Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan proses validasi sertifikat tanah elektronik berpotensi memperparah konflik agraria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Proses semacam ini berpotensi memperparah konflik agraria, mengukuhkan ketimpangan dan monopoli tanah oleh badan usaha swasta dan negara," kata Dewi dalam keterangannya, Kamis, 4 Februari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewi menjelaskan, dari sisi proses, implementasi digitalisasi sertifikat tanah akan dimulai dari tanah pemerintah, kemudian badan usaha yang akan ditarik, lalu divalidasi dan disimpan dalam sistem file elektronik dan bisa dicetak di mana saja oleh pemilik saat dibutuhkan.
Menurut Dewi, titik kritis dari proses semacam ini menimbulkan pertanyaan. Misalnya, bagaimana validasi tersebut dilakukan. "Apakah secara sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah serta badan usaha? Bagaimana posisi masyarakat dalam validasi tersebut, sebab tanah-tanah yang sudah bersertfikat tersebut banyak yang bermasalah," katanya.
Baca: KPA Catat 9 Konflik Agraria Terjadi Selama Masa Pandemi Covid-19
Jika tidak sesuai ukuran, tumpang tindih, dan sedang bersengketa di pengadilan, sementara sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung. Dewi mengatakan, proses ini juga rentan bagi rakyat.
"Banyak sertifikat badan usaha merupakan wilayah-wilayah konflik agraria struktural dengan rakyat, yang seharusnya justru dituntaskan lebih dahulu konfliknya, dilepaskan dari klaim pemerintah dan badan usaha," kata dia.
Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil sebelumnya menerbitkan Peraturan Menteri tentang Sertifikat Tanah Elektronik. Rencana peraturan ini akan menarik semua sertifikat asli dan digantikan sertifikat elektronik.
FRISKI RIANA