Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang baru, Anas Urbaningrum, menyinggung pernyataannya beberapa tahun silam ihwal mempersilakan dirinya digantung di Monas jika terbukti terlibat kasus korupsi Hambalang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal itu disampaikan Anas dalam pidato politiknya hari ini, Sabtu, 15 Juli 2023. Namun, Anas yang telah menjalani hukuman penjara itu kini mengubah pernyataannya soal "Gantung Anas di Monas" adalah bukan dirinya, tetapi harapannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diketahui, Anas terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum PKN menggantikan I Gede Pasek Suardika dalam Musyawarah Nasional PKN di Jakarta, pada Jumat malam, 14 Juli 2023.
"Ya makanya itu harapannya adalah gantungkan harapanmu di atas langit. Di bawah langit ada Monas," kata Anas saat berpidato di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Sabtu, 15 Juli 2023.
Soal banyaknya orang yang menagih janji Anas akan gantung diri Monas, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu malah menyebut ada para pihak yang mendorong hal tersebut.
"Tidak apa-apa, karena itu digerakkan oleh grup yang memang punya kepentingan politik tersendiri, itu hal yang silahkan saja," kata Anas.
Namun, Anas tidak secara gamblang siapa grup yang mendorong agar Anas menunaikan janjinya akan gantung diri di Monas. "Sudah tahu kan, masa tanya," kata Anas.
Kilas balik peristiwa ‘Gantung Anas di Monas’
Pidato Anas yang menyinggung soal "Gantung Anas di Monas" mengingatkan publik pada peristiwa yang terjadi pada 11 tahun silam. Pernyataan Anas kala itu menyorot perhatian publik. Media massa pun ramai memberitakan peristiwa tersebut.
Menyitir Tempo, Sabtu, 15 Juli 2023, pernyataan yang disampaikan Anas pada 9 Maret 2012 itu karena ia yakin tidak menerima uang sepeser pun dari kasus korupsi Hambalang. "Satu rupiah saja Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas," ujar Anas pada saat itu.
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK kemudian menetapkan Anas sebagai tersangka dalam kasus korupsi Hambalang pada 22 Februari 2013. Sekitar setahun berselang, Anas juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang.
Tak hanya terjerat kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, KPK juga menjerat Anas dalam berbagai proyek.
Pada persidangan, jaksa KPK mengajukan tiga dakwaan terhadapnya. Dalam dakwaan pertama, jaksa KPK menyebut Anas selaku Anggota DPR RI menerima Toyota Harrier senilai Rp 670 juta, Toyota Vellfire senilai Rp 735 juta, Survei Pemenangan senilai Rp 478 juta, uang Rp 116,525 juta dan USD 5,261,070.
Selanjutnya: Pemberian tersebut berasal dari…
Pemberian tersebut berasal dari berbagai pihak. Mulai dari PT Adhi Karya sebagai penggarap proyek Hambalang hingga koleganya di Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, pemilik perusahaan Permai Group yang juga terlibat dalam banyak korupsi proyek.
Jaksa menyatakan suap tersebut dilakukan untuk pengurusan proyek P3SON Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), proyek-proyek di perguruan tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan proyek-proyek lain yang dibiayai APBN yang didapatkan Permai Group.
Anas disebut menggunakan posisinya sebagai Ketua DPP Bidang Politik Partai Demokrat dan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR RI untuk mengatur proyek-proyek pemerintah yang sumber pembiayaannya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) tersebut.
Dalam dakwaan kedua, jaksa KPK menyebut Anas melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp 20,880 miliar. Anas disebut membeli tanah di wilayah Duren Sawit, Jakarta Timur dan Yogyakarta dari uang hasil korupsi.
Dalam dakwaan ketiga, jaksa KPK menjerat Anas soal pencucian uang sebesar Rp 3 miliar yang bersumber dari Permai Group untuk pengurusan izin usaha pertambangan atas nama PT Arina Kota Jaya seluas 5 ribu - 10 ribu hektare di Kalimantan Timur.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Anas Urbaningrum terbukti bersalah seperti dalam dakwaan pertama dan kedua pada 24 September 2014. Majelis hakim menjatuhkan hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta saat itu.
Anas juga dihukum membayar uang pengganti Rp 57.592.330.580 dan USD 5.261.070 subsider dua tahun penjara. Sementara untuk dakwaan ketiga, hakim menilai tak terbukti.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperingan hukuman kepada Anas di tingkat banding. Hukumannya didiskon menjadi 7 tahun penjara saja sementara denda dan uang pengganti tetap.
Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung justru menambah berat hukuman terhadap Anas Urbaningrum. Majelis Hakim yang dipimpin oleh Artidjo Alkostar menyatakan menghukum Anas Urbaningrum 14 tahun penjara.
Artidjo cs juga menambahkan hukuman kepada Anas berupa pencabutan hak untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik. Hukuman itu berlaku selama lima tahun usai Anas menyelesaikan masa hukuman penjara.
Anas kemudian mengajukan Peninjauan Kembali pada 2018. Di tingkat PK inilah MA kemudian kembali memotong hukuman Anas kembali menjadi 8 tahun penjara. Dia pun dinyatakan bebas murni pada Senin, 10 Juli 2023.
Rentetan kasus korupsi ini tak hanya menjerat Anas Urbaningrum. Sejumlah kader Partai Demokrat lainnya pun ikut terseret seperti Andi Malarangeng, Muhammad Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Ketiganya pun kini telah keluar penjara.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.