikan ruang aman untuk jurnalis perempuan sebagai kesadaran, sistem dukungan, dan ketersediaan infrastruktur yang menjamin keamanan mereka dari berbagai tindakan kekerasan.

Ruang aman bagi jurnalis perempuan diawali dengan pengarusutamaan kesetaraan gender dan budaya anti-kekerasan di ruang redaksi serta perusahaan media secara umum. Hal ini dapat mencegah normalisasi kekerasan terhadap jurnalis perempuan karena pandangan dan kultur misoginis. Sikap menyangkal adanya kekerasan karena pandangan dan kultur misoginis serta menganggap normal pelecehan lewat candaan atau lelucon bisa dicegah.

Tidak hanya eksklusif untuk aktivis perempuan, pengarusutamaan gender sangat diperlukan di semua lini kerja jurnalistik. Langkahnya bisa dimulai dengan mengajak jurnalis laki-laki peduli dan punya kesadaran yang sama tentang kekerasan terhadap jurnalis perempuan.

*) Artikel ini ditulis oleh Iwan Awaluddin Yusuf, dosen di Departemen Komunikasi, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Terbit pertama kali di The Conversation

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus