MATAHARI belum lagi menyiram lapangan golf Royal Canberra ketika Menteri Luar Negeri Ali Alatas tiba di sana, Kamis pagi lalu. Dalam cuaca yang masih berkabut, ia mulai memukul-mukul bola sembari menunggu lawan mainnya, Perdana Menteri Australia, Bob Hawke. Bagi Alatas, acara golf pagi itu mungkin suatu keistimewaan. Seperti dikatakan seorang pengamat, "Hawke, setahu saya, tak pernah bermain golf dengan seorang menteri luar negeri." Apa yang menggerakkan Hawke mengundang Alatas bermain golf? Seorang diplomat senior di Canberra beranggapan, Hawke ingin sekali memperbaiki hubungan yang dingin di antara kedua negara, gara-gara sebuah tulisan di koran Australia -- yang menjelek-jelekkan nama baik Presiden Soeharto dan keluarga -- sekitar tiga tahun silam. Dalam kata-kata Menteri Luar Negeri Gareth Evans, suatu upaya membangun kembali jembatan diplomatik antara Jakarta dan Canberra, "bata demi bata." Permainan golf yang sedianya sembilan hole itu tak sampai selesai. Karena acara Alatas sangat padat. Pemenangnya? "Saya yang kalah, karena tak sempat menyelesaikan pertandingan itu," kata Alatas. Agaknya sikap suka merendah dan bersahabat itulah yang membuat Alatas berhasil menarik simpati banyak orang. Berbagai tulisan di koran Australia menyambut hangat kedatangannya. "Bagi Australia, saat ini, Alatas adalah orang yang tepat, di tempat yang tepat, dan pada saat yang tepat pula," tulis David Jenkins dari The Sydney Morning Herald. Berbagai sanjungan terhadap dirinya itu tak membuat Alatas menjadi lembek. Ketika berbicara di National Press Club, Canberra, yang terkenal sebagai "kandang macan", dia tanggapi langsung rentetan serangan dari para wartawan. "Apakah tidak tiba saatnya bagi pemerintah Indonesia untuk minta maaf atas terbunuhnya enam wartawan Australia di Timor Timur?" tanya seorang wartawan. Seakan sudah menduga akan munculnya pertanyaan seperti itu, tanpa ragu-ragu Alatas menjawab: "Saya tak melihat kami perlu minta maaf. Peristiwa yang menyedihkan itu terjadi di tengah suasana perang saudara lebih dari tiga belas tahun silam. Dan para wartawan Australia yang masuk ke sana adalah atas jaminan pihak Fretilin. Ketika itu kami belum lagi ada di sana." Lalu Alatas balik menuding: ada bagian tertentu dari pers Australia yang sengaja ingin menjelek-jelekkan keadaan di Indonesia. Lalu ia menunjuk berita di The Sydney Morning Herald, Oktober silam, yang isinya antara lain menuduh adanya sekitar 200 bayi disuntik mati oleh dokter pemerintah di Timor Timur. "Ini sudah keterlaluan," katanya. Berita itu -- yang bersumber dari seorang senator Australia -- terbit selagi Menlu Evans berkunjung ke Indonesia bersama 12 wartawan Australia Oktober lalu. Masuk akal kalau Alatas menduga bahwa ada sebagian wartawan lebih bersikap sebagai aktivis politik. Tapi ia tidak percaya bahwa tulisan itu -- yang setiap kali sengaja ingin mencoreng wajah pemerintah Indonesia -- mewakili pandangan mayoritas penduduk Australia. "Janganlah membiarkan setetes cuka merusak semangkuk susu," kata Alatas. "Lalu mengapa pers Australia dibatasi masuk ke Indonesia, bahkan pernah dilarang masuk sama sekali? Bukankah ini menunjukkan betapa Indonesia ingin menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya?" tanya wartawan lain. Dewasa ini, kata Alatas, tak ada suatu negara yang benar-benar dapat bersandiwara tentang keadaan dalam negerinya. Kekuasaan untuk menyaring informasi bukan cuma di tangan pemerintah. Tapi juga di tangan pers. "Bisa saja redaktur sebuah surat kabar di negeri Barat tak mau memuat sebuah surat pembaca, yang dipandang bisa merugikan citra koran itu," tambahnya. Lalu ia menyebutkan sebuah buku terbitan Unesco, Imbalances in the Newsroom, yang membentangkan kepincangan dalam penulisan berita di berbagai media massa Barat. Menlu Evans, yang kelihatan akrab dengan Alatas, nampaknya bisa mengerti cara pandang Indonesia terhadap suara-suara dari luar, "Adalah lumrah bagi dua tetangga berselisih sekali-sekali. Tapi yang penting adalah sikap yang saling bisa mengerti, dan saling menghormati perbedaan masing-masing budaya," katanya. Maka, dalam wawancara televisi bersama Alatas di Canberra, Evans mengumumkan dibentuknya Australia Indonesia Institute (AII). Konon lembaga baru ini akan dipimpin oleh Bruce Grant, pengarang dan bekas wartawan senior, yang kini menjadi pembantu dekat Evans. AII akan aktif dalam pengajaran bahasa Inggris, mempromosikan kebudayaan Australia di Indonesia, dan sebaliknya. AII yang berpusat di Canberra, menurut Evans, akan dianggarkan antara A$ 700.000 dan 1.000.000 setahun, juga akan berusaha menumbuhkan hubungan dagang bilateral baru (di samping yang sudah ada), kerja sama di bidang ilmu dan teknologi, tukar-menukar wartawan magang di kedua negara, mensponsori kegiatan olah raga dan kebudayaan, dan membiayai program saling berkunjung. Di Jakarta, AII akan dibawahkan konsul kebudayaan. "Ruang lingkup lembaga ini akan lebih luas daripada lembaga-lembaga asing yang sudah ada di Indonesia," kata seorang pejabat di Deplu Australia. Itulah yang menyebabkan Menlu Evans, pencetus gagasan besar ini, membuka pintu bagi swasta yang ingin mengulurkan dana. Kunjungan empat hari Alatas, seperti diakui banyak pihak di Australia, telah berhasil meratakan jalan Jakarta-Canberra. Tapi, seperti diakuinya sendiri, agaknya jalan itu tak bakal sepi dari "kerikil-kerikil" yang bisa saja muncul setiap waktu. Salah satu "kerikil" yang menghadang itu bahkan muncul selagi rombongan Alatas di Australia. Itu terjadi Jumat lalu, ketika sekitar 20 orang berteriak-teriak di depan pintu masuk Parliament House, Melbourne. Mereka -- campuran antara bule Australia dan penduduk yang mengaku sebagai pengungsi Tim-Tim -- membawa tulisan-tulisan yang mengkritik Indonesia. Sorenya, mereka -- orang-orang yang sama -- dengan jeritan-jeritan histeris yang sama pula, muncul lagi di Monash University, sebelum Alatas melakukan tukar pendapat dengan sejumlah akademisi setempat. Tapi Alatas, yang tiba dengan pengawalan, masuk dari pintu samping, sehingga para demonstran itu tak sempat mencegat. Menurut sebuah sumber, sebagian dari para demonstran itu tergolong "profesional" alias orang bayaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini