UNDANGAN untuk pelantikan rektor baru Universitas Bengkulu sampai awal pekan ini, belum beredar. Padahal, seharusnya masa jabatan rektor lama, Dr. Ir. Soekotjo, sudah berakhir 28 April ini. Bahkan siapa yang ditetapkan menduduki jabatan rektor dan bakal dilantik pun belum ketahuan. Rangkaian pemilihan calon rektor berawal dari sidang senat Januari dan Februari lalu. Sidang lantas mengirimkan enam nama ke Menteri P dan K Fuad Hassan. Mereka yang diusulkan adalah rektor lama Dr. Ir. Soekotjo, Pembantu Rektor III Mukhtar Ashari S.E., dosen Universitas Andalas Padang Dr. Nidza dan Dr. Nurdin, dosen IKIP Bandung Dr. Asmawi, serta dekan Fisipol Universitas Bengkulu Drs. Hasrul Basri. Tertundanya penetapan rektor baru itu agaknya bukan semata karena jumlah calon. Ada beberapa pihak yang ingin menempatkan calonnya di kursi rektor. Misalnya saja Soekotjo, 56 tahun. Semula, rektor yang telah menjabat selama enam tahun ini tak ingin mencalonkan diri lagi. Ia mau "pulang kandang" menjadi pengajar di Universitas Gadjah Mada, Yogya. Keinginan ini, menurut sumber TEMPO, sempat disampaikannya pula kepada Gubernur Bengkulu Razi Yahya. "Saya ingin mengembangkan ilmu yang selama menjabat rektor tak sempat saya kembangkan," katanya kepada TEMPO. Ia merasa bahwa urusan administrasi dan memimpin universitas telah menghambat pengembangan disiplin ilmunya. "Kalau begini terus, kapan saya bisa menjadi profesor?" tambahnya. Tanpa diduga, namanya kemudian muncul sebagai salah satu calon. Ada 75 tanda tangan dosen yang mendukungnya. Karena pernyataan ini pula, agaknya, senat yang terdiri dari rektor, tiga pembantu rektor, dan lima dekan itu akhirnya mengirim pula namanya ke Jakarta. Hal ini, konon, lantas mengundang reaksi. Pemunculan nama Soekotjo dinilai tak konsekuen atas janjinya dengan gubernur. Sementara itu, desakan kelompok yang ingin mendudukkan putra daerah sebagai rektor juga semakin kencang. Soekotjo sendiri menganggap pencalon an dirinya tak menjadi masalah serius "Siapa pun nantinya yang tampil sebaga rektor, itu adalah wewenang Menteri P dan K," katanya. Artinya, tak ada keharusan putra daerah atau bukan. "Sebab, dalan syarat pencalonan rektor, hal putra daerah tak diatur," tambahnya. Nama Soekotjo kemudian memang masuk daftar calon. "Karena ada saran kolega saya agar saya tak buru-buru meninggalkan Bengkulu," kata Soekotjo. Ketika menjadi rektor, ia dianggap berhasil mengangkat gengsi Universitas (Kota Raflesia) Bengkulu. Misalnya, ia telah mengirim 68 dosen untuk mengikuti program S2 dan S3 ke luar negeri atau dalam negeri. Kini masih ada 144 orang yang sedang mengikuti program serupa. Dengan perpanjangan masa jabatannya, diharapkan Soekotjo bisa menyelesaikan pengiriman program S2 dan S3 sekitar 60% dari 476 dosen universitas itu. Kelompok yang menghendaki rektor putra daerah memang kemudian bereaksi. "Bengkulu juga punya putra daerah yang doktor. Dan lagi, itu tak dilarang peraturan," kata Mukhtar Azhari Pembantu Rektor III, kepada TEMPO. Kemelut pemilihan Rektor Universitas Bengkulu ini rupanya sempat mengundang pula isu keterlibatan beberapa departemen. Salah satu yang disebut-sebut adalah Departemen Dalam Negeri. "Saya baru dengar bahwa Depdagri dikait-kaitkan dengan pemilihan rektor segala," kata Dirjen Sospol Hari Sugiman kepada TEMPO. Sementara itu, Menteri P dan K Fuad Hassan sendiri baru memberi petunjuk bahwa kemelut pemilihan rektor itu akan segera diselesaikan. "Sudah tak ada masalah lagi," kata Fuad kepada TEMPO. Beberapa nama calon, konon, sudah diajukan untuk mendapat persetujuan Presiden. Universitas Bengkulu berdiri 24 April 1982. Sejak semula, Gubernur -- ketika itu -- Soeprapto mendatangkan banyak tenaga pengajar dari berbagai universitas di Jawa, terutama UGM. Kebetulan, tenaga dosen asal Bengkulu tatkala itu masih langka. "Jadi, bukan soal Jawa atau bukan. Pertimbangan penting, bagaimana supaya universitas ini bisa berdiri," kata Soekotjo. Ia berambisi, universitas termuda di Indonesia itu bisa mengejar ketinggalannya dengan perguruan tinggi negeri yang lain seperti UI, IGM, ITB, atau IPB. Apa pun yang terjadi, universitas dengan lima fakultas itu -- yang terdiri dari tujuh jurusan -- berjalan seperti biasa. Sekitar 3.100 mahasiswanya tetap kuliah. Bersihar Lubis (Bengkulu), Sri Pudyastuti dan Sri Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini