Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Permainan Lain Haram-Halal

Sertifikat halal diberikan kepada gelatin dari kulit sapi yang diproses tak sesuai dengan syariah. Ada pemberian komisi 40 persen dari sertifikasi di Amerika Serikat.

4 Agustus 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TULISAN tangan Hendra Utama di dokumen audit Majelis Ulama Indonesia tak terlalu rapi, tapi jelas menunjukkan temuannya di pejagalan ­Rockhampton Nomor 384, 600 kilometer utara Brisbane, Australia. Kunjungan auditor Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Kosmetika MUI ke ibu kota Negara Bagian Queensland itu menemukan bahwa proses pemotongan sapi milik Jose Batista Sobrinho (JBS) Australia Pty Ltd tersebut tak ­halal.

Menurut Hendra, meski cara pemingsanan sebelum penyembelihan sapi sesuai dengan ketentuan, yakni 40 detik, tak ada pengecekan apakah sapi tetap hidup. Tahap ini krusial karena, jika sapi sudah mati sebelum disembelih, dagingnya menjadi haram. Anehnya, dalam kesimpulan audit sampel dari 10 pejagalan milik JBS itu, Hendra menulis, "Indonesia akan mendorong AHFS memberikan sertifikat halal bagi semua pejagalan JBS yang memasok kulit wajah sapi untuk Gelita."

AHFS adalah Australian Halal Food Services, lembaga sertifikasi halal yang mendapat lisensi Majelis Ulama Indonesia untuk menjual label makanan dan pejagal­an sapi di Queensland. Adapun Gelita adalah pembeli jangat sapi dari JBS yang akan mengubahnya menjadi gelatin untuk diekspor ke Indonesia. Hari itu Hendra datang ke Rockhampton bersama seorang pejabat Gelita Australia, yang kantornya di pinggiran Brisbane.

Kedatangan Hendra dan hasil audit itu dikonfirmasi Michael Johnston, Manajer Keamanan Makanan JBS. Kepada Tempo yang menemuinya pada pertengahan Maret lalu, ia mengatakan telah mengirim surat kepada AHFS untuk menanggapi hasil audit tersebut. "Tak ada penjelasan lain karena surat itu sudah lama," katanya.

Dua pekan setelah kunjungan Hendra, Johnston menulis surat kepada Mohammad Lotfi, Presiden AHFS. Selain menga­barkan kedatangan auditor dan pelanggannya tersebut, Johnston mengatakan manajer rumah pemotongan telah berdiskusi dengan Hendra tentang proses produksi daging halal sejak di rumah pemotongan. "Saya memastikan penyembelihan di Rockhampton tak melalui prosedur halal," tulisnya.

Selain ke pejagalan JBS, Hendra berkunjung ke rumah potong sapi milik Teys di Biloela Nomor 399. Dua produsen daging sapi terbesar di Australia tersebut pemasok utama kulit wajah sapi untuk Gelita. Berbeda dengan JBS, Hendra tak secara spesifik menyebutkan pejagalan Teys mengikuti prosedur halal. Keterangan sangat jelas justru datang dari Duncan Downie, Manajer Operasi Teys, yang meneken hasil audit itu.

Downie, dalam surat terbuka di kertas berkop Teys Australia, menyatakan pejagalan Biloela milik perusahaannya tak memotong hewan menurut syariah. Meski tahap pemingsanan hingga pemotongan tak sampai membunuh sapi, tak ada pemisahan antara daging halal dan nonhalal sehingga secara keseluruhan produk mereka haram. "Pernyataan ini membatalkan persetujuan yang telah kami buat atas audit sebelumnya," tulis Downie. Ia tak menjawab kontak Tempo untuk memastikan suratnya tersebut.

Penjelasan datang dari Chris Woolhouse,­ Manajer Pemasaran Teys. Menurut dia, pemisahan dan pengirisan kulit wajah sapi di pejagalan Biloela tak terjamin kehalalannya. "Karena kami hanya punya sertifikat halal untuk penyembelihan, bukan untuk pengirisan kulit," katanya. Penjelasan Woolhouse mirip dengan penjelasan Downie, yang menyatakan kulit untuk Gelita tak halal.

Hendra tak mengkonfirmasi hasil audit itu. Ditemui di kantor pusat LPPOM Bogor beberapa waktu lalu, ia menolak menjelaskan kunjungannya ke Rockhampton dan Biloela. Awalnya ia menjanjikan wawancara setelah menyelesaikan pekerjaannya. Melalui sekretarisnya, Hendra meminta pertanyaan tertulis. Hari berikutnya, ketika pertanyaan tertulis itu ia terima, kepada Arihta Surbakti dari Tempo, Hendra hanya menjawab, "Soal audit itu, saya tak punya kapasitas untuk menjelaskan."

Direktur LPPOM Lukmanul Hakim juga tak bersedia menjawab Tempo, yang mengejarnya hingga ke Belgia. Bersama Ketua MUI Amidhan Shaberah, Lukman menjadi pembicara dalam 6th World Halal Conference di Hotel Sheraton Brussels pada 24-25 Maret 2014. "Sudah cukup apa yang ditulis Tempo," katanya berulang-ulang. Lukman merujuk pada laporan Tempo "Astaga Label Halal" pada awal Maret lalu, yang menulis ihwal dugaan suap sertifikat halal kepada petinggi MUI.

Penjelasan dari Hendra dan Lukman penting karena gelatin yang diproduksi Gelita Australia itu diekspor ke Indonesia. Menurut Manajer Penjualan Gelita Josh Hamelaar, sebagian besar gelatin yang dipasok dari JBS dan Teys diekspor untuk memenuhi kebutuhan 3.000 ton gelatin di Indonesia setiap tahun. "Untuk bahan baku permen, kue, obat-obatan, atau campuran makanan," katanya.

Protein berbentuk agar-agar dari serat kolagen kulit dan tulang rawan hewan itu bisa diekspor ke Indonesia karena dinyatakan halal oleh MUI. Sertifikatnya terbit pada 7 November 2012, beberapa bulan setelah kunjungan Hendra ke Brisbane. Diteken oleh Lukmanul Hakim, Ketua Komisi Fatwa MUI Hasanuddin, dan Ketua Umum MUI Sahal Mahfudz. Tanggal terbit sertifikat itu juga sesuai dengan jeda kisruh AHFS dengan Gelita.

Syahdan, karena kebutuhan gelatin Indonesia sepenuhnya impor, AHFS mengajukan izin sertifikasinya ke MUI. Pada 3-8 Juli 2012, Lotfi dan Ali Chawk, Direktur Divisi Makanan AHFS, terbang ke Jakarta menemui Lukmanul Hakim membicarakan proposal halal untuk kulit sapi, sebagai limbah pejagalan. Permintaan keduanya terekam dalam surat elektronik yang dikirim Ali kepada Lukman pada 18 Juli 2012. Dalam balasannya, Lukman menerima proposal itu dengan catatan keduanya harus memastikan pemotongan sapi yang halal dan nonhalal betul-betul terpisah.

Karena mendapat lisensi MUI dan direkomendasikan Hendra Utama dalam auditnya, Gelita pun mengajukan label halal untuk gelatin kepada AHFS. Negosiasi itu tak mulus. Josh Hamelaar menggambarkan hubungan dengan AHFS sebagai "kekacauan" yang berujung proposal halalnya ditolak. "Akhirnya kami mengajukan sertifikat itu langsung ke MUI," katanya. Lukman setuju terhadap permintaan itu, lalu menerbitkan sertifikat halal bagi Gelita pada 7 November 2012, yang berlaku selama dua tahun.

Lotfi enggan mengomentari konfliknya dengan Gelita. Ia bungkam ketika Tempo menemuinya di kantor AHFS. Ali Chawk sama saja. Ia menolak berkomentar ketika ditanya soal audit Hendra dan sertifikat halal Gelita. "Kami tak punya urusan lagi dengan mereka," katanya.

Kepada Imran Musa dari Ark Corporation, konsultan halal dari Singapura, Lotfi blak-blakan membuka skandal halal MUI di Australia. Mereka bertemu di Hotel ­Rydges Bell City, Melbourne, pada 1 Oktober 2013. Lotfi ditemani Ali Chawk, sementara Imran mengajak Syahrudi Muhammad Idji dari Dewan Dakwah Indonesia cabang Tangerang, Banten, yang bertemu tak sengaja di hotel itu. Dalam rekaman percakapan mereka, Lotfi menyebutkan sertifikasi Gelita "sebuah skandal".

Ia memastikan auditor yang berkunjung ke Teys dan JBS itu adalah Hendra Utama. Kepada Imran, Lotfi menjelaskan alasan menolak memberikan sertifikat halal bagi Gelita karena ada surat Michael Johnston dan pernyataan terbuka Duncan Downie bahwa pemotongan sapi di pejagalan mereka tak halal. "Hasil audit MUI itu juga menyatakan pemotongan di JBS dan Teys tak halal," katanya.

l l l

Permainan lain dalam sertifikasi halal terentang jauh ke Chicago. Tersebutlah Islamic Food and Nutrition Council of America (IFANCA) yang berkantor di pinggiran "kota bawang" Amerika Serikat itu. Ini lembaga sertifikasi halal yang diakui MUI sejak 1991 untuk melayani label halal produsen makanan, minuman, obat, dan kosmetik di benua tersebut.

Dari 70 lembaga halal di Amerika Serikat dan Kanada, hanya lima yang diakui MUI. IFANCA lembaga tertua dan terbesar. Bisnis IFANCA ditopang oleh fasilitas dari majelis ulama. Hal itu terekam dalam perjanjian antara IFANCA dan MUI serta IFANCA dan LPPOM.

Pada 7 Oktober 2011, Presiden IFANCA Muhammad Munir Chaudry membuat perjanjian dengan Yayasan Dana Dakwah Pembangunan MUI yang dipimpin Amidhan Shaberah. Dalam perjanjian itu disebutkan IFANCA akan memberikan 40 persen pendapatan label halal dari makanan/minuman yang diekspor ke Indonesia, setelah dipotong pajak, kepada Yayasan. Uangnya akan ditransfer ke rekening Yayasan setiap tiga bulan sekali.

Perjanjian ini melanggar aturan MUI sendiri. Amidhan berkali-kali menjelaskan bahwa MUI tak lagi punya hubungan dengan 39 lembaga sertifikasi dari 23 negara begitu lisensi terbit. Tujuannya menjaga independensi dan pengawasan. Ami­dhan juga menegaskan bahwa lisensi berlaku dua tahun dan gratis. "Masak, label halal diperjualbelikan?" katanya.

Munir Chaudry membenarkan kabar bahwa perjanjian itu dibuat olehnya mewakili IFANCA. Menurut dia, uang 40 persen itu sebagai biaya administrasi yang lazim dalam hubungan bisnis, tak hanya dengan MUI. Sesuai dengan perjanjian, dana tersebut akan dipakai Yayasan untuk dakwah. "Apakah ada aturan di Indonesia dan Amerika yang berlawanan dengan perjanjian itu?" katanya. "Kami tak menyuap pejabat MUI untuk mendapat lisensi karena pembayaran kepada lembaga bukan individu."

Selain dengan Yayasan, IFANCA menjalin kesepakatan dengan LPPOM. Perjanjiannya diajukan Chaudry pada 19 Agustus 2013 dan disetujui Lukmanul Hakim pada 16 September 2013. Akta kesepakatan tersebut menandai lisensi yang diberikan MUI kepada IFANCA menjadi lembaga sertifikasi halal untuk Amerika dan Kanada periode 2013-2015. Atas pemberian hak tersebut, IFANCA akan membalasnya dengan imbalan komisi kepada LPPOM.

Berbeda dengan Yayasan, fee untuk LPPOM ini hanya ditulis "XX% (to be discussed)" dari tarif label halal yang dibebankan IFANCA kepada perusahaan makanan yang meminta label halal. "Itu biaya pengganti atas pengeluaran dari semua pihak, baik dari kami maupun MUI," kata Chaudry. Ia kembali menegaskan bahwa tak hanya kepada MUI, IFANCA juga mendonasikan keuntungan bisnis label halal kepada lembaga-lembaga lain. Dalam syarat sertifikasi, MUI mewajibkan perusahaan menyumbang kegiatan komunitas muslim di wilayahnya.

Ketua Umum MUI Din Syamsuddin tak setuju ada perjanjian seperti itu. Ia terperanjat ketika ditunjukkan dokumen perjanjian antara IFANCA dan LPPOM. "Ini membuka penyelewengan," katanya. "Tapi ada baiknya juga karena bisa saja sumbangan untuk dakwah. MUI juga menyumbang ke mancanegara." Din berjanji mengevaluasi kisruh sertifikasi halal ini, terutama yang menyangkut konflik kepentingan MUI dengan lembaga sertifikasi halal yang diawasinya.

Amidhan juga tercatat sebagai penasihat di Halal Food Council of Europe (HFCE) yang berbasis di Brussel, Belgia. HFCE adalah "cabang" IFANCA untuk lembaga halal semua negara Eropa. Presidennya Muhammad Sadek, yang menjabat direktur di IFANCA. Sebaliknya, Chaudry menjadi direktur di HFCE. "Itu sudah jadi rahasia umum," kata Chaudry.

Laki-laki Pakistan 70 tahun itu mengakui bahwa Amidhan ada dalam struktur HFCE sebagai "unofficial advisor". Awalnya, kata Chaudry, Amidhan menolak jabatan itu karena khawatir dituduh ada konflik kepentingan. Amidhan akhirnya setuju setelah diberi saran oleh anggota staf di HFCE, mengingat kedudukannya yang penting di MUI. "Dia memberi nasihat soal halal, tapi dibayar US$ 500 hanya jika menjadi pembicara dalam seminar," ujar Chaudry, yang mengaku "mengenal sangat dekat Ami­dhan".

Masalahnya, sumber internal HFCE mengatakan pemberian uang itu tak semata saat seminar, tapi, "Kapan pun Pak Ami­dhan meminta uang, Chaudry akan mentransfernya tanpa ragu dan bertanya." Sebagai auditor lembaga sertifikasi, kedudukan pejabat MUI itu menimbulkan konflik kepentingan. Menurut dia, kedudukan Amidhan itu membuat pengawasan MUI tumpul sehingga beberapa produk yang semestinya haram diberi label halal.

Contohnya vaksin Rotarix yang diproduksi GlaxoSmithKline (GSK), Belgia. Vaksin untuk meningkatkan kekebalan tubuh itu mengandung tripsin babi. HFCE menerbitkan sertifikat halal untuk vaksin ini pada 6 Desember 2013 dan berlaku dua tahun dengan tarif 150 ribu euro.

Manajer Senior Komunikasi Eksternal Donatella Latocca menyangkal kabar bahwa Rotarix mendapat sertifikat halal dari HFCE. Menurut dia, vaksin itu tak mendapat sertifikasi halal dari lembaga mana pun. GSK pernah mengajukan label halal kepada HFCE, tapi lisensi itu tak bisa digunakan di Indonesia karena pemerintah hanya mengakui sertifikat halal yang diterbitkan MUI. "Vaksin kami sebisa mungkin menghindari bahan baku yang berasal dari hewan," kata Latocca.

Dalam lampiran dokumen Rotarix terdapat daftar negara yang menjadi pasar vaksin ini. Untuk Indonesia, vaksin cairnya seharga Rp 200 ribu itu disetujui peredarannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan pada 10 Agustus 2012. Vaksin ini dijual bebas dan dipakai rumah sakit sebagai penangkal rotavirus, yang menyerang saluran pencernaan anak sehingga menyebabkan infeksi akibat muntah dan diare.

Chaudry, Direktur HFCE, mengakui tak tertutup kemungkinan ada anggota stafnya yang teledor memeriksa satu proses tak halal, dari sekian banyak tahap pembuatan sebuah produk, yang diloloskan oleh HFCE. "Soal teknis ini, concern kami untuk membenahinya, tapi tak ada hubungan dengan struktur keanggotaan Amidhan di perusahaan," katanya.

Bagja Hidayat (Jakarta), Alex Hamer (Brisbane, Melbourne), Hipolitus Ringgi (Chicago), Ging Ginanjar (Brussel)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus