Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa detik kemudian, enam lelaki lain datang menghampiri. Cirinya sama. Baju lusuh dengan beberapa lubang koyak dan besi kait di tangan. Mereka pemulung ibu kota. Salah seorang, namanya Ahmad, 30 tahun, mengais-ngais tumpukan sampah itu. Tiba-tiba tangannya menemukan sepotong roti sisa. Mukanya langsung berseri-seri. Roti di tangan kiri itu ia amati bolak-balik. Dengan tangan kanan, ia kibaskan pasir dan kotoran yang menempel bercampur cokelat meses. Dan setelah ia cium-cium, langsung dilahapnya roti itu dengan bernafsu.
Setelah itu, matanya melihat kerupuk sisa sebesar bungkus rokok, menyembul di antara tisu bekas. Kerupuk sisa itu pun digigitnya, tapi langsung ia lempar. Pasti karena sudah melempem. Perhatiannya sekarang beralih pada kotak plastik berisi sisa mi goreng yang lalu diciumnya. Sudah basi? tanya teman di sampingnya. Sambil menggeleng, Ahmad menyodorkannya. Si teman dengan penuh suka cita langsung mengempit kotak itu erat-erat.
Ini bukan adegan film Daun di Atas Bantal-nya Garin Nugroho. Inilah kenyataan di balik angka-angka kemiskinan yang jumlahnya terus membengkak. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS), 80 juta warga mengalami rawan pangan dan 15 juta dalam kondisi gawat darurat. Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Haryono Suyono punya angka yang berbeda. Menurut data dari kantornya, cuma 7,3 juta keluarga--sekitar 30 juta orang kalau satu keluarga terdiri dari 4 orang--yang termasuk dalam kategori rawan pangan tersebut. Terlepas dari data siapa yang akurat, keduanya memastikan kehadiran jutaan rakyat Indonesia yang termasuk dalam kategori rawan pangan.
Siapa saja kelompok rawan pangan ini? Bagi Vivian M. Krause, staf proyek Maternal and Infant Nutrition UNICEF, mereka adalah buruh dan tenaga kerja sektor informal di perkotaan yang kehilangan mata pencahariannya. Masalah PHK massal ini merupakan masalah terbesar yang dihadapi para pekerja di kota-kota besar di Jawa karena mereka tidak memiliki alternatif lain seperti warga desa, yang masih bisa bercocok tanam. Ahmad adalah contoh korban. Sebelum terpaksa jadi pemulung, ia mandor di berbagai proyek bangunan. Ia menganggur sejak Oktober 1997, seiring dengan ambruknya bisnis properti. Pria lulusan STM ini tiap malam tidur di Stasiun Juanda. Setiap hari, ia berkeliling memunguti sampah sambil mengais makanan sisa. Kalau masih kelihatan bagus, ya, dimakan, ujarnya.
Dengan makanan sisa itulah, banyak penduduk menggantungkan hidupnya. Waslikah, pemulung wanita yang tinggal di bantaran rel kereta api di Klender, Jakarta Timur, setiap hari berburu sisa-sisa sayur dari tukang sayur di pasar. Kegiatan itu harus ia lakukan tiap pagi buta karena kalau kesiangan, sisa-sisa itu sudah bersih disapu petugas. Waktu ditemui TEMPO, wanita ini sedang menyuapi dua dari enam anaknya makan sayur asem. Cuma sedikit sayur dengan banyak kuah. Tanpa nasi.
Dengan makanan seperti itu, tak mengherankan status gizi masyarakat menurun drastis. Ini terbukti dari hasil penelitian Nutrition Surveillance Program oleh Hellen Keller Int. Di Jawa Tengah, penurunan berat badan anak di bawah usia 35 bulan meningkat dari 8 persen menjadi 14 persen. Dini Latief, Kepala Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan, mengungkapkan, menurut data akhir 1997 kasus busung lapar mencapai 23 persen dari seluruh balita dan 5 persen di antaranya merupakan kasus tingkat berat.
Sebab utama terjadinya kasus rawan pangan adalah melangitnya harga beras yang kini mencapai Rp 5.000 per kilogram. Untuk itu, menurut Menteri Haryono, sejak dua bulan lalu pemerintah telah memberi bantuan 50 juta kilogram beras murah untuk 5 juta keluarga miskin. Targetnya, 17 juta keluarga bakal disasar. Tapi masalahnya, lain data, lain kenyataannya. Dari pemantauan TEMPO di berbagai kota, banyak warga miskin belum menerima bantuan pemerintah itu. Cuma kabar, tak ada itu pembagian sembako, kata Maryam, seorang buruh di Ujungpandang.
Pemberian bantuan seperti itu, menurut Erna Witoelar, fasilitator program pemulihan dan pemberdayaan masyarakat, sebenarnya hanya cocok untuk orang yang sedang tertimpa musibah. Dan salah-salah, menurut Parsudi Suparlan, peneliti masalah kemiskinan di Universitas Indonesia, hal itu justru akan menumbuhkan budaya kemiskinan. Cirinya: jadi fatalistik dan tidak mau mandiri.
Namun, bukan lalu berarti pembagian sembako tidak perlu. Cuma, menurut Parsudi, itu hanya dalam keadaan darurat dan sementara. Erna memberi perumpamaan, "Seperti memberi oksigen pada orang pingsan: jangan terlalu sedikit karena nanti orangnya tidak bangun, dan jangan terlalu banyak karena bisa kelengar terus.?? Jadi, intinya adalah pemberdayaan. Erna percaya, semiskin-miskinnya orang pasti masih punya potensi untuk membantu dirinya sendiri. Maka, yang kini dilakukan beberapa lembaga swadaya masyarakat yang difasilitasi olehnya adalah menciptakan lapangan kerja dengan upah sembako atau mengupayakan bercocok tanam cepat. Sementara itu, di Yogyakarta, Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY) yang diketuai Loekman Soetrisno mengadakan kursus keterampilan bagi para korban PHK. Pemerintah sendiri, menurut Menteri Haryono, telah menyediakan bantuan modal Rp 1 triliun sampai Rp 2 triliun melalui Badan Perkreditan Rakyat dengan bunga 16 persen per tahun.
Parsudi mengingatkan agar tidak menganggap enteng masalah ini. Budaya kemiskinan yang mengakar dan meluas akan membentuk masyarakat yang cenderung merusak kalau keinginannya tidak tercapai. Ini bisa dilihat dari berbagai aksi penjarahan yang makin meningkat akhir-akhir ini. Maka, situasi gawat darurat ini membutuhkan kesungguhan dan keterbukaan, khususnya dari pemerintah. Tidak ada lagi waktu untuk menutup-nutupi hal ini, apalagi menyikapinya secara angkuh, seperti ucapan Menteri Haryono. Menurut dia, kondisi Indonesia tidak akan membuat rakyat sampai kelaparan kurus kering. Bahkan, Indonesia masih kaya, tetap bisa menyubsidi 50 sampai 200 persen kepada negara lain yang membutuhkan, kata menteri yang malah mencurigai adanya indikasi muatan politis di balik persoalan ini.
Karaniya Dharmasaputra dan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo