Dikalangan pengusaha Indonesia barangkali hanya segelintir yang berani berbicara terus terang seperti Gwie Gunawan. Terutama jika pembicaraan itu harus mengkritik aparat pemerintah yang menghambat kegiatan usahanya. Apalagi kritik itu disampaikan secara terbuka, seperti dalam forum penyampaian unek-unek, ketika berlangsung dialog antara pengusaha dan Pemda Jawa Timur, belum lama ini. Forum itu diselenggarakan harian Bisnis Indonesia dan Sigma Conferences di Hyatt Regency Surabaya. Di hadapan Gubernur Basofi Sudirman, secara lugas Gwie Gunawan mengatakan, "Pengusaha di Indonesia ini selalu tak bisa tidur nyenyak, karena memikirkan izinnya yang tak kunjung keluar." Mungkin, kalau saja cukup punya keberanian seperti itu, akan banyak pengusaha yang bisa berbicara seperti Gwie. Gwie, 50 tahun, presiden direktur perusahaan baja PT Jaya Pari Steel, di Surabaya, sempat mengalami stres berat menghadapi perangai para birokrat di Jawa Timur, sehingga rencana pengembangan industri bajanya ia laksanakan di Malaysia, yang dinilai oleh mitra usahanya dari mencanegara lebih menguntungkan dan akomodatif dibandingkan dengan di Indonesia. Dan investasi bernilai sekitar Rp 2,1 triliun itu pun dinikmati Malaysia. Kata Gwie, "Sebetulnya itu tidak kami inginkan. Tapi hambatan birokrasi untuk memperoleh lahan telah memaksa kami untuk mengambil keputusan itu. Dewan direksi sudah telanjur kecewa dengan kebijakan Pemda." Ceritanya, pada tahun 1992, Gwie bekerja sama antara lain dengan British Steel, Inggris, hendak membangun pabrik penghasil pelat baja, dengan kapasitas 2,2 juta ton lembar baja per tahun. Lahan yang sudah mereka incar sebagai lokasi pabrik adalah tanah seluas 400 hektare di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Ternyata, sampai lima bulan lebih permohonan izin pembangunan pabrik itu terkatung-katung di tangan Pemda tanpa penjelasan yang memadai. Sementara itu, Gwie sudah pula memanggil ahli planologi dari AS untuk meninjau lokasi, dan mereka menyetujui lokasi itu. "Namun jawaban dari Pak Larso adalah izin saya ditolak," kata Gwie. Yang dimaksud dengan Pak Larso adalah Gubernur Jawa Timur (waktu itu) Soelarso. Alasan Soelarso menolak izin itu: karena lahan milik pemerintah tersebut akan dijadikan pusat industri kayu. Tapi sampai sekarang belum terdengar kabarnya, kapan pusat industri kayu itu dimulai. Yang diharapkan Gwie dan mitranya tentu mendapatkan izin. Kalaupun ditolak, pemberitahuannya tak perlu menunggu begitu lama. Dengan demikian, Gwie dan mitranya masih punya waktu untuk mencari lahan lain. Sebab, ketika Gwie mengajak mitra asingnya untuk mencari alternatif tempat baru, mereka menolak karena sudah terlalu lama proyek itu tertunda. Kalaupun ditemukan lokasi baru, mereka karena pengalaman tadi masih belum yakin akan segera mendapatkan izin. Selama ini hanya AS, Jerman, dan Jepang yang sudah memproduksi jenis baja seperti itu. Kalau waktu itu Gwie bisa melaksanakan cita-citanya di Tuban, Indonesia akan menjadi negara keempat. Kecuali itu, menurut Gwie, "Kalau pabrik baja itu jadi di Tuban, ada sekitar 12.000 tenaga kerja yang dapat diserap." Akhirnya, Gwie dan mitranya membelokkan lokasi pabrik ke Trengganu, Malaysia. Di Malaysia, tentu saja, mereka disambut dengan sangat hangat. Proses perizinan dan persiapan pabrik, yang kemudian bernama Gunawan Iron & Steel (GIS) Sdn. Bhd., bisa rampung dalam waktu enam bulan saja. GIS juga tak perlu membangun jaringan air ataupun listrik serta jalan, karena semuanya sudah tersedia. Bahkan fasilitas pelabuhan pun dibolehkan untuk diperbesar sesuai dengan keinginan GIS. "Saya teringat, ketika saya dipanggil Menteri Perdagangan dan Perindustrian Malaysia, Dato Seri Rafidah Aziz, untuk menjelaskan permintaan kami, jawabannya sangat menyejukkan. Menteri itu mengatakan, 'Kami hanyalah pemerintah, pengusaha lebih tahu apa yang dibutuhkannya', dan permintaan GIS langsung dikabulkan," kata Gwie, di depan Gubernur Basofi Sudirman. Gwie, masih dengan semangat tinggi, menambahkan, "Saya sangat sedih dan tak bisa berkata sepatah kata pun pada saat dilakukan pemancangan tiang pertama pabrik GIS itu. Saya lihat orang di sekitar saya bangsa Malaysia semua. Sementara itu, Pemda Jawa Timur, yang jelas masih satu bangsa dengan saya, malah menghambat saya untuk menanam investasi di negeri saya dan tempat lahir saya." Ketika ditemui K. Candra Negara dari TEMPO di Surabaya beberapa waktu lalu, Gwie Gunawan entah mengapa menolak bicara banyak soal investasinya di Malaysia itu. "Saya cuma pedagang kecil, dan saya sekarang sedang sibuk menghadapi akhir tahun," katanya. Yang jelas, menurut Gwie, mereka baru mulai membangun pabrik seluas 400 ha itu tahun 1994. Tapi sebuah sumber yang mengenal Gwie di Surabaya mengungkapkan kepada TEMPO, Gwie membangun pabrik baja itu di Malaysia karena begitu banyak kemudahan yang diterimanya. Modal untuk investasi itu disediakan oleh sebuah BUMN di Malaysia. "Boleh dibilang, Gwie Gunawan cuma menjual teknologi industri baja ke sana. Untuk teknologi industri itu, dia memang jagonya," kata sumber tadi. Yang jelas, dalam perkara agresivitas mengundang barisan investor asing dan kemudahan yang kemudian diberikan kepada mereka, Malaysia memang bisa merupakan saingan berat bagi Indonesia. Perdana Menteri Mahathir Mohamad dalam soal politik internasional memang sering membuat para pemimpin di AS dan negara Barat lain merah kupingnya. Tapi para pengusaha dari negeri-negeri yang dikritiknya itu disambut ramah ketika datang untuk berinvestasi di Malaysia. Untuk itu, pemerintah Malaysia sudah menyiapkan Investment Guarantee Agreement, untuk melindungi perusahaan asing dari ancaman nasionalisasi dan pengambilalihan. Kalaupun itu terjadi misalnya karena urusan politik akan dilaksanakan dengan kompensasi yang selayaknya. Kebebasan mentransfer keuntungan, modal, dan biaya lain juga dijamin. Dan penyelesaian perkara, jika terjadi masalah, bisa dilakukan melalui Convention on the Settlement of Investment Dispute. Malaysia sudah menjadi anggota konvensi ini sejak tahun 1966. Perjanjian jaminan keamanan investasi itu sudah diteken Malaysia dengan banyak negara di dunia, seperti AS, Jerman, Kanada, Belgia, Belanda, Swiss, Inggris, Italia, Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan ASEAN. Kendati begitu, pada tahun 1991, sempat pula arus investasi asing tersendat, tak sederas periode sebelumnya. Dalam catatan MIDA (Malaysia Industrial Development Authority), nilai investasi asing yang masuk saat itu 34% lebih rendah jika dibandingkan dengan tahun 1990. Berkurangnya selera investor asing ini, kabarnya, dipengaruhi oleh ketidakpastian iklim politik, sebagai akibat kekalahan Barisan Nasional di Negara Bagian Kelantan. Melihat gelagat seperti itu, kabinet Mahathir segera mengumumkan deregulasi, yang mengizinkan investor asing memiliki 100% saham perusahaannya di Malaysia. Beleid Mahathir adalah memproses Malaysia untuk menjadi negeri industri maju mulai tahun 2020 nanti. Salah satu prioritas menuju ke sana, sesuai dengan Outline Perspective Plan II (1991-2000), adalah meningkatkan kegiatan sektor manufaktur. Swasta, asing, dan lokal dipompa semangatnya untuk berperan ikut mewujudkan cita-cita itu. Ada 12 zone bebas (seperti bonded zone di Indonesia) yang memberikan kelonggaran pemasukan barang modal dan keleluasaan kegiatan ekspor bidang manufaktur di Malaysia, di samping sederet kawasan industri. Lebih penting lagi dari semua itu adalah dukungan infrastruktur (jalan, saluran telepon, listrik, dan pengadaan air). Dalam hal ini Malaysia memang yang terbaik dibandingkan dengan negara berkembang lainnya di dunia. Indonesia boleh menengok ke negeri jiran ini, mencari rujukan. Thailand, salah satu tempat memikat lainnya di ASEAN bagi investor asing, juga ketinggalan dibandingkan dengan Malaysia. Sawwintara, pejabat humas Board of Investment (semacam BKPM di sini) di Bangkok, mengatakan kepada TEMPO, kelemahan infrastruktur tersebut telah membuat para investor asing hanya berkumpul di sekitar Bangkok, karena hanya di sekitar ibu kota itulah bisa diperoleh fasilitas paling memadai untuk kegiatan bisnis, dibandingkan di daerah. Pengembangan infra-struktur, misalnya menyangkut pengadaan jalan bebas hambatan, di Muangthai telah lebih banyak menimbulkan perkara ketimbang harapan. Atau tertunda pelaksanaannya. Contoh kasus, antara lain, pembuatan Don Muang Tollway, jalan bebas hambatan dari pusat kota ke bandara internasional Don Muang. Pelaksanaannya terlambat dua tahun dari yang dijadwalkan. Sampai Agustus 1993, baru rampung 50%, dan anggarannya telah menggelembung 100% dari rencana semula. Proyek swasta ini juga dilibat kemelut dengan pemerintah, menyangkut jumlah persilangan yang harus dibangun dan bagaimana mengatur semua itu agar tak mengganggu proyek lainnya. Untuk menutupi kelemahan di bidang infrastruktur, April 1993, pemerintah Thailand mengumumkan nama semua provinsinya, kecuali Bangkok, sebagai investment promotion zone. Artinya, untuk kegiatan investasi di daerah tersebut, akan diberikan banyak kemudahan, seperti dalam soal pajak dan pemasukan barang modal serta bahan baku. Di Zone 2, yang kurang begitu terpencil, ada pemotongan 50% pajak impor bagi barang modal (mesin pabrik), keringanan pajak pendapatan sampai tiga tahun (bisa diperpanjang sampai tujuh tahun), dan keringanan pajak impor atas bahan baku atau bahan esensial lainnya selama satu tahun bagi produk yang ekspornya minimal 30% dari total penjualannya. Di Zone 3, investor asing akan memperoleh keringanan (100%) pajak untuk mesin-mesin, dan pajak pendapatan perusahaan boleh dibayar setelah delapan tahun. Kecuali itu, bahkan untuk produk yang akan dipasarkan di dalam negeri yang bahan mentahnya tak ada di pasar lokal, akan mendapat korting pajak pemasukan bahan mentah sampai 75%. Pancingan tersebut tampaknya cukup berhasil, kalau dilihat jumlah investasi asing yang disetujui sepanjang Januari- September 1993 yang mencapai 232. Sedangkan untuk periode yang sama tahun 1992, yang disetujui adalah 246. Menurut Sawwintara, investor asing yang menyerbu wilayah di luar Bangkok memilih daerah-daerah tepi pantai yang dekat dengan pelabuhan. Kemudahan di sekitar perpajakan tersebut yang barangkali menjadi andalan utama Muangthai, mengingat tenaga buruh yang terlatih dan fasilitas pendukung lainnya juga sudah dimiliki oleh Malaysia, Indonesia, ataupun RRC. Sekitar 10 sampai lima tahun lalu Muangthai bisa mengunggulkan buruh yang lebih giat bekerja dan ini sempat dipuji oleh perusahaan besar dari Jepang atau Taiwan. Sekarang, kalau cuma itu, tak lagi bisa diandalkan.Mohamad Cholid, Moebanoe Moera, dan Ahmad Latif (Malaysia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini