Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Konflik di Papua terus meningkat sejak 2017.
Rakyat Papua membentuk gerakan politik untuk menentukan nasib sendiri.
Pemerintah belum serius mendorong dialog yang melibatkan masyarakat Papua dalam mencari solusi damai.
JAKARTA – Bara di Papua masih terus menyala. Dalam lima tahun terakhir, suhunya semakin panas. Peneliti utama Badan Riset dan Inovasi Nasional, Cahyo Pamungkas, mengatakan konflik di Bumi Cenderawasih terus meningkat sejak 2017. Sepanjang 2016-2021, korban jiwa dari kalangan masyarakat sipil mencapai 155 orang. “Pada periode terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, konflik semakin tinggi,” ujar Cahyo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain masyarakat sipil, anggota TNI dan Polri banyak yang gugur. Bahkan jumlahnya melebihi anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Operasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) yang tewas. Selain itu, tidak kurang dari 50 ribu penduduk asli Papua terpaksa mengungsi untuk menghindari konflik. Mereka menyebar di Nduga, Intan Jaya, Puncak Jaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Maybrat, Lani Jaya, dan kawasan Pegunungan Tengah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ironisnya, mereka tidak diakui sebagai pengungsi sehingga kesulitan dalam mengakses kesehatan, pangan, dan lainnya,” ujar Cahyo. “Kondisi ini sudah memperlihatkan adanya krisis kemanusiaan.”
Untuk menurunkan eskalasi konflik, kata Cahyo, perlu diupayakan jeda kemanusiaan yang melibatkan semua elemen, baik yang terlibat maupun terkena dampak konflik. Jeda kemanusiaan pernah dibuat pemerintah bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Gereja Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Jeda kemanusiaan ini dibuat melalui nota kesepahaman yang disepakati di Jenewa, Swiss, pada 11 November 2022.
Kesepakatan tersebut bertujuan menghentikan kontak senjata dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi yang terjebak di wilayah konflik. Namun, baru berjalan tiga bulan, jeda kemanusiaan tersebut dicabut karena dianggap tidak efektif. Implementasi perjanjian itu urung terlaksana karena banyak pihak yang meragukan, terutama TPNPB-OPM.
Petugas mengevakuasi pengungsi Paro Nduga di Polres Pelayanan Mimika, Papua, 10 Februari 2023. Dok. Pendam xvii/Cenderawasih
Sejak awal, TPNPB-OPM memang menilai perjanjian yang tertuang dalam nota kesepahaman akan sia-sia. Begitu juga dengan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang ragu jeda kemanusiaan mampu mengakhiri konflik di Bumi Cenderawasih. “Ketika enggak ada jaminan keamanan bagi masyarakat, apa gunanya melaksanakan jeda kemanusiaan?” kata Yudo Margono pada 2 Februari lalu.
Berdasarkan penelitian, kata Cahyo, konflik di Papua dipicu oleh empat masalah utama. Pertama adalah penafsiran soal status politik dan sejarah integrasi Papua. Penulisan sejarah Papua dianggap tidak sesuai dengan realitas. Mayoritas penduduk Papua yakin Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 tidak sesuai dengan keinginan para nasionalis Papua saat ini.
Masalah kedua adalah pelanggaran HAM dan kekerasan politik yang masih terus terjadi sejak 1965 sampai sekarang dalam bentuk operasi militer. “Itu menimbulkan trauma psikologis warga Papua,” ujarnya. Masalah ketiga berhubungan dengan marginalisasi, diskriminasi, dan rasisme terhadap orang asli Papua. Lalu masalah terakhir adalah pembangunan yang tidak berorientasi pada masyarakat Papua. “Empat masalah itu yang kami temukan,” ujarnya.
Belakangan ini muncul lagi masalah baru yang berhubungan dengan depopulasi, perpanjangan otonomi khusus, hingga pemekaran. “Karena pemekaran tidak diinginkan orang asli Papua. Pemekaran hanya disetujui elite.”
Menurut Cahyo, Undang-Undang Otonomi Khusus Papua direvisi tanpa melibatkan orang asli Papua. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah pusat tidak mendengarkan keberatan dari MRP. “Ini juga menjadi salah satu faktor utama masalah diskriminasi di Papua,” katanya. “Pemerintah dalam membuat kebijakan seperti monolog, tanpa mendengarkan dan mengundang orang yang benar-benar merepresentasikan suara orang asli Papua.”
Adapun revisi UU Otsus yang diusulkan Presiden Joko Widodo pada akhir 2020 hanya menyentuh dua aspek, yaitu dana otonomi khusus dan pemekaran wilayah di Papua. Dengan revisi itu, wilayah Papua dimekarkan menjadi enam provinsi. Empat di antaranya adalah provinsi baru yang disahkan pada 2022, yakni Provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya.
Demi Menentukan Nasib Sendiri
Saat ini kesadaran politik rakyat Papua semakin kuat. Mereka membentuk gerakan politik untuk menentukan nasib sendiri melalui dua jalan. Pertama, melalui gerakan masyarakat sipil yang tergabung dalam ULMWP. Kedua, melalui gerakan menggunakan senjata lewat kelompok TPNPB-OPM. Bagi mereka yang tergabung dalam ULMWP, perjuangan dilakukan melalui jalur diplomasi dan dialog.
Pegiat dan pemerhati Papua, Rossy You, menguatkan penjelasan Cahyo. Menurut dia, rakyat Papua ingin diberi keleluasaan untuk menentukan nasib mereka di tanah kelahiran. Namun persoalan mendasar tentang bergabungnya Papua dengan Indonesia hingga kini belum terselesaikan. Pemerintah selalu mengambil jarak dengan penduduk asli Papua ketika membahas masa depan Bumi Cenderawasih. “Seharusnya pemerintah mau terbuka untuk berdiskusi dengan pihak yang berbeda pandangan,” ujar Rossy.
Konflik berkepanjangan yang terjadi di Papua tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan akar historis wilayah ini. Faktor-faktor sejarah yang berkaitan dengan masa kolonialisme, kemerdekaan, dan integrasi dengan Indonesia telah memberikan landasan yang kompleks bagi konflik yang terus berlangsung.
Pilot Susi Air asal Selandia Baru Philip Mehrtens bersama anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua, 6 Maret 2023. REUTERS via Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)
Pada masa kolonialisme Belanda, penguasa hanya berfokus pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam Papua. Memasuki periode Pepera, awalnya itu dianggap menjadi titik balik sejarah Papua. Namun banyak pihak yang masih mempertanyakan kesahihan dan keabsahan Pepera. Jadi integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia menjadi sumber konflik yang berkelanjutan. Perseteruan politik dan ketidakpuasan terhadap otonomi, hak asasi manusia, serta isu-isu politik lain terus memperumit hubungan antara pemerintah Indonesia dan kelompok pro-kemerdekaan. “Hingga kini orang Papua merasa hak mereka dianiaya,” ujar Rossy.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Papua Immanuel Gobay mengatakan politik menjadi persoalan mendasar yang terjadi di Papua. Jeda kemanusiaan tidak akan efektif untuk menyelesaikan akar persoalan. Pemerintah semestinya menyelesaikan konflik Papua lewat jalur politik seperti yang pernah dilakukan saat menghadapi Gerakan Aceh Merdeka dan Timor Leste. “Silakan gunakan perundingan seperti di Aceh atau hak menentukan nasib sendiri seperti di Timor Leste,” ujarnya. “Tidak perlu mencari ide penyelesaian masalah politik dari negara lain karena kita sudah punya pengalaman menyelesaikan persoalan seperti ini di dalam negeri.”
Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi konflik Papua pada akhirnya memunculkan kesan bahwa para elite politik abai terhadap masalah di Bumi Cenderawasih. Apalagi menjelang tahun pemilihan umum, menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, para elite hanya memikirkan diri sendiri untuk kembali berkuasa. “Tanpa memikirkan solusi damai untuk Papua, termasuk melalui diaktifkannya kembali penjajakan dialog damai dan jeda kemanusiaan bersama,” ujarnya.
Menurut Usman, terdapat beberapa indikator yang menunjukkan ketidakmampuan negara dalam mengatasi konflik di Papua. Salah satu yang mencolok adalah pelanggaran HAM di Papua akibat konflik bersenjata yang masih terus terjadi dengan mengorbankan banyak warga sipil. Indikasi lain adalah pembatasan akses bagi media dan wartawan yang ingin mendapatkan pemahaman komprehensif tentang situasi di Papua. Ketimpangan ekonomi juga masih terjadi, walau pemerintah belakangan ini meningkatkan pembangunan infrastruktur. “Itu dilakukan tanpa partisipasi rakyat Papua dan tanpa persetujuan Majelis Rakyat Papua,” katanya.
Amnesty menilai pemerintah belum serius mendorong dialog yang melibatkan masyarakat Papua dalam mencari solusi damai. Kehadiran Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Papua tidak memberikan dampak positif untuk menyelesaikan konflik. “Kunjungan itu tidak ada artinya bagi para pihak yang berpengaruh di Papua, termasuk Dewan Adat Papua, MRP, dan Dewan Gereja Papua,” ujar Usman.
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo