Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

KontraS Sebut Pengesahan Perpu Cipta Kerja Sebagai Bentuk Absolutisme Pemerintah

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menyebut Perpu Cipta Kerja merupakan akal-akalan pemerintah untuk membangkang dari putusan Mahkamah Konstitusi.

23 Maret 2023 | 11.05 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti meberi keterangan terkait pemeriksaan oleh Reskrimsus Polda Metro Jaya terkait dugaan kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, Polda Metro Jaya, Jakarta. Selasa, 1 November 2022. Haris mendapat 4 pertanyaan pokok pada tim penyidik, sementara Fatia akan menjalani pemeriksaan pukul 01.00 WIB, sebelumnya keduanya telah di tetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya pada 21 Maret lalu. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mengecam pengesahan Perpu Cipta Kerja menjadi undang-undang. KontraS menilai pengesahan tersebut menunjukkan sikap absolutisme pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti menyebut Perpu Cipta Kerja merupakan akal-akalan pemerintah untuk membangkang dari putusan Mahkamah Konstitusi dan aspirasi masyarakat. Ia menjelaskan dalam putusannya, MK menyebut UU Cipta Kerja inkonstitusional yang mengharuskan adanya perbaikan oleh DPR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Alih-alih mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Presiden Joko Widodo memaksakan keinginan untuk menggaet investor dengan mengesahkan Perpu Cipta Kerja,” kata Fatia melalui keterangan tertulis pada Kamis 23 Maret 2023.

Selain itu, Fatia mengatakan pengesahan Perpu Cipta Kerja membahayakan konstitusi negara yang mengusung konsep trias politica. Sebab, menurut dia, pengesahan tersebut menunjukkan pemerintah mengabaikan kewenangan dari lembaga yudikatif.

“DPR sebagai perwakilan rakyat pun seharusnya dapat mendukung putusan mahkamah tersebut yang bersifat final and binding, sekaligus mengartikan bahwa tidak ada upaya hukum lainnya yang dapat ditempuh sehingga Presiden sebagai objek putusan harus tunduk pada hal tersebut. Sayangnya, DPR tak lebih dari sebatas ‘tukang stempel’ kebijakan pemerintah,” ujar dia.

Fatia menilai Perpu Cipta Kerja juga sangat merugikan bagi golongan pekerja dan masyarakat kecil. Musababnya, kata Fatia, Perpu Cipta Kerja mengandung regulasi yang memangkas hak-hak para pekerja.

“Sama seperti pendahulunya (UU Cipta Kerja), Perppu Cipta Kerja memberikan ‘karpet merah’ atau privilege kepada pengusaha dan investor namun mengenyampingkan hak-hak kelas pekerja,” kata Fatia.

Selain itu, Fatia juga menilai pengesahan Perpu Cipta Kerja tersebut dapat mengancam demokrasi di Indonesia. Ia mengatakan pengesahan Perpu Cipta Kerja merupakan sikap pemerintah dan DPR yang mengabaikan aspirasi dari masyarakat.

“Kami melihat bahwa fenomena ini sangatlah berbahaya, sebab akan menjadi preseden yang buruk bagi pembuatan kebijakan pemerintah ke depan. Otomatis, tidak ada satu pun jalan yang dapat ditempuh oleh masyarakat untuk menggugat regulasi yang dibuat Presiden bersama DPR. Hal ini jika ditelisik lebih jauh, merupakan bentuk absolutisme kekuasaan yang mana memusatkan otoritas ada pada eksekutif,” ujar dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus