SEBUAH mobil Colt hitam dengan plat nomor Surabaya memasuki kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat siang pekan lalu. Dari mobil itu turun 15 penumpang, mengaku sebagai delegasi PDI Jawa Timur yang ingin menghadap Ketua Umum PDI Soerjadi. Tapi tak seorang pun pengurus partai berlambang kepala banteng itu menyambut mereka. Malah kantor itu nampak tertutup rapat. Di situ cuma kelihatan delapan petugas keamanan PDI berseragam hitam yang berjaga-jaga di depan kantor, dan beberapa orang polisi yang datang dengan mobil patroli. Tak bisa menemui pengurus partai, apalagi Soerjadi, anggota delegasi yang cuma bisa bergerombol di halaman kantor pusat PDI terkadang ada yang berteriak keras-keras, sehingga menarik perhatian orang yang lalu lalang di jalan protokol itu. Kerumunan orang-orang yang ingin tahu apa yang terjadi di sana membuat suasana jadi tambah ramai. Apalagi kemudian tampil Djajus Dwi Atmodjo, bekas Wakil Ketua DPC PDI Malang, yang sudah dicopot kelompok Soerjadi, membacakan surat pernyataan yang ditandatangani anggota delegasi. Isinya: menuntut pengunduran diri Ketua Umum PDI, mendesak diadakannya kongres persatuan dan kesatuan untuk memecahkan masalah yang menimpa PDI, dan mengimbau warga PDI agar tak terpancing oleh pidato-pidato Soerjadi. Alasan mereka menuntut Soerjadi mengundurkan diri antara lain pernyataan politik yang disampaikan ketua umum partai itu pada ulang tahun ke-16 PDI di Yogyakarta, 10 Januari 1989. Pada kesempatan itu, menurut mereka, Soerjadi mengatakan, "Merahnya PDI adalah merahnya Pancasila." Pernyataan itu dianggap delegasi berkonotasi "komunistis", sehingga meresahkan anggota PDI di daerah-daerah. "Kalau ada merahnya PDI, nanti ada hijaunya PPP, atau kuningnya Golkar. Itu kan pengaburan arti Pancasila," kata Rahadi D., pimpinan delegasi. Selain itu, menurut surat pernyataan ini, konsep wong cilik (orang kecil) yang selalu didengung-dengungkan Soerjadi sebagai hal yang menggalakkan pertentangan kelas, yang merupakan inti ajaran komunis: Tambahan lagi, kata mereka, "Wong cilik adalah penjaga pojok Harian Rakyat yang sengaja dimasyarakatkan untuk pertentangan kelas." Harian Rakyat adalah surat kabar PKI, yang dibreidel sesudah G30S meletus. Aksi Jumat siang itu nampaknya gelombang baru untuk menggoyang kepemimpinan Soerjadi-Nico Daryanto. Empat hari sebelum kedatangan delegasi Jawa Timur tersebut, sebanyak 19 orang, mengaku mewakili DPD dan DPC PDI Jakarta, sudah melakukan gerakan serupa. Dipimpin oleh Agung S., yang menyebut dirinya sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Timur, mereka juga mengeluarkan pernyataan yang mirip dengan tuntutan rekan mereka dari Jawa Timur. Dulu "Kelompok 17", yang disingkirkan Soerjadi, menghantam Ketua Umum PDI itu lewat siaran pers dan lobi kepada pejabat negara, sedang cara protes yang digunakan "kelompok oposisi partai" kali ini mirip aksi mahasiswa yang biasa dikenal -- datang silih berganti. Menurut para pemrotes, setelah delegasi Jakarta dan Jawa Timur, delegasi daerah-daerah lain akan menyusul mendatangi kantor pusat. "Ini gerakan spontanitas. Tidak ada yang mengkoordinasikan," kata Tata Sukarta, anggota PDI Jawa Barat. Mengapa Soerjadi bicara soal kata "merah" dan "hitam" di Yogyakarta? Konon Soerjadi ingin mengingatkan massa PDI tentang pernyataan seorang penulis yang terdorong menyelesaikan bukunya setelah melihat kampanye terakhir PDI di Jakarta 1987. Saat itu, Jakarta memang menjadi "merah" oleh luapan massa partai kepala banteng itu, sehingga mengingatkan penulis pada massa PKI dulu. Penulis yang dimaksud Soerjadi tentulah Soegiarso Soerojo, pengarang buku Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. "Maaf beribu maaf, Saudara-saudara. Rupanya, dia itu tidak menghayati lambang Garuda Pancasila kita yang terpampang di mana-mana di seluruh pelosok tanah air bahkan setiap malam juga muncul di televisi yang tentunya dia miliki," kata Soerjadi. Sebab, tanda gambar PDI itu, menurut Soerjadi dalam pidato di Yogyakarta, sepenuhnya diambil PDI dari perisai Garuda Pancasila, termasuk warnanya. "Warna merahnya PDI adalah warna yang melatarbelakangi Kepala Banteng dalam perisai Garuda Pancasila tersebut," katanya. Karena itu tambahnya wara PDI tak usah takut untuk berhitam-hitam atau bermerah-merah. "Merahnya PDI bukan diambil dari Moskow atau Beijing. Hitamnya PDI tidak diminta dari Khomeini atau dari Timur Tengah," katanya di depan massa PDI. Pada malam itu ia kembali mengingatkan soal perisai Garuda Pancasila. Maka, katanya, orang yang ribut-ribut menghubungkan ucapannya tentang warna merah itu dengan komunis, "adalah orang yang sedang ngelindur." Siapa orang-orang itu? "Mereka adalah teman-teman yang kami tindak beberapa waktu lalu," kata Soerjadi seusai acara. Yang dimaksudnya adalah Kelompok 17. Kelompok yang terdiri dari 17 tokoh PDI itu -- antara lain Marsoesi, Dudy Singadilaga, Yusuf Merukh, dan Thaib Ali -- bertentangan pendapat dengan Soerjadi. Adakah Kelompok 17 berada di belakang gerakan protes terhadap Soerjadi? Marsoesi membantah dugaan itu, walau mengakui aksi delegasi-delegasi tersebut sejalan dengan Kelompok 17. "Itu semua spontanitas saja, karena selama ini semua kritik diredam Soerjadi," kata Marsoesi. Tentang menginapnya rombongan Jawa Timur di rumah Marsoesi, di kompleks perumahan DPR Kalibata, Jakarta Selatan, menurut anggota delegasi Harry Pelupessy, "Kami memang mengadakan koordinasi dengan Kelompok 17, tapi kami bukap dikendalikan kelompok itu."Amran Nasution, Tri Budianto S., Budiono Darsono, Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini