Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Konser buat Ngarso Dalem

Mangkubumi pewaris takhta kesultanan dinobatkan menjadi Hamengkubuwono X di keraton yogya, selasa pekan ini. acara berlangsung dengan meriah walau sebelumnya ada silang pendapat mengenai logo keraton.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERATON Yogya berbinar. Beberapa gending Jawa dialunkan dengan riang sejak pagi hari di Bangsal Pangrawit dengan iringan gamelan Kyai Surak dan Kyai Kancil Belik. Dari sudut lain, terdengar pula alunan syahdu ayat-ayat suci Quran. Suasana itulah yang menjadi suguhan pertama bagi tamu keraton yang menghadiri jumenengan K.G.P.H. Mangkubumi menjadi Hamengku Buwono X, Selasa pekan ini. Gamelan di Bangsal Pangrawit itu menghentikan konsernya menjelang prosesi dimulai. Saat itu, iring-iringan calon Sultan tengah bersiap memasuki tempat penobatan, Sitihinggil dari Bangsal Kencono. Ujung paling depan prosesi adalah barisan abdi dalem dan kerabat keraton. Mereka mengenakan surjan dan beskap. Rombongan ini kemudian duduk bersila di pelataran Sitihinggil. Menyusul kemudian, empat orang abdi dalem wanita yang mengusung pelenggahan-dalem dampar (kursi singgasana). Dampar itu ditempatkan dalam Bangsal Manguntur Tangkil, sebuah miniatur bangsal yang berada di bawah atap Bangsal Witono. Menyusul di belakang rombongannya adalah barisan pangeran (sentono) dan bupati keraton. Rombongan bangsawan madya, dalam hirarki keraton itu, menempati Bangsal Manguntur Tangkil, yang letaknya di sisi timur Bangsal Witono. Iringan berikutnya adalah para bangsawan yang menyandang gelar pangeran. Mereka duduk di salah satu sudut di Bangsal Witono, bangsal terbesar di Sitihinggil. Di belakang barisan para pangeran -- sebagai syarat kelengkapan upacara -- ada rombongan orang "cacat". Mereka dianggap sebagai klangenan Sultan, terdiri dari 14 orang cebol dan 3 lainnya bule. Selain punya arti simbolik -- bahwa keraton memperhatikan orang cacat -- kehadiran abdi polo itu juga dipercayai sebagai penolak bala. Menyusul kemudian rombongan para keluarga istana setingkat pangeran atau Bendoro Putro Sentono (kemenakan raja). Mereka ini ditugaskan membawa perlengkapan upacara, seperti keris, tombak, atau pusaka lainnya. Setelah semuanya rapi, G.B.P.H. Joyokusumo, adik Mangkubumi yang menjabat sebagai panitia pesta agung ini, menjemput calon raja. Mangkubumi pun memasuki Sitihinggil, diiringi oleh para pangeran ajudan. Di antaranya adalah G.P.B.H. Prabuningrat, yang membawa bintang pusaka bersudut delapan, simbol takhta Kasultanan. Setelah pangeran ajudan, ada lagi iringan putri-putri HB IX. Mereka sekalian ditugaskan membawa perlengkapan upacara dan berbagai barang yang punya makna. Setelah itu terlihat rombongan abdi dalem pamethakan dan para ulama keraton yang mengenakan beskap dan destar. Berikutnya adalah istri Mangkubumi, B.R. Ay. Tatik Mangkubumi, bersama putri-putri keraton lainnya. Sebagai penutup iring-iringan, ada tiga peleton prajurit keraton: Nyutro, Ketanggung, dan Mantri Jero. Setelah semua siap di tempat masing-masing, maka acara jumenengan dimulai. R.M. Dinusatomo, yang mewakili G.B.P.H. Hadikusumo, selaku Pejabat, sekretaris negara, tampil membacakan undhang (pengumuman). Sementara itu, Joyokusumo, menghampiri Mangkubumi, dan memintanya naik ke atas tratak. Lantas, Dinusatomo membacakan undhang pertama. Isinya: penetapan bahwa Mangkubumi diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengku Negoro Sudibyo Rojo Putro Narendro Mataram. Resmilah, Mangkubumi menjadi pewaris takhta Kasultanan, dan dia segera dipersilakan menduduki kursi yang disediakan untuk putra mahkota. Beberapa saat kemudian, senjata-senjata pusaka, yang ditempatkan di belakang Bangsal "mini" Manguntur Tangkil dibuka. Keris, tombak, dan pedang dilepas dari sarungnya. Joyokusumo pun mempersilakan Mangkubumi, yang saat itu menyelipkan keris Kyai Joko Piturun di pinggangnya, memeriksa pusaka-pusaka keraton itu. Kemudian tibalah acara utama pagi itu. Dinusatomo kembali berada di dekat mike. Lalu, ia membacakan undhang kedua, yang menetapkan sang Pangeran Adipati Anom diangkat sebagai Sultan dengan gelar Hamengku Buwono X. Lantas, setelah mendapat isyarat dari Pangeran Joyokusumo, Sampeyan Dalem Noto (HB X itu) berjalan menuju dampar kencono, dengan iringan gending Monggang dan Kodok Ngorek, yang mengalun syahdu dari gamelan Kyai Guntur Laut dan Kyai Kebo Ganggang. Suara gamelan masih mengalun ketika HB X berhenti di depan Bangsal Manguntur Tangkil. Di situ Pangeran Sepuh Poeroebojo, 82 tahun, telah menunggu. Paman Mangkubumi tertua itu menyematkan bintang pusaka di dada HB X. Setelah penobatan, Mangkubumi untuk pertama kali duduk di singgasana sebagai HB X. Suara gamelan pun serentak berhenti, dan berganti dengan tembakan salvo. Setelah dikukuhkan sebagai raja, untuk pertama kali HB X membacakan pidatonya dalam bahasa Indonesia. Judul pidato HB X adalah Tahta Bagi Kesejahteraan, Kehidupan Sosial dan Budaya Rakyat. Selesai pidato, Mangkubumi menyampaikan perintahnya. Ada delapan butir keputusan Sultan hari itu. Antara lain, mempromosikan Hadikusumo sebagai Pangeran Lurah, yang nantinya berhak mewakili Sultan dalam acara resmi keraton. Pada kesempatan itu pula, Nyonya Tatik Mangkubumi naik pangkat menjadi garwa permaisuri. Tak ketinggalan, saat itu pula, HB X menganugerahkan gelar baru untuk sulungnya, Nurmalita Sari, 15 tahun, sebagai Gusti Raden Ajeng Sekar Kedaton (Kembang Istana). Acara jumenengan itu ditutup dengan doa. Lantas, setelah rangkaian upacara itu usai, HB X boleh menggamit permaisurinya ke Bangsal Sri Manganti untuk menerima ucapan selamat dari para tamu, termasuk sejumlah menteri dan pejabat tinggi. Persiapan menghadapi pesta agung itu sempat pula diwarnai silang pendapat. Pangeran Poeroebojo sempat melontarkan protes ketika Mangkubumi memodifikasi simbol Kasultanan, yang berbentuk mahkota disangga dua jajaran bulu sayap, dengan tulisan jawa H-B di tengahnya itu. Angka sepuluh dalam aksara Jawa, oleh Mangkubumi, disisipkan di sisi bawah. Lambang Kasultanan, menurut Poerobojo, sebaiknya bersifat tetap. Sebab, kata pangeran sepuh ini, lambang mencerminkan sikap dan citra pemiliknya. "Kalau berubah-ubah terus, lha... bagaimana," katanya. Namun, perubahan toh pernah terjadi. Lambang itu sendiri semula dirancang untuk penobatan HB VIII, pada 1921. Waktu itu, ada angka VIII, dalam aksara Jawa, di bagian bawah. Tapi angka itu dihilangkan oleh HB IX, ketika ia dinobatkan 1940. Mangkubumi sendiri menyatakan tak punya niat untuk mengubah logo keraton. Logo baru yang dia bikin, "adalah lambang untuk Sultan HB X pribadi," ujarnya. Sebab itu, dalam undangan jumenengan Mangkubumi masih menggunakan logo lama. "Karena pengundangnya adalah keraton". Sehari setelah penobatan HB X akan melakukan kirab, mengelilingi beteng keraton dengan kereta Garuda Yaksa. Ini untuk memberikan kesempatan bagi rakyat untuk melihat rajanya yang baru.Putut Tri Husodo (Jakarta) dan I Made Suarjana (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum