Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Takut, Tak Setuju, atau Malas?

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari formulir yang disebar Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara ke berbagai instansi, tingkat pengembalian terendah justru ada di kalangan legislatif. Dan itu ironis. Sebab, dewan legislatiflah yang dulu paling getol mengkritik praktek korupsi Orde Baru. Sejak Maret 2001, komisi antikorupsi itu telah menyebarkan sekitar 41 ribu lebih formulir kepada para pejabat di empat bidang: eksekutif, legislatif, yudikatif, dan perusahaan-perusahaan milik pemerintah (pusat ataupun daerah). Dari kalangan eksekutif, 11 ribu formulir, telah kembali 5.049 buah atau 45,08 persen. Tapi, di kalangan legislatif lebih seret. Komisi menyebarkan sekitar 12 ribu formulir ke semua anggota dewan legislatif di pusat dan daerah. Tapi hanya 2.000 formulir (15,48 persen) yang kembali. Komisi sudah memberi surat peringatan sebanyak tiga kali—terakhir sebulan lalu. Namun, hingga akhir pekan lalu, masih 95 orang anggota dewan yang belum menyetor formulirnya. Padahal secara teoretis, menurut Ketua Komisi Yusuf Syakir, bidang legislatif terhitung paling gampang diurus. "Jumlah mereka mudah diketahui, tempat kerjanya pun jelas," tuturnya. Di kalangan eksekutif, menurut Syakir, lebih sulit karena tingkat mutasi dan pergantiannya sangat tinggi. Apa yang membuat anggota dewan malas mengisinya? Sebagian besar mengatakan, formulir itu rumit dan mereka bingung mengisinya. "Alasan itu dicari-cari," kata Abdullah Hehamahua, Ketua Subkomisi Legislatif. Komisi, menurut Abdullah, telah menyertakan buku panduan dalam setiap formulir. Mereka bahkan juga memberi kelonggaran agar dokumen soal harta bisa disusulkan. Suratal H.W., anggota Fraksi PDI Perjuangan, mengaku belum mengisi formulir karena kecewa terhadap kerja Komisi yang "tidak memburu daftar kekayaan para mantan pejabat Orde Baru, yang paling menikmati korupsi selama ini". Tapi yang lebih penting, menurut Suratal, dia mengaku baru mendapat formulir dua bulan lalu. "Saya ini baru pulang naik haji lewat jalur umum," katanya, "Jadi, terlambat tahu." Bagaimanapun, Suratal, dosen Universitas Diponegoro, Semarang, yang ke mana-mana naik bus umum itu mengatakan akan segera mengirim formulir yang sudah diisi. Oesman Sapta, seorang pengusaha dan anggota MPR dari Utusan Daerah, juga mengaku baru dua bulan lalu menerima kiriman formulir. Dia mengatakan sudah memberi tahu Komisi bahwa dirinya tak bisa cepat mengisi formulir yang baru diterimanya dua bulan lalu itu. "Saya masih perlu waktu," katanya. Letnan Jenderal (Purn.) Rais Abin punya alasan lebih fundamental. Anggota MPR dari Fraksi Utusan Golongan itu pada dasarnya tidak percaya pada komisi antikorupsi itu. "Ini cuma kosmetik," katanya. Rais adalah tentara senior, kini berusia 76 tahun, yang pernah menjadi pemimpin Pasukan Perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Timur Tengah pada 1977. Dulu, pada 1960-an, di era Jenderal A.H. Nasution, dia mengaku pernah mengisi formulir sejenis. "Tapi tidak ada tindak lanjutnya." Menurut Rais Abin, mengisi daftar kekayaan penting, tapi yang lebih penting adalah tindakan konkret pemberantasan korupsi. Meski hingga kini dia belum mengisi dan mengembalikan formulir, Rais mengatakan tak takut dilaporkan ke polisi. "Silakan saja. Kalau perlu, ambil saja sekalian jabatan saya," katanya sambil terbahak. Toh, kini ia sedang memikirkan untuk mengisinya. Rais mengaku dibujuk sejumlah koleganya untuk mengisi formulir agar "jangan tersandung karena soal kecil". Bahkan sekretariat MPR mengiriminya surat yang akan membantu mengisi formulir itu bila diperlukan. "Ya, saya pikir-pikir dulu," katanya. Apa pun alasannya, menurut Wakil Ketua DPR A.M. Fatwa, anggota dewan harus mengisi dan menyerahkan formulir. DPR, menurut Fatwa, mendukung langkah Komisi untuk melaporkan ke polisi anggota dewan yang membandel. Mengisi formulir kekayaan memang baru langkah awal memberantas korupsi. Tapi, tanpa ini, sulit diharapkan ada transparansi, salah satu aspek penting dalam pemberantasan korupsi. Dan jika tak ada bau busuk yang ingin disembunyikan, kenapa takut mengisi formulir yang berlaku untuk semua pejabat itu? Arif A. Kuswardono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus