Sejumlah nama dicoret dalam daftar hasil revisi setelah Pimpinan Golkar menghadap Pak Harto akhir bulan lalu. Golkar nampaknya akan mengajukan daftar calonnya yang terbaik. ADA dua berita penting pekan lalu. Yang pertama, alhamdulillah, hari "H" Pemilihan Umum sudah ditetapkan: Selasa, 9 Juni 1992. Pesta demokrasi kelima di masa Orde Baru itu bagai mengiringi hari lahir Kepala Negara. Pak Harto sehari sebelum Pemilu nanti akan genap berusia 71 tahun. Berita kedua, penyerahan daftar calon wakil rakyat untuk DPR/MPR dari tiga organisasi peserta pemilu (OPP) ke Lembaga Pemilihan Umum (LPU) ditunda. Sedianya, nama-nama wakil rakyat itu dijadwalkan harus masuk pada Senin pekan ini, namun ditunda sampai 16 September mendatang. LPU, yang sudah mengirim surat undangan ke berbagai pihak Kamis pekan lalu, kemudian meralatnya. Menteri Rudini Jumat pekan lalu, setelah bertemu Ketua Golkar Wahono, Ketua PDI Soerjadi, dan Ketua PPP Ismail Hasan Metareum, memberikan keterangan kepada pers. "Saya menyarankan, buat apa ngoyo-ngoyo (memaksa diri -- Red.). Pada tanggal 9 September kan (daftar calon) belum lengkap, lebih baik mundur tapi lengkap," kata Rudini. Sebelumnya, ada konsensus dari tiga kontestan untuk menyerahkan daftar calon "seadanya" untuk menepati jadwal saja, dan kemudian diperbaiki lagi -- suatu hal yang tak menyalahi ketentuan dan jadwal Pemilu. Yah, anggap saja ini seperti undangan perhelatan yang sedikit terlambat. Toh pesta besar tetap akan berlangsung 9 Juni tahun depan. Penundaan seperti ini pernah terjadi menjelang Pemilu 1982. "Jadwal digeser sekitar seminggu juga. Waktu itu diputuskan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud," kata P. Gunardo, Wakil Sekretaris Umum LPU. Yang belum siap menyerahkan daftar calon ketika itu adalah Partai Persatuan Pembangunan. Apakah kali ini juga gara-gara PPP? Sekjen pengurus pusat Partai Bintang, Mathori Abduljalil, menolak tuduhan tersebut. "PPP itu seperti wartawan, punya deadline. Jadi, tanggal 8 September malam yang lalu kami sudah siap bergadang menyusun daftar calon," kata Mathori. Partai Banteng yang sedang gonjang-ganjing menghadapi DPP Peralihan PDI -- kelompok yang menentang kepemimpinan Soerjadi -- ternyata juga siap menyerahkan map daftar calon Senin lalu. "Kita siap, kok. Usulan penundaan ini bukan dari PDI," kata Ketua PDI Soerjadi pada TEMPO. Tapi tak bisa dibilang bahwa di PPP dan PDI tak ada masalah dalam menentukan nama-nama calon rakyat ini (lihat Kali ini tak Cekcok Lagi). Bagaimana dengan Golkar? Sekjen Rachmat Witoelar juga menyatakan, "Golkar tak pernah mengajukan pengunduran itu." Namun, berbagai persyaratan formal yang diminta LPU, misalnya surat keterangan tidak tersangkut (SKTT) -- dikeluarkan Polri lewat litsus, alias "penelitian khusus" (lihat halaman 29) -- memang masih belum dipenuhi Golkar. Sabtu pekan lalu, litsus pada calon Golkar baru mulai dilaksanakan. Sementara itu, PDI dan PPP sudah merampungkannya pekan lalu. Seperti diketahui, SKTT adalah syarat mutlak untuk menjadi anggota parlemen. Namun, keterlambatan Golkar bukan hanya masalah SKTT atau urusan administrasi lainnya. Ada soal yang lebih besar dan luas. Konon, daftar calon yang sudah disusun Golkar banyak disorot oleh para menteri. Menurut sebuah sumber, paling tidak ada lima menteri yang sempat menanyakan nama-nama calon Golkar itu langsung kepada Ketua Dewan Pembina yang tak lain adalah Pak Harto sendiri. Bahkan juga terdengar kabar adanya surat dari Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar ke alamat Ketua DPP Golkar Wahono. Ia kurang srek dengan daftar calon yang disusun DPP Golkar, yang dinilainya kurang mencerminkan aspirasi daerah. Sebuah sumber mengatakan bahwa nama-nama calon yang ada kurang menarik para pemilih yang beragama Islam. Ada juga yang mengatakan, bahwa soalnya menyangkut suara orang suku "Utara" dan "Selatan". Namun, menurut sumber TEMPO di Golkar, Raja Inal hanya mempermasalahkan satu nama kader Golkar yang tak dikehendakinya mewakili Sumatera Utara. Repotnya, nama ini justru dipertahankan Wahono karena, kata sumber tadi, "Dia ini berjasa memenangkan Golkar di Sum-Ut dalam pemilu lalu." Sebuah tarik ulur yang sebenarnya wajar dalam proses penyusunan daftar calon setiap kali menjelang pemilu. Tampaknya, tarik ulur itu kemudian diperhatikan Pak Harto. Ketika "Tiga Jalur" Golkar -- terdiri dari Pangab Try Sutrisno, Menteri Rudini, dan Ketua Umum Golkar Wahono -- bertemu Ketua Dewan Pembina di Cendana, Sabtu malam 31 Agustus lalu, Pak Harto sempat mempertanyakan beberapa hal. Pada malam Minggu itu, ia didampingi Menteri Harmoko dan Menteri Soesilo Soedarman, masing-masing sebagai wakil dan ketua harian Dewan Pembina. Inti pertemuan, pengurus Golkar diminta memperbaiki daftar calon yang dibawa Wahono. Pak Harto memang punya hak meminta peninjauan nama-nama calon wakil rakyat tadi. Menurut Menteri Moerdiono, "Bahwa Pak Harto memeriksa semua, itu sangat wajar. Beliau bertanggung jawab. Kita harus melihat dalam kedudukannya sebagai Ketua Dewan Pembina, bukan sebagai presiden. Ini yang sering dikacaukan orang. Saya tak setuju kalau dibilang ini mencampuri urusan legislatif." Sebagai bukti, ujar Moerdiono, Pak Harto sama sekali tak tahu urusan PDI dan PPP. Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Akbar Tandjung sependapat dengan Moerdiono. Bahkan, kata Akbar, Ketua Dewan Pembina punya hak untuk mengubah daftar calon susunan Golkar. "Ini konstitusional dan sesuai dengan AD/ART Golkar," tutur Akbar Tandjung. Ia merujuk Anggaran Dasar Golkar pasal 18 ayat 1, yang menjelaskan bahwa Dewan Pembina bisa memberikan pengarahan, petunjuk, dan saran pada DPP Golkar. Bahkan, menurut pasal 22, Dewan Pembina punya wewenang khusus. Yaitu, membatalkan kebijaksanaan atau keputusan DPP bilamana dinilai menyimpang dari ketentuan organisasi. "Kalau beliau minta DPP memperbaiki susunan daftar calon, itu pasti untuk kepentingan Golkar dan nasional," katanya. Maka, DPP pun sibuk kembali. Rabu pagi pekan lalu, rapat pengurus harian diadakan. Acara rapat pleno hari itu juga dibatalkan. Begitu pula pertemuan pengurus pusat Golkar dan seluruh pengurus daerah di markas Beringin, Slipi, Jakarta Barat, terpaksa ditangguhkan. Brifing tentang litsus di markas DPP, yang sedianya berlangsung Kamis pekan lalu, diundur sehari. "Tiga Jalur" pun kembali mengadakan pertemuan, Rabu pekan lalu. Dalam rapat bersama Menteri Harmoko dan Soesilo Soedarman itu, dihasilkan sebuah daftar calon yang akan diajukan ke Ketua Dewan Pembina yang dijadwalkan Selasa pekan ini. Namun, Wahono Sabtu pekan lalu telah mengkonsultasikan hasil kesepakatan itu dengan Presiden Soeharto. Dari daftar itu, memang tampak ada revisi atas daftar yang disusun DPP tanggal 27 Agustus. Beberapa persoalan penting bisa dituntaskan. Seperti "tuntutan" Sumatera Utara, yang sudah disesuaikan dengan "realitas daerah". Kursi yang direbut Golkar di Sumatera Utara adalah 16, pada pemilu lalu. Calon wakil rakyat urutan teratas di Sumatera Utara adalah Jakob Tobing, salah satu ketua pengurus pusat Golkar. Ada tiga nama yang sebelumnya bertengger di "nomor jadi" -- artinya dari nomor satu sampai 16 sesuai dengan perolehan Golkar dalam pemilu lalu -- tergusur dalam daftar baru yang direvisi. Mereka adalah Ombun Simatupang, Baginda Sagala, dan Ria Rumata Aritonang. Penggantinya, Ruslani, Nyonya B.A.S. Lubis, dan Bomer Pasaribu -- ketiganya sebelumnya berada di luar "16 besar". Yang juga diluruskan adalah soal penempatan kader-kader Golkar yang dinilai tak semestinya. Nyonya Nafsiah Mboy, istri bekas Gubernur NTT Ben Mboy, yang disebut-sebut dicantumkan di Sulawesi Selatan untuk MPR, dikeluarkan sama sekali. Nafsiah akhirnya dipindah ke daftar calon DPR Nusa Tenggara Timur. Juga Hadisusastro, Pande Radja Silalahi, dan Sofyan Wanandi dari CSIS yang dicalonkan untuk MPR, dalam daftar terakhir tak tampak lagi. Namun, kebijaksanaan yang tetap dipegang Wahono adalah mempertahankan hampir seluruhnya pengurus DPP Golkar yang sudah menjadi kader nasional. Kendati tak semuanya direstui daerahnya. Anak Agung Oka Mahendra, S.H., contohnya, masih berada pada nomor 2 di Pulau Dewata. Marzuki Achmad, Ketua Departemen Tenaga Kerja Golkar yang sudah dicoret oleh Jawa Barat, dipertahankan di nomor 8 untuk bumi Priangan. Begitu pula Sri Redjeki Sumaryoto, Ketua Departemen Peranan Wanita, yang masih berada pada nomor urut 9 di Jawa Barat. Djoko Sudyatmiko, Ketua Departemen Cendekiawan dan Hubungan Luar Negeri, turun dari nomor 3 ke 6 di Kal-Bar. Juga Ben Messakh, yang pernah mengkritik aparat Pemda NTT dalam soal tanah, masih bertahan di urutan teratas. Agaknya, masih ada lagi kader Golkar yang dipertahankan Wahono untuk menjaga kesinambungan program Golkar. Tapi, bagaimana menampung aspirasi daerah? "Sebenarnya, DPP punya hak prerogatif untuk memilih calon anggota DPR/MPR Pusat. Di Tingkat Satu dan Dua itu sepenuhnya urusan mereka," kata Wahono pekan lalu. Tentu tak semua pengurus DPP bertahan. H. Moh. Hatta, Ketua Departemen Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi, sekarang namanya melorot jauh ke nomor 122, alias nomor buncit di Jawa Barat. Menurut sebuah sumber, Hatta kena jaring kriteria PDLT (prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tak tercela), entah di bagian unsur yang mana. Orang DPP yang juga tak tercantum lagi di nomor jadi adalah Nyonya Gunariyah Kartasasmita Mochdie, Ketua Departemen Peranan Wanita. Ia kini berada di urutan 78 di Jawa Barat, sementara kursi yang dimenangkan Golkar dalam Pemilu lalu hanya 44. Haji Anang Adenansi, Ketua Departemen Pemenangan Pemilu, juga berada di nomor tak jadi, yaitu nomor 10 di Kalimantan Selatan -- di mana Golkar dalam pemilu lalu hanya meraih tujuh kursi. Irsyad Sudiro, Ketua Departemen Seni Budaya, berada jauh di luar jatah DPR untuk Golkar Jawa Barat. Ia mendapat nomor "jadi". Ada lelucon di antara para calon: nomor "jadi", atau nomor kecil, disebut nomor "pici", nomor di tengah, yang belum tentu jadi, disebut nomor "sabuk", sementara nomor buncit, yang hampir pasti tidak jadi, disebut nomor "sepatu". Nah, orang-orang yang selama ini dikenal vokal, tak tampak kebagian nomor "pici" (lihat Vokalis yang Turun Panggung). Marzuki Darusman, yang namanya mendadak melambung gara-gara punya cita-cita menjadi presiden di kemudian hari, kebagian nomor "sabuk" 47 -- dari 44 kursi yang pernah dimenangkan Golkar di Jawa Barat. Marzuki tinggal berdoa, kalau Golkar merebut lebih banyak kursi nanti, ia bisa terus bertahan di DPR. Anang Adenansi, yang juga dikenal sebagai "vokalis", hanya kejatahan nomor "sabuk" di Kalimantan Selatan. Wakil Ketua DPR/MPR Mayor Jenderal Saiful Sulun juga tak lagi berada dalam daftar calon. Bekas Pangdam Brawijaya yang sedianya "lompat pagar" dari ABRI ke Golkar ini memang suka bicara ceplas-ceplos. Mereka yang "lompat pagar" ke Golkar itu dianggap belum "kulo nuwun" sebelum masuk. Begitu pula, Kolonel Polisi Roekmini Koesoemo Astoeti. Ia terlepas dari pencalonan di DIY. Dari F-ABRI yang dicalonkan Golkar untuk duduk di DPR adalah Sundoro Syamsuri -- juru bicara F-ABRI sekarang -- yang duduk di nomor 4 daerah Jawa Timur, dan beberapa nama lagi. Soal "lompat pagar" ke FKP, menurut Kasospol ABRI Letjen Harsudiono Hartas, harus lewat mekanisme yang benar. Kecuali berpengalaman 5 tahun di F-ABRI dan punya nomor anggota Golkar (NPAG), mereka juga harus mendapat persetujuan pimpinan. Masih ada lagi, yang bersangkutan harus pensiun dulu dari ABRI dan memang dibutuhkan Golkar. Jadi, kata Hartas, kalau ada yang tak masuk daftar calon Golkar tak berarti dicoret karena vokal, seperti misalnya yang sering disebut-sebut Saiful Sulun dan Roekmini. "Masih di dalam proses. Pertimbangannya, lebih menguntungkan kalau mereka masih di F-ABRI," kata Hartas. Lalu, siapa nanti kader-kader Golkar yang akan masuk pentas DPR? Beberapa nama anak muda dari Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) berderet di nomor jadi. Harris Ali Moerfi, 32 tahun, anak almarhum Ali Moertopo yang merupakan salah satu pendiri CSIS, berada di urutan 29 dari Jawa Tengah. Kandidat doktor yang kini mengajar di almamaternya itu, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, memang duduk di "nomor pici" yang hampir pasti masuk DPR. Dan tampaknya, Harris sudah siap benar menjadi anggota parlemen. Karena, "Kami yang berasal dari FKPPI sudah mendapat kursus tentang bagaimana menjadi anggota parlemen." Salah satu Ketua KNPI ini beberapa waktu lalu sempat ikut bersaing merebut jabatan kursi Ketua Umum KNPI, yang akhirnya direbut Tjahyo Kumolo, S.H. Muka baru dari FKPPI lainnya adalah Haryadi Anwar yang duduk di urutan 5 di DKI Jaya. Ini memang batas nomor jadi untuk Ibu Kota. Kendati dapat nomor pici, Ade, begitu alumnus FISIP UI ini biasa dipanggil, belum mau bicara banyak. "Kalau benar saya terpilih, itu adalah berkah," kata bekas drummer band The Crab's dan pernah punya pengalaman panggung bersama kelompok musik Pancaran Sinar Petromaks (PSP) ini. Mau jadi orang vokal di DPR nanti? "Ngapain vokal tapi asbun. Yang penting bagaimana menyalurkan aspirasi rakyat," kata bekas Sekjen FKPPI yang kini bekerja di PT Bimantara Citra ini. Dari FKPPI yang agaknya akan bertahan di DPR untuk masa bakti kedua kali adalah Tjahyo Kumolo, 34 tahun, Ketua DPP KNPI. Tjahyo berada di urutan 15 daerah pemilihan Jawa Tengah. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang ini di masa kedua nanti ingin berperan di sektor kepemudaan dan generasi muda. Baginya, dari segi materi, menjadi anggota DPR dan merangkap Ketua DPP KNPI menguntungkan. "Sering tekor, jadi istri saya yang membantu," kata suami dokter yang tinggal di Kompleks DPR Kalibata ini. Rekening telepon di rumahnya yang rata-rata mencapai Rp 100 ribu, contohnya, harus dipikulnya secara pribadi, walaupun kebanyakan dipakai untuk urusan KNPI. Tjahyo mengaku menerima gaji Rp 1,2 juta sebulan dari DPR, seperti juga anggota dewan yang lain. Plus, kesempatan kredit mobil. Selain anak-anak keluarga ABRI itu, beberapa dirjen yang pensiun juga akan masuk Senayan. Dari jajaran Departemen Dalam Negeri, Dirjen PUOD Atar Sibero (Sum-Ut) dan Dirjen Sospol Harisoegiman (Ja-Tim). Harisoegiman berpengalaman sebagai dirjen sejak 1984, mengalami dua kali pemilu. Ia mengaku tak mengetahui soal pencalonannya. Namun, "Saya kan pegawai negeri, jadi saya melaksanakan tugas saya," katanya. Dirjen Bina Bantuan Sosial yang juga pengurus yayasan SDSB, Yusuf Thalib, mengaku tak terkejut atas pencalonannya sebagai anggota DPR. Pada Pemilu 1987, ia sudah menjadi vote getter di Kal-Sel. Yusuf, 54 tahun, sudah sembilan tahun memegang jabatan sebagai dirjen. Dan kalau kelak ia terpilih, ia akan siap. "Insya Allah, di tempat yang baik itu, saya akan memberikan yang terbaik," katanya. Dari kalangan intelektual, Golkar menampilkan Dr. Marwah Daud Ibrahim, 37 tahun, dari BPPT, yang berada di urutan "jadi" 19 di daerah pemilihan Sul-Sel. Ketika ditanya apakah ia mau duduk di DPR, Marwah menjelaskan, "Saya prihatin kalau masuk parlemen dianggap berbeda dengan tugas kemanusiaan yang lain. Seakan politik adalah panglima." Baginya, jadi peneliti atau politikus sama saja. "Yang penting, cari tantangannya," katanya. Yang menarik, Ketua DPP Wahono tampil sebagai calon nomor satu Golkar untuk daerah Jawa Timur. Ada yang menduga, mungkin Wahono akan mendapatkan kursi penting di DPR/MPR. Maklumlah provinsi tempat Wahono pernah menjadi gubernur itu dikenal sebagai provinsi "pesantren". Dan anehnya, di posisi-posisi "jadi", tak seorang kiai pun yang ditampilkan. Padahal, peran kiai di Jawa Timur sangat penting dan sentral. Barangkali, Wahono sangat menyadari posisi ini. Mulai pertengahan September ini, ia sudah merencanakan mengunjungi beberapa pondok pesantren di Jawa Timur. Namun, Golkar masih mungkin mengubah nama calon-calonnya. Apalagi, pada Selasa pekan ini, Pak Harto akan menerima kembali "Tiga Jalur" untuk mengetahui daftar calon yang sudah diperbaiki. Berarti, perubahan nama-nama di Golkar masih dimungkinkan. Silakan dag-dig-dug. Toriq Hadad, Ahmed K.S., Sri Indrayati, Wahyu Muryadi, dan Ardian Taufik Gesuri (Biro Jakarta) . TABEL -------------------------------------------------------------- . DARI MANA CALON GOLKAR -------------------------------------------------------------- . . Target: 299 Orang . Lama : 157 Orang 52% . FKP : 132 Orang 44% . FABRI : 25 Orang 8% . Baru : 142 Orang 48% . Muda: 48 Orang 16% . Wanita: 49 Orang 17% . Pria : 45 Orang 15% . -------------------------------------------------------------- . ASPIRASI PUSAT/DAERAH -------------------------------------------------------------- . . Diusulkan Pusat/Daerah: 240 Orang 80% . Diusulkan Pusat saja : 45 Orang 15% . Diusulkan Daerah saja : 14 Orang 5% -------------------------------------------------------------- . ASAL CALOH BERDASAR JALUR -------------------------------------------------------------- . . ABRI : 53 Orang 21% . Birokrasi : 26 Orang 9% . GOLKAR : 210 Orang 70% --------------------------------------------------------------
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini