Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Freedom Information Network Indonesia atau FOINI akan melaporkan anggota Komisi I DPR RI panja RUU TNI ke Mahkamah Kehormatan Dewan atau MKD DPR RI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koalisi FOINI terdiri dari Indonesian Parliamentary Center (IPC); Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA); Forest Watch Indonesia (FWI); Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK); Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD); Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA); Gemawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemudian, YASMIB Sulawesi; Indonesia Corruption Watch (ICW); Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi Nusa Tenggara Barat (SOMASI-NTB); Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO); serta Komite Pemantau Legislatif (Kopel).
Peneliti FITRA Gunardi Ridwan mengatakan, rencananya aduan didaftarkan hari ini. Namun, akses masuk DPR dibatasi karena ada demonstrasi menentang pengesahan RUU TNI. Sehingga koalisi masih menunggu kompleks parlemen dibuka kembali untuk mendaftarkan aduan ke MKD.
Gunardi mengatakan aduan ini dilayangkan karena panja revisi UU TNI melanggar kode etik dalam proses pembahasan revisi tersebut. Ia menilai proses pembuatan revisi UU TNI ini kurang transparan karena tidak masuk di Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Selain itu, penyusunan revisi terburu-buru dan dilakukan di luar DPR.
“Ini menguatkan dasar aduan kami bahwa ada pelanggaran Tata Tertib DPR,” kata Gunardi saat dihubungi Tempo, Kamis, 20 Maret 2025.
FOINI menilai pelanggaran yang dilakukan anggota panja mencakup tidak dipatuhinya prosedur legislasi sebagaimana diatur dalam Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR RI, khususnya terkait transparansi, partisipasi publik, dan mekanisme pembahasan yang semestinya dilakukan sesuai prosedural waktu yang telah ditetapkan.
Menurut Gunardi, pembahasan revisi UU TNI dilakukan tanpa keterbukaan yang memadai dan bertentangan dengan Pasal 5 Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib yang mengatur prinsip transparansi dalam legislasi. Selain itu, pembahasan revisi UU TNI dilakukan tidak sesuai prosedural waktu yang telah ditetapkan di pasal 254 Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib. Kemudian, tidak adanya konsultasi publik yang memadai sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Draf revisi UU TNI juga dibahas dalam kanal resmi yang tidak terbuka untuk publik, bertentangan dengan ketentuan rapat-rapat DPR yang seharusnya dapat diakses oleh masyarakat,” ujarnya.
Di samping itu, Gunardi berpendaoat bahwa anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan revisi UU TNI melanggar kode etik karwna diduga tidak menjunjung tinggi kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok tertentu.
Tindakan tersebut, kata Gunardi, bertentangan dengan Pasal 3 Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib yang mengatur bahwa anggota DPR wajib menjalankan tugas secara transparan, jujur, dan akuntabel.
“Berdasarkan fakta-fakta tersebut, kami sebagai pelapor mengajukan permohonan kepada MKD DPR RI untuk menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota DPR RI dalam pembahasan revisi UU TNI,” katanya.
FOINI juga meminta MKD memanggil anggota DPR dan menjatuhkan sanksi kepada legislator yang melanggar kode etik dalam proses legislasi ini.
Gunardi mengatakan, latar belakang pengaduan ini sebetulnya bukan semata-mata revisi UU TNI. Tetapi rangkaian perilaku bermasalah DPR dalam merevisi atau membuat legislasi. Ia mencontohkan banyak undang-undang bermasalah karena pelanggaran kode etik legislator ini, misalnya, Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
DPR, kata dia, cenderung tidak transparan dan terburu-buru mengesahkan undang-undang dengan partisipasi publik yang minim. “Seolah-olah itu ada pemaksaan, ada target yang dipaksa dan minim sekali terhadap konsultasi publik. Jadi ini tidam hanya soal revisi UU TNI saja. Revisi UU TNI ini menjadi semacam ujung dari rangkaian pelanggaran DPR,” katanya.