Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Angka kasus kekerasan seksual berbasis elektronik (KSBE) dari tahun ke tahun terus meningkat. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, pada 2017, sebanyak 16 kasus dilaporkan. Jumlahnya meningkat menjadi 1.721 kasus pada 2021. “Itu laporan langsung ke Komnas Perempuan,” kata komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, kemarin. “Angka-angka ini menunjukkan bahwa ruang siber kita belum menjadi ranah yang aman.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andy menjelaskan, berdasarkan data, angka kasus tertinggi dilaporkan pada periode 2020-2021, yang awalnya 940 kasus menjadi 1.721 kasus. Aduan terbanyak didominasi empat jenis kasus, yaitu cyber harassment (intimidasi melalui pesan instan, pesan teks, e-mail, dan jaringan sosial); malicious distribution (ancaman menggunakan foto atau video yang bersifat pribadi); sextortion (pemerasan disertai ancaman penyebaran konten eksplisit, intim, atau memalukan dalam bentuk foto dan video seksual); serta voyeurism (penyimpangan seksual dengan mengintip orang lain).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komnas Perempuan telah menggelar studi tentang pencegahan kekerasan seksual berbasis elektronik di tujuh negara, yaitu di Jerman, Inggris, Korea Selatan, Australia, Filipina, dan India. Dari studi itu dibuat rekomendasi untuk menangani kekerasan seksual berbasis elektronik di Indonesia. Rekomendasi tersebut kemudian dikemas dalam bentuk buku panduan.
“Kami telah menyusun instrumen pencegahan untuk mengenali bentuk KSBE dan memberi rekomendasi bagi pemerintah dan masyarakat,” kata Andy. “Diharapkan dari instrumen ini bisa dilihat seperti apa bentuk sosialisasi, edukasi, dan mitigasinya.”
Poin penting yang tercatat dalam rekomendasi instrumen tersebut di antaranya tentang hak korban, seperti hak penghapusan obyek konten dalam konteks pidana, hak atas pengaduan, dan hak konsultasi kasus. Terdapat pula kewajiban pemangku lembaga dan aparat penegak hukum untuk melindungi hak korban serta menyediakan mekanisme pengaduan.
Kendala Penanganan Kasus
Pada 2022, Komnas Perempuan mencatat berbagai upaya penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan dari sejumlah lembaga layanan yang menjadi mitra. Di antaranya 233 kasus diselesaikan secara nonhukum, 948 kasus diselesaikan secara hukum, dan 6.743 kasus tidak diketahui bentuk penyelesaiannya. Dari data itu dapat dikatakan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual berbasis elektronik masih menemukan banyak kendala.
Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Maryke Hutabarat, menjelaskan, kendala utama yang sering ditemukan untuk menyelesaikan kasus adalah tumpang-tindih aturan penanganan, khususnya ihwal tindak pidana. Karena itu, dibutuhkan harmonisasi antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dan UU Pornografi agar dapat mengacu pada hak-hak korban, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Di sisi lain, kata Rainy, aturan tentang kekerasan seksual berbasis elektronik yang terdapat dalam undang-undang juga masih minim penjelasan. Misalnya pada UU ITE Pasal 27 ayat 1 terdapat frasa “yang mengatur muatan yang mengandung kesusilaan”. Namun tidak ada definisi yang jelas tentang frasa tersebut. Sementara itu, UU Pornografi Pasal 1 ayat 1 hanya mendefinisikan pornografi sebagai gambar, sketsa, gambar bergerak, animasi, foto, tulisan, gerak tubuh, atau pesan-pesan lain melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang mengandung kecabulan dan eksploitasi seksual.
Pengungkapan kasus kejahatan seksual anak melalui game online di Bareskrim Polri, Jakarta, 30 November 2021. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Selain pada aspek hukum, kata Rainy, kendala yang dihadapi adalah banyak lembaga layanan belum memiliki kapasitas penanganan dan pendampingan. “Belum semua petugas layanan memahami KSBE dan jenis-jenisnya,” kata dia. Begitu juga dengan aparat penegak hukum. “Jadi, masih perlu penguatan pemahaman tentang kekerasan seksual.”
Karena itu, Rainy melanjutkan, pemerintah harus segera membuat mekanisme keamanan penggunaan media elektronik. Selain itu, dibutuhkan tim yang bertanggung jawab membuat dan mengevaluasi kebijakan keselamatan pengguna media elektronik.
Faktor geografis juga menjadi kendala penanganan KSBE. Rainy menyebutkan, pusat layanan kekerasan terhadap perempuan saat ini masih terpusat di Pulau Jawa, khususnya di kota-kota besar. Sedangkan pusat layanan di luar Pulau Jawa jumlahnya masih terbatas. Misalnya di Provinsi Papua dan Papua Barat. Saat ini hanya tersedia satu rumah sakit jiwa di sana, yakni RSJ Abepura. Itu pun tidak menyediakan panti rehabilitasi kesehatan mental. Padahal, berdasarkan data Komnas Perempuan, setengah dari pasien perempuan di RSJ Abepura adalah korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Psikolog klinis Gisella Tani Pratiwi mengatakan tidak sedikit anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Pemerintah perlu menyediakan layanan khusus untuk menangani KSBE di Indonesia. “Karena banyak korban merupakan anak di bawah umur, juga penyandang disabilitas, yang masih belum tahu banyak mekanisme pengaduan,” ujarnya.
Kejahatan seksual berbasis elektronik, kata Gisella, memiliki dampak nyata dan beragam. Korban tidak hanya mengalami penderitaan fisik, tapi juga psikologis. Dampak psikologis ini bisa berupa depresi, paranoia, menyalahkan diri sendiri, viktimisasi dan isolasi sosial, serta ide untuk bunuh diri. Karena itu, semua lapisan masyarakat perlu memandang serius penanganan kasus ini.
ILONA ESTERINA PIRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo