Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gelombang pengungsi Rohingya terus berdatangan ke Aceh sejak pertengahan November lalu. Kapolda Aceh Irjen Pol Achmad Kartiko kemudian meminta lembaga UNHCR ikut bertanggung jawab soal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kita menemukan bahwa Rohingya ini sudah memiliki kartu UNHCR yang diterbitkan di Bangladesh dengan bahasa Bangladesh. Ini artinya apa, ini bukan tanggung jawab pemerintah kita semata tapi UNHCR harus memiliki tanggung jawab kenapa pengungsi itu bisa lolos dari Bangladesh sana," kata Achmad kepada awak media pada Kamis, 30 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, UNHCR memuji peran Indonesia menampung pengungsi Rohingya. Menurut laman unhcr.org.id, dengan mengizinkan pendaratan aman kepada sekitar 341 pengungsi Rohingya, yang tiba dengan dua perahu terpisah antara tanggal 14 dan 15 November, Indonesia telah menunjukkan solidaritas dan jiwa kemanusiaan yang kuat.
“Para pengungsi Rohingya sekali lagi mengambil risiko yang mempertaruhkan nyawa dalam mencari solusi,” kata Ann Maymann, Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia.
Tugas UNHCR
Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi atau United Nations High Commissioner for Refugee Agency (UNHCR) merupakan organisasi internasional yang bergerak di bidang sosial dan bermarkas di Jenewa, Swiss. Organisasi ini telah menaungi banyak pengungsi dari wilayah konflik dan berupaya memberinya tempat aman di negara lain. Hal ini termasuk para pengungsi Rohingya yang diamankan di Indonesia.
Selain itu, UNHCR juga memimpin tindakan internasional untuk melindungi orang-orang yang terpaksa melarikan diri dari konflik dan penganiayaan serta mereka yang tidak diberi kewarganegaraan.
Saat ini, UNHCR telah bekerja di 135 negara. UNHCR memberikan bantuan yang menyelamatkan jiwa, termasuk tempat tinggal, makanan, air dan perawatan medis bagi orang-orang yang terpaksa mengungsi dari konflik dan penganiayaan, banyak di antara mereka yang tidak mempunyai orang lain untuk dituju.
Organisasi internasional satu ini berupaya membela hak mereka untuk mendapatkan keselamatan dan membantu mereka menemukan tempat yang bisa mereka sebut sebagai rumah sehingga mereka dapat membangun kembali kehidupan mereka. Dalam jangka panjang, UNHCR bekerja sama dengan negara-negara untuk memperbaiki dan memantau undang-undang dan kebijakan pengungsi dan suaka, untuk memastikan penegakan hak asasi manusia.
Bahkan, UNHCR berdedikasi dengan menganggap pengungsi dan mereka yang terpaksa mengungsi sebagai mitra, dan menempatkan mereka yang paling terkena dampak sebagai pusat perencanaan dan pengambilan keputusan. Simak sejarah UNHCR di Indonesia berikut.
Sejarah UNHCR di Indonesia
UNHCR sudah beroperasi di Indonesia sejak 1979, ketika Pemerintah Indonesia meminta bantuan UNHCR dalam membangun kamp pengungsian di Pulau Galang, untuk menampung lebih dari 170,000 pengungsi yang melarikan diri dari konflik di Asia Tenggara.
Sebelumnya, Indonesia belum menjadi Negara Pihak dari Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, serta belum memiliki sebuah sistem penentuan status pengungsi. Akhirnya, Pemerintah memberikan kewenangan kepada UNHCR untuk menjalankan mandat perlindungan pengungsi dan untuk menangani permasalahan pengungsi di Indonesia.
Sedangkan, Rencana Aksi Komprehensive (The Comprehensive Plan of Action /CPA), yang diadopsi pada 14 Juni 1989 oleh Negara Pihak Konferensi Internasional tentang Pengungsi Indo-Cina, memberikan UNHCR tanggungjawab spesifik dalam penanganan kedatangan pengungsi Indo-Cina dan pencarian solusi permanen bagi mereka.
Sejak penutupan kamp pengungsian Galang pada tahun 1996, UNHCR tetap melanjutkan bantuannya bagi Pemerintah Indonesia dalam memberikan kebutuhan pengungsi akan perlindungan internasional. Saat ini, UNHCR memiliki hampir 60 orang staff yang bekerja di kantor utama di Jakarta dan di empat lokasi lainnya di Indonesia, yaitu Medan, Pekanbaru, Tanjung Pinang dan Makassar.
Selanjutnya: Peraturan resmi bagi pengungsi dan pencari suaka melalui UNHCR di Indonesia
Pada akhir 2016, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Presiden Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Peraturan Presiden tersebut memuat definisi-definisi utama dan mengatur tentang deteksi, penampungan, serta perlindungan pencari suaka dan pengungsi. Berbagai ketentuan yang ada dalam Peraturan Presiden diperkirakan akan segera diterapkan. Hal ini akan membuat Pemerintah Indonesia dan UNHCR bekerja lebih erat, termasuk di bidang registrasi gabungan untuk pencari suaka.
Berada diantara negara-negara penerima pencari suaka dan pengungsi dalam jumlah besar seperti Malaysia, Thailand dan Australia, secara berkelanjutan Indonesia terkena dampak dari pergerakan populasi tercampur (mixed population movements). Setelah penurunan jumlah di akhir tahun 1990-an, jumlah kedatangan pencari suaka ke Indonesia kembali meningkat di tahun 2000, 2001 dan 2002.
Meskipun jumlah kedatangan kemudian menurun lagi pada tahun 2003 – 2008, tren kedatangan kembali meningkat di tahun 2009. Di tahun 2015 dan seterusnya hingga tahun 2020, kedatangan per-tahun kembali menurun. Hingga akhir December 2020, jumlah pengungsi kumulatif di Indonesia tercatat sebesar 13,745 orang dari 50 negara dan lebih dari setengah populasi tersebut datang dari Afghanistan.
Perlindungan yang diberikan UNHCR, dimulai dengan memastikan bahwa pengungsi dan pencari suaka terlindung dari refoulement (yakni perlindungan dari pemulangan kembali secara paksa ke tempat asal mereka di mana hidup atau kebebasan mereka terancam bahaya atau penganiayaan). Perlindungan pengungsi lebih jauh mencakup proses verifikasi identitas pencari suaka dan pengungsi agar mereka dapat terdaftar dan dokumentasi individual dapat dikeluarkan.
Pencari suaka yang telah terdaftar kemudian dapat mengajukan permohonan status pengungsi melalui prosedur penilaian yang mendalam oleh UNHCR, yang disebut sebagai Penentuan Status Pengungsi atau Refugee Status Determination (RSD).
Prosedur ini memberikan kesempatan kepada para pencari suaka secara individual untuk diinterview dalam bahasa ibu mereka oleh seorang staf RSD dan dibantu oleh seorang penerjemah ahli, yang akan menilai keabsahan permintaan perlindungan yang diajukan.
Selanjutnya pencari suaka akan diberikan keputusan, apakah status pengungsi diberikan atau tidak kepadanya, beserta dengan alasannya. Apabila permintaan untuk perlindungan ditolak, prosedur dalam RSD memberlakukan satu kesempatan untuk pengajuan ulang (banding).
Bagi mereka yang mendapatkan status pengungsi, UNHCR akan mencarikan satu dari tiga solusi komprehensif. Secara tradisional, solusi yang memungkinkan terdiri dari penempatan di negara ketiga, pemulangan sukarela (apabila konflik di daerah asal sudah berakhir) atau integrasi lokal di negara pemberi suaka.
Namun, dalam krisis pengungsi global saat ini, dengan setidaknya 79.5 juta orang di seluruh dunia melakukan perpindahan terpaksa, UNHCR bekerja untuk mencari serangkaian solusi lain, termasuk cara-cara sementara bagaimana pengungsi dapat memperoleh kesempatan untuk menjadi mandiri hingga solusi jangka panjang yang sesuai ditemukan; dan solusi pelengkap seperti beasiswa universitas dan kemungkinan penyatuan keluarga yang difasilitasi Negara.
Pencarian sebuah solusi jangka panjang yang layak bagi setiap pengungsi merupakan sebuah proses yang melibatkan berbagai pertimbangan mengenai situasi dan kondisi individu serta keluarga. Solusi yang dicari UNHCR selalu diupayakan agar sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing pengungsi.