Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anggota Polda Sumatera Utara dilaporkan telah menjebak dan memeras dua transpuan.
Polda Sumatera Utara bersedia mengembalikan uang Rp 50 juta kepada korban.
Korban meminta perlindungan dari LPSK.
JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan mendesak Kepolisian Daerah Sumatera Utara segera menggelar sidang etik untuk delapan anggotanya yang diduga menjebak dan memeras dua transpuan. Sebab, meski sudah dilaporkan sejak 23 Juni lalu, penanganan kasus ini belum ada kejelasan. “Padahal saksi, korban, bukti, dan terduga sudah diperiksa,” kata Direktur LBH Medan, Irvan Saputra, kemarin. “Sampai hari ini belum ada tanda-tanda akan digelar sidang etik.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerasan yang diduga dilakukan anggota Polda Sumatera Utara itu terjadi di sebuah hotel di Jalan Ring Road, Kota Medan, pada 19 Juni lalu. Korbannya adalah dua transpuan, DC alias Kam dan FR alias Ar. Mereka bekerja sebagai pekerja seks. Awalnya, dua korban mendapat pesan teks dari seorang pria bernama Hans. Pria itu meminta korban datang ke kamar 301 hotel tersebut. Di kamar itu, Hans meminta kedua korban menanggalkan pakaian. Permintaan itu ditolak karena Hans belum memberi uang. “Pria ini masuk ke kamar mandi dan berselang beberapa menit, bel kamar berbunyi,” ujar Irvan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hans buru-buru keluar dari kamar mandi dan membuka pintu. Di luar kamar terlihat delapan pria berpakaian sipil yang mengaku polisi. Mereka langsung masuk ke kamar dan memeriksa korban. Dua transpuan itu sempat memprotes. Polisi memperlihatkan selembar surat yang tidak bisa dibaca secara jelas oleh korban. Polisi menemukan sesuatu dan mengatakan itu sabu. “Dua transpuan tersebut dituding membawa sabu,” kata Irvan.
Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Dok. Sumut.polri.go.id
Dua transpuan itu akhirnya dibawa ke Polda Sumatera Utara. Mereka diperiksa dan dimasukkan ke bui. Anehnya, Hans menghilang dan sama sekali tidak diperiksa. Sedangkan korban mendapat intimidasi dan perlakuan tidak menyenangkan. “Polisi kemudian meminta uang damai Rp 100 juta, tapi korban hanya sanggup Rp 50 juta,” katanya. “Uang itu dikirim ke rekening atas nama Sugiyanto.”
Setelah korban keluar dari penjara, mereka mendatangi LBH Medan untuk meminta pendampingan hukum. Pada 23 Juni lalu, LBH melaporkan dugaan pemerasan itu ke Polda Sumatera Utara. Laporan itu tercatat dengan Nomor STTLP/B/758/VI/2023/SPKT/POLDA SUMUT.
Tidak berapa lama setelah laporan itu dibuat, Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Dudung Adijono, mengatakan akan mengembalikan uang korban. “Tapi kami diminta mengucapkan terima kasih kepada Kapolda Sumatera Utara karena telah memberikan respons cepat dalam penanganan kasus ini,” kata Irvan. “Dan itu harus disampaikan dalam jumpa pers.”
LBH tentu saja menolak permintaan yang dinilai janggal itu. Mereka ingin kasus ini diusut dan polisi-polisi yang terlibat pemerasan diberi hukuman sesuai dengan aturan. “Kalau uang dikembalikan, secara tidak langsung perkara ini juga akan ditutup,” kata Irvan. “Padahal polisi yang melakukan pelanggaran saja belum diperiksa.”
Dudung Adijono membenarkan telah mengajak korban dan tim pengacara dari LBH menggelar jumpa pers. “Niat kami baik untuk mengembalikan uang tersebut,” katanya. Namun dia enggan menanggapi pertanyaan Tempo ihwal sidang etik bagi polisi yang diduga terlibat pemerasan terhadap korban. “Ke Kabid Humas saja ya soal itu.”
Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, mengatakan empat polisi sudah diperiksa oleh Propam atas dugaan pemerasan dan rekayasa kasus. “Dari hasil sementara, tentu indikasinya ada dugaan keterlibatan atau dugaan pelanggaran,” kata Hadi. “Seperti yang disampaikan Pak Kapolda, kami tidak akan mentoleransi.”
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti. Dok. TEMPO/Seto Wardhana
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, mengatakan kasus ini harus menjadi perhatian karena akan mencoreng nama institusi kepolisian. Untuk itu, Kompolnas akan mengirim surat permintaan klarifikasi kepada Polda Sumatera Utara. “Kami akan tanya apakah ini diselesaikan dengan restorative justice,” kata Poengky. “Kalau memang iya, bukan berarti pelanggaran kode etiknya tidak diproses.”
Poengky juga meminta masyarakat bersabar dan terus mengawal penanganan kasus ini. Dia memastikan bahwa Kompolnas akan meninjau bagaimana proses pemeriksaan pelanggaran kode etik yang dilakukan delapan anggota Korps Bhayangkara ini telah dilakukan dengan sidang kode etik Polri atau belum. “Dan jika dilihat dari pelanggarannya, kami sangat mendorong agar pelaku dikenai hukuman berat,” ucapnya.
Irvan Saputra mengatakan LBH telah mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Permohonan itu sudah dilayangkan pada 27 Juni lalu, tapi belum mendapat jawaban dari LPSK.
Wakil Ketua LPSK, Edwin Pasaribu, mengatakan telah menerima pengajuan permohonan bantuan perlindungan dari dua transpuan di Medan. Saat ini LPSK masih mempelajari permohonan tersebut. “Dalam 30 hari kami akan sampaikan apakah permintaan bantuan ini diterima atau tidak. Mohon bersabar,” kata Edwin.
ANDI ADAM FATURAHMAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo