Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebagian besar warga Desa Manislor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menjadi pengikut Ahmadiyah.
Jemaat Ahmadiyah melakukan berbagai kegiatan kemanusiaan, seperti donor darah, donor mata, dan pembagian daging kurban agar diterima lingkungan.
Meski tak mendapat intimidasi, jemaat Ahmadiyah masih dicap aneh oleh masyarakat di sekitar tempat tinggal mereka.
SUARA tawa anak-anak riuh terdengar di jalan menuju Masjid An Nur di Desa Manis Lor, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, Rabu, 16 Oktober 2024. Selepas kumandang azan asar, mereka beramai-ramai menuju ke dalam masjid milik jemaah Ahmadiyah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ayo-ayo masuk,” kata Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manislor Dudung Zafar Ahmad kepada para bocah tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu per satu bocah usia taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama itu masuk ke masjid. Anak-anak itu lebih dulu mencium tangan guru mengaji mereka. Tak lama setelah itu, alunan ayat suci Al-Quran terdengar dari dalam masjid. “Seperti ini aktivitas anak-anak setiap sore. Ini madrasah, tempat anak-anak mengaji dan menimba ilmu,” ujar Dudung.
Setiap hari, kecuali Jumat, anak-anak itu mendatangi sejumlah masjid di Desa Manis Lor untuk mengaji. Sekitar 200 anak mengaji di Masjid An Nur. Ratusan anak lain mengaji di masjid lain di Manis Lor. “Tidak hanya di sini (anak-anak mengaji), tapi memang paling banyak di masjid ini,” ucap Dudung.
Desa Manis Lor memiliki sekitar 5.000 penduduk. Sebanyak 90 persen dari mereka merupakan penganut paham Ahmadiyah. Sebagian besar penduduk di sini berprofesi sebagai pedagang dan petani. Namun ada juga yang menjadi guru dan pegawai negeri.
Kehidupan bermasyarakat di Desa Manis Lor kini berjalan tenang dan damai. Warga Desa Manis Lor bisa beraktivitas, termasuk menjalankan ibadah, dengan tenang. “Sekarang lebih tenang bersosialisasi, beribadah, dan berusaha,” kata Kepala Desa Manis Lor Rusdi Sriwiyata.
Kondisi itu sangat berbeda ketika terjadi penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di daerah tersebut pada 29 Juli 2010. Saat itu ratusan orang menyerang pengikut Ahmadiyah karena dinilai berpaham sesat. Dasar penilaian sesat itu adalah Ahmadiyah mengklaim sebagai bagian dari ajaran Islam serta meyakini pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai Imam Mahdi sekaligus nabi dan rasul.
Massa yang merupakan gabungan organisasi kemasyarakatan Islam mendesak Pemerintah Kabupaten Kuningan menutup tempat-tempat ibadah warga Ahmadiyah di desa itu. Salah satu tempat ibadah yang menjadi sasaran penyegelan adalah Masjid An Nur.
Rencana kedatangan massa ketika itu sudah diantisipasi warga Ahmadiyah. Mereka berkumpul di Masjid An Nur untuk menanti kedatangan mereka. Ketika massa penyerang datang, terjadi bentrokan di antara kedua kubu. Mereka saling melempar batu. Akibatnya, sejumlah rumah rusak dan beberapa orang dari kedua kubu terluka.
Setelah penyerangan itu, situasi di Manis Lor mulai mencekam. Pengikut Ahmadiyah juga mendapat persekusi.
Rusdi, yang menjabat kepala desa sejak empat tahun lalu, mengaku kondisi saat ini sudah jauh berbeda dibanding situasi setelah penyerangan pada Juli 2010 tersebut. Saat itu Rusdi, yang menjadi penyuluh kehutanan, juga dijauhi teman-temannya hanya karena ia anggota jemaah Ahmadiyah. Namun ia tetap berusaha bersosialisasi dengan baik sehingga tetap diterima teman-temannya.
Rusdi berkali-kali mendatangi sejumlah orang yang diketahui anti terhadap Ahmadiyah. Ia lantas menjelaskan kepada mereka bahwa jemaah Ahmadiyah tidak eksklusif.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Kuningan Dodo Syarif Hidayatulloh menjelaskan bahwa pihaknya tetap menjalin komunikasi intensif dengan jemaah Ahmadiyah di Manis Lor. “Kami berdiskusi dan bertukar pikiran,” kata Dodo.
Sekalipun sudah hidup damai, pengikut Ahmadiyah masih dipandang aneh ketika warga Manis Lor pergi ke daerah lain. “Saat kami datang, ada saja orang yang saling berbisik dan menyebut kami Ahmadiyah. Pandangannya seperti merasa aneh,” ujar Rusdi.
Jemaat Ahmadiyah melaksanakan salat di Masjid Al Hidayah milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Sawangan, Depok, Jawa Barat, 1 November 2024. TEMPO/Ricky Juliansyah
Upaya merangkul warga sekitar juga dilakukan jemaah Ahmadiyah Depok, Jawa Barat. Pengurus JAI Depok, Suwandi, mengatakan Masjid Al Hidayah milik JAI di Kelurahan Sawangan Baru tidak hanya digunakan pengikut Ahmadiyah, tapi juga masyarakat umum. Di Depok, jemaah Ahmadiyah sebanyak 500 orang.
"Masjid ini digunakan untuk umum, masyarakat yang melintas. Kebetulan, mungkin pas melintas di sini, sudah waktunya salat sehingga mereka singgah. Kemudian untuk salat Jumat juga sama. Mungkin mereka ke sini karena lewat, sudah dekat waktu salat Jumat, jadi singgah di sini," ucap Suwandi saat ditemui di Depok, Senin, 7 Oktober 2024.
Saat ini, kata Suwandi, Ahmadiyah terus melakukan kegiatan untuk masyarakat sekitar. Misalnya, pada Idul Adha, mereka menyembelih hewan kurban. Lalu daging kurban itu dibagikan kepada warga sekitar, bukan hanya kepada pengikut Ahmadiyah. Selain itu, setiap tahun Ahmadiyah Depok mengadakan bazar atau penjualan bahan pokok murah.
"Tapi terkadang, ya, itulah. Pemerintah kota melarang kami mengadakan bazar, ada yang tidak setuju. Tapi masyarakat sekitar malah senang ada paket bahan pokok bisa ditebus dengan harga murah," ujar Suwandi.
Pemerintah Kota Depok mengakui memonitor kegiatan Ahmadiyah di wilayahnya. Tujuannya agar tak ada penyebaran paham Ahmadiyah di luar komunitas JAI. Ini pula yang menyebabkan Pemerintah Kota Depok menyegel Masjid Al Hidayah, meski jemaah Ahmadiyah masih diperbolehkan beribadah di sana.
"Kegiatan yang dilarang adalah penyebaran paham yang memang di luar pokok-pokok agama Islam," kata Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Depok Lienda Ratnanurdianny saat ditemui pada Jumat, 1 November 2024.
Meski jemaah Ahmadiyah sudah mulai berbaur di masyarakat, masih banyak warga Depok yang tak menerima keberadaan mereka. Sadelih, petugas sekuriti yang bekerja tepat di belakang kantor Ahmadiyah, mengatakan warga tetap menolak keberadaan JAI. "Kalau ada yang di dalam (kegiatan), itu orang-orang dari luar, bukan warga sini," tuturnya. "Bahkan, kalau mereka memberikan parsel kepada pengurus RT/RW, ditolak."
Namun Sadelih tidak membantah soal pembagian daging kurban kepada petugas sekuriti dan beberapa warga sekitar. "Kalau sekuriti pasti dibagi. Kami diberi daging kurban. Enggak nolak, lah," katanya.
Adapun Suwandi menyebutkan anggota Ahmadiyah di Depok masih kerap mendapat stigma sebagai pengikut ajaran sesat. Namun mereka tak mempedulikan stigma tersebut. Ia mengatakan pengurus Ahmadiyah Depok sering berkunjung ke ulama yang mempunyai pesantren, meski terkadang ada yang menanggapinya kurang baik. "Tapi rata-rata alhamdulillah, ketika kami kunjungi, baik juga gitu. Bahkan yang dulu pernah ikut mimpin demo, ketika didatengin, (mereka) baik. Akhirnya enggak pernah lagi ikut demo," ujarnya.
Kegiatan sosial lain yang dilakukan JAI adalah donor mata dan donor darah. Mubalig Ahmadiyah, Buldan Burhanudin, mengatakan donor darah dilakukan di semua wilayah Ahmadiyah setiap tiga bulan sekali. “Kami memberikannya untuk masyarakat, siapa saja, tidak ada masalah bagi kami. Darah anggota Ahmadiyah itu halal, ya,” ucap Burhan saat ditemui di markas JAI di Parung, Bogor, Jawa Barat, pada 7 Oktober 2024.
Perihal donor mata, Burhan mengaku program tersebut mendapat penghargaan rekor MURI di Cirebon, Jawa Barat. Situs web MURI.org pada 22 Juli 2017 menulis Ahmadiyah menjadi komunitas dengan anggota donor kornea mata terbanyak secara berkesinambungan. Anggota JAI sebagai calon donor mata tercatat sebanyak 6.800 orang, sedangkan yang telah menyumbangkan kornea mata sebanyak 258 orang dan sudah membantu kerusakan kornea mata sebanyak 516 orang.
“Kami melayani kemanusiaan. Salah satu misi Imam Mahdi kan pelayanan kemanusiaan. Kami sebagai orang Ahmadiyah harus menerjemahkan dan membuktikan ini,” ujar Burhan.
Amir Nasional JAI Mirajuddin Syahid mengakui aksi sosial itu dilakukan agar masyarakat bisa menerima keberadaan Ahmadiyah. “Segala macam cara untuk hal kebaikan. Misalnya ada orang yang sakit, kami tengok. Walaupun bukan saudara, tapi kami bertetangga,” kata Mirajuddin saat ditemui Tempo di Cilandak Timur, Jakarta Selatan, pada Rabu, 25 September 2024.
Dengan cara-cara sosial seperti itu, ia berharap masyarakat secara perlahan mulai terbuka kepada Ahmadiyah. Jemaah Ahmadiyah pun bisa beribadah tanpa sembunyi-sembunyi lagi. Apalagi pengikut Ahmadiyah sudah ada di 38 provinsi.
“Di Indonesia saja, sekarang kami sudah ada 400 cabang hampir di semua provinsi, terbanyak di Jabodetabek. Ada juga di Manislor, Kuningan, Jawa Barat. Itu hampir satu kampung semuanya penganut Ahmadiyah,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
RMN Ivansyah dari Kuningan, Ricky Juliansyah dari Depok, dan Advist Khoirunikmah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Liputan ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support