SUATU hari, di awal Januari lalu, Mayor Kudri Mustafa dipanggil oleh Komandan Korem 032/Wirabraja, Kolonel Musa. Entah bergurau atau tidak, Kolonel Musa berkata kepada Mayor Kudri. "Kalau nanti di akhirat ternyata banyak prajurit di neraka, maka kamu orang pertama yang harus masuk neraka." Lho, kenapa? "Sebab, kamulah yang paling bertanggung jawab membina mereka," begitu kata Musa kepada Kudri Jabatan Kudri memang Kepala Seksi Pembinaan Mental Spiritual di Korem 032, yang berkedudukan di Sumatera Barat. Teguran tadi rupanya berbekas. Kudri kemudian menanggapinya dengan membuat ketentuan baru. Prajurit yang mau menikah harus melalui tes pengetahuan agama. Kalau lulus ujian, baru dapat izin komandan Korem 032 untuk melangsungkan pernikahan. Materi yang diuji, antara lain, minimal harus hafal 10 surat dalam Quran, bisa berwudu dan melaksanakan salat dengan bacaan yang benar, serta mampu jadi imam salat berjamaah. Ketentuan ini berlaku sejak April 1990. Sejak tujuh bulan lalu, ketika Kolonel Musa mulai memimpin Korem 032/Wirabraja, semangat keagamaan memang lebih gencar ditumbuhkan. Acap kali komandan yang berusia 48 tahun itu menanyakan apakah anak buahnya menjalankan salat. Ternyata, banyak juga yang melalaikannya. Padahal, sebagian besar personel Korem 032 berasal dari Tanah Minang, yang warganya dikenal ketat menjalankan syariat agama. Itu sebabnya ia memprakarsai ceramah dan diskusi agama secara rutin. Bahkan di musala yang terletak di Markas Korem 032, dalam bulan Ramadan ini, untuk pertama kalinya diadakan sembahyang tarawih berjamaah. Tak cuma yang Islam dituntut menjalankan ibadahnya. Prajurit yang beragama Kristen Protestan dan Katolik juga dituntut berbuat serupa. Mereka, misalnya, dibebastugaskan dari kedinasan pada setiap Minggu. Maksudnya, supaya mereka leluasa pergi ke gereja. Di kalangan prajurit, gagasan sang komandan tampaknya diterima baik. Itu sebabnya ada bujangan yang bergegas belajar agama. "Kalau pernikahan sempat tertunda gara-gara tak bisa salat, apa tidak malu sama calon mertua?" kata seorang prajurit. Namun, Pratu. Syafriadi, yang belum menikah, tak waswas menghadapi tes agama sebelum menikah nanti. "Materinya kan sudah saya kuasai," ujarnya. Apa yang dilakukan terhadap anak buahnya itu, menurut Kolonel Musa, merupakan penjabaran dari Perintah Harian Panglima ABRI 1988 lalu. Isinya tentang peningkatan keimanan dan ketakwaan. "Jadi ketentuan itu sudah ada sejak dulu. Cuma saja sekarang lebih dikembangkan," katanya. Penggemblengan aspek agama ini ternyata banyak manfaatnya bagi tugas ABRI di tengah-tengah masyarakat. Jadi, tak cuma mengandalkan pendekatan kedinasan, tapi juga pendekatan keagamaan. "Kalau anggota. ABRI masuk desa lalu jadi imam di masjid, apa tak akan disenangi masyarakat?" ujar Musa. Banyak yang senang mendengar upaya Musa ini. Seperti Dalimi Abdullah Datuk Kayo, Kepala Kantor Departemen Agama Kodya Padang, yang terkejut karena tak menduga bahwa pembinaan agama di lingkungan ABRI sampai sebegitu jauh. Apalagi ketentuan tes agama seperti ini tak dipraktekkan di jajaran pegawai negeri sipil. "Jadi, kami merasa perlu mencontohnya," kata Dalimi. Karena itu, Ketua MUI Padang Aguslier Noor berharap agar kebijaksanaan Korem 032/Wirabraja juga diikuti oleh instansi lain. "Salat itu kan wajib hukumnya," katanya. Memang, seperti kata Musa lagi, "Kalau tentara salat, dia tidak akan berbuat jahat dan tentu tak akan menyakiti rakyat. Sebab, salat akan mendidik orang menjadi dispilin, bersih, dan mengajarkan supaya orang menjauhi perbuatan keji dan mungkar." AKS dan Fachrul Rasyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini