Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua tahun sudah bencana tsunami berlalu. Aceh bergegas menata segala kerusakan yang terhampar. Namun, gerak pembangunan ini tak memuaskan semua orang. Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi untuk Aceh dan Nias (BRR) yang menjadi payung koordinasi bagi 400 lembaga swadaya masyarakat yang melakukan kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi dipersalahkan. Sejak didirikan pada April 2005, badan ini dianggap lambat.
Dalam percakapan dengan dua wartawan Tempo, Kurie Suditomo dan Farida Sendjaja, yang menemuinya di kantor BRR, kawasan Lhueng Bata, Banda Aceh, awal Desember silam, Kepala BRR Koentoro Mangkusubroto mengungkapkan pelbagai problem yang dihadapi. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana Anda melihat pelaksanaan program BRR tahun 2006?
Sudah banyak yang ditangani BRR tahun ini, diperkirakan menghabiskan anggaran lima triliun dari APBN. Sebanyak 60 ribu dari 128 ribu rumah sudah dibangun. Tahun depan kita mengharapkan pembangunan rumah yang dibutuhkan dapat dipenuhi total 18 ribu. Sisanya, 60 ribu lagi, dipenuhi berikutnya. Membangun rumah paralel dengan membangun kembali sendi masyarakat lain, seperti memperbaiki sawah, menghidupkan pasar. Masyarakat mulai bergerak normal. Sawah rusak akibat tsunami sudah 80 persen berproduksi. Program pemberian kredit dan pelatihan-pelatihan terus berjalan. Ini tidak kecil.
Tapi 60 ribu rumah itu belum punya sertifikat?
Ya, semuanya masih menunggu pengesahan dari Badan Pertanahan Nasional sekarang. Tapi sampai sekarang belum diproses. Tak ada kemajuan.
Apa lagi kendalanya?
Aceh sudah kehabisan kontraktor. Kebanyakan pekerja pun dari luar Aceh. Sekarang susah betul cari kontraktor yang mau mengerjakan, yang punya kapasitas. Tahun depan harus ada penambahan kapasitas. Kontraktor luar harus masuk. Lalu soal pengadaan. Perlu tata pengadaan barang baru, juga tata cara pengadaan kontraktor.
Bukankah itu semua sudah ada modulnya?
Tapi ini daerah tidak normal, harus ada percepatan. Ini yang membuat lambat. Kalau kita semua paham daerah ini hancur oleh tsunami, semestinya ada keinginan untuk mempercepat dan memberi kemudahan. Misalnya, untuk mengangkut material rekonstruksi, kita mesti bikin jalan. Bikin jalan bukan masalah 1-2 bulan. Tapi menunggu jalan dibangun, berarti di sana nggak dibangun-bangun. Ada tempat-tempat alternatif yang relatif mudah seperti Calang, Meulaboh, Blang Pidie. Tapi Simeuleu gimana? Kita mengangkut barang cuma bisa sampai ke pelabuhan, tapi ke ujung pulau tempat kerusakan terjadi tak bisa karena tak ada jalan ke situ.
Apa kemudahan itu berarti penunjukan langsung? Bagaimana akuntabilitasnya?
Tak perlu begitu. Misalnya rumah. Lihat contohnya, harganya 60 juta. Beri pada siapa yang mau bangun. Atau, jalan dari Lamno ke Calang. Setiap air naik, jalannya putus lagi. Mengapa tak manfaatkan kontraktor lokal? Begitu rusak, mereka kerjakan, baru tagih. Konsep seperti ini tidak ada. Selama ini kita nunggu kejadian, baru tender.
Kalau dia menagih terlalu tinggi, bagaimana?
Kalau cara berpikirnya seperti itu, ya buat tender. Ketika tendernya minimal dua minggu, orang marah karena selama itu tak ada jalan dari Lamno ke Calang. Beginilah yang kami hadapi. Mestinya tidak begini. Ini bukan membangun pabrik atau monorel.
Itu kendala dari luar. Tapi terhadap kinerja BRR sendiri Anda menghadapi banyak keluhan tentang sumber dayanya?
Pekerja di BRR ini sangat menarik. Organisasinya hanya hidup selama empat tahun dan mesti langsung menggerakkan roda rekonstruksi. Isinya dari berbagai macam latar belakang sekaligus. Sekarang sampai 450 staf BRR yang profesional. Mereka dengan latar belakang yang beragam, dari pegawai negeri, swasta, lembaga swadaya. Nah, setiap orang itu dilatarbelakangi masa lalunya. Sifat dari tempat kerja sebelumnya terbawa. Kita mesti berusaha supaya semuanya sejalan dengan nilai BRR: integritas, profesionalisme. Ini bukan barang yang menyenangkan.
Apakah perbedaan visi antara karyawan asal Aceh dan non-Aceh sampai mengganggu proses rekonstruksi? Ini beda visi atau kepentingan?
Ini interpersonal friksi biasa yang terjadi di organisasi mana pun. Yang penting kita bisa pegang kata ’profesionalisme’ itu dengan ketat, orang membawa keahliannya dengan tepat dan memaksimalkan output-nya. Ini yang pokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo