Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Laporan awal penyelidikan KNKT menemukan adanya masalah pada tuas pengatur tenaga mesin (autothrottle).
Temuan awal KNKT belum bisa jadi bukti penyebab kerusakan dan jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ-182 rute Jakarta-Pontianak itu.
CVR menjadi kunci untuk mengetahui penyebab sebenarnya kecelakaan.
JAKARTA – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) bakal melanjutkan penyelidikan dengan memeriksa sejumlah komponen pesawat Sriwijaya SJ-182. Hal itu dilakukan untuk mencari penyebab pasti jatuhnya pesawat tersebut setelah temuan awal menyebutkan tuas pengatur tenaga mesin alias autothrottle (A/T) bermasalah. "Mudah-mudahan bisa terjawab dari sejumlah komponen yang kami kirimkan untuk penelitian selanjutnya," ujar Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT, Nurcahyo Utomo, dalam keterangan persnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pesawat Sriwijaya SJ-182 rute Jakarta-Pontianak berpenumpang 62 orang jatuh di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 9 Januari lalu, beberapa menit setelah tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta. Laporan awal penyelidikan Komite Keselamatan menemukan adanya anomali pada sistem pengaturan daya mesin otomatisnya atau tuas pengatur tenaga mesin (autothrottle). Temuan Komite Keselamatan menyebutkan, ketika pesawat berada di ketinggian 8.150 kaki, throttle sebelah kiri bergerak mundur. Sedangkan throttle sebelah kanan tidak bergerak alias macet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim penyelidik Komite Keselamatan menyatakan tidak menemukan masalah cuaca dalam jalur penerbangan Sriwijaya Air SJ-182 tersebut. Data radar cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan pesawat tidak melintasi area awan yang berbahaya.
Komite Keselamatan mengungkapkan, sekitar pukul 14.38 WIB, beberapa menit setelah lepas landas, pilot meminta izin kepada pengatur lalu lintas udara (ATC) untuk berbelok ke arah 075 derajat dan diperbolehkan. ATC memperkirakan perubahan arah akan membuat pesawat itu berpapasan dengan pesawat lain. ATC lantas meminta Sriwijaya Air SJ-182 berhenti naik di ketinggian 11 ribu kaki.
Serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ182 di Posko Sar Bersama Sriwijaya Air di Terminal JICT 2, Jakarta, 21 Januari 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat
Tak lama kemudian, pesawat itu berbelok ke arah kiri. ATC menginstruksikan agar pesawat naik ke ketinggian 13 ribu kaki dan dijawab oleh pilot pada pukul 14.39 WIB. "Ini komunikasi terakhir SJ-182," ujar Nurcahyo. Tidak sampai semenit kemudian, seperti terekam dalam flight data recorder (FDR), pesawat mulai turun, autopilot tidak aktif (disengange) ketika arah pesawat di 016 derajat, sikap pesawat posisi naik (pitch-up), dan pesawat miring ke kiri (roll). Pada pukul 14.40.10 WIB, saat pesawat terus turun, FDR mencatat autothrottle tidak aktif dan pesawat menunduk (pitch-down). "Sekitar 20 detik kemudian, FDR berhenti merekam data."
Dari data perawatan yang diperoleh KNKT, pesawat Sriwijaya Air dengan nomor registrasi PK-CLC itu pernah dua kali mengalami kerusakan sistem. Pada 25 Desember lalu, kerusakan terjadi pada penunjuk kecepatan sisi sebelah kanan. Perbaikan belum bisa dilakukan dan masuk daftar penundaan perbaikan. Selanjutnya, pada 3 Januari lalu, pilot melaporkan bahwa throttle tidak berfungsi dan dilakukan perbaikan dengan hasil baik. Keesokan harinya, throttle kembali dilaporkan tidak berfungsi. Pada 5 Januari, maskapai melakukan perbaikan dengan hasil baik.
Temuan ini sesuai dengan artikel Koran Tempo pada 14 Januari 2021. Laporan tersebut, mengutip sumber Tempo yang mengetahui persoalan ini, menyatakan bahwa pesawat yang, antara lain, melayani rute Jakarta-Pontianak ini memiliki masalah berulang pada throttle yang belum ditangani secara serius. "Autothrottle-nya repetitif sudah sebulan,” ujarnya. Problem yang sama sebenarnya sudah terjadi pada beberapa penerbangan sebelumnya.
Nurcahyo mengatakan Komite Keselamatan belum bisa menyimpulkan bahwa kecelakaan terjadi akibat kerusakan pada throttle. Sebab, menurut dia, sistem pengaturan daya mesin otomatisnya terhubung dengan 13 komponen mesin pesawat. Bisa jadi, anomali pada throttle diakibatkan oleh kerusakan komponen yang berkaitan tersebut. "Karena dua-duanya mengalami anomali. Throttle kiri mundur terlalu jauh. Sedangkan yang kanan macet. Jadi, kami tidak tahu yang rusak yang kiri atau yang kanan. Kenapa ada anomali, penyebabnya ada di komponen mana, kami belum bisa temukan," ujar dia.
Komite Keselamatan, kata Nurcahyo, akan meneliti lebih lanjut komponen-komponen sistem yang terlihat mengalami gangguan. Salah satunya, ground proximity warning system yang ditemukan di lokasi kecelakaan. Selain itu, komponen yang berkaitan dengan throttle kembali diteliti. "Kami juga akan menginvestigasi perawatan yang selama ini dilakukan. Investigasi juga akan mendalami faktor manusia dan organisasi," kata Nurcahyo.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono mengatakan lembaganya masih menunggu ditemukannya cockpit voice recorder (VCR) atau percakapan di ruang kokpit untuk mengetahui penyebab sebenarnya. ”Rekaman dalam CVR bisa menunjukkan bagaimana diskusi pilot ketika pesawat mulai bermasalah,” ujar Soerjanto.
Prajurit Kopaska TNI AL melakukan penyelaman pada operasi pencarian pesawat Sriwijaya Air PK-CLC nomor penerbangan SJ-182 di perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, 20 Januari 2021. ANTARA/Muhammad Adimaja
Soerjanto melanjutkan, tim juga masih menyisir komponen-komponen pesawat yang jatuh di laut. Ia mengatakan komponen pesawat itu memiliki memori untuk memberi petunjuk apa yang terjadi saat pesawat jatuh. “Kami butuh waktu untuk mengungkap itu. Jadi, kami belum bisa menjawab dengan data yang ada saat ini," ujar dia.
Pengamat penerbangan, Gerry Soejatman, mengatakan kerusakan pada throttle tidak serta-merta membuat pesawat jatuh. Untuk itu, CVR menjadi kunci untuk mengetahui penyebab sebenarnya kecelakaan. Menurut dia, para kru pesawat seharusnya sudah bisa melihat penyebab throttle kiri mundur. “Kita harus tahu kenapa, dan apakah mereka sibuk mengerjakan prosedur-prosedur yang lain," kata dia.
Mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Chappy Hakim mengatakan adanya kerusakan pada sistem di salah satu sisi pesawat akan menyebabkan kondisi asimetrik, sehingga pesawat susah dikemudikan. Namun, menurut dia, semestinya sistem auto pada pesawat, baik autothrottle maupun autopilot, bisa diambil alih secara manual jika mati.
Ihwal kerusakan berulang pada throttle, Chappy menengarai ada kelemahan dalam pengawasan pemeliharaan. Jika ada satu komponen yang rusak beberapa kali setelah diperbaiki, menurut dia, artinya maskapai harus benar-benar memperhatikan masalah ini. "Misalnya, kalau komponen rusak tiga kali, pesawat harus tidak boleh terbang. Itu mungkin saja. Tapi, kan, harus dicari buktinya," katanya.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo