Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tubuh kurus Hambali, 32 tahun, tampak kuyu. Sambil bersandar di dinding kayu rumahnya, Hambali terlihat menerawang. Warga Kampung Cisereuh, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur ini sesekali melirik ke pintu yang terbuka. Pandangan matanya penuh curiga. Kecemasan menggurat di wajahnya yang tirus. "Moncong senjata polisi membuat saya ketakutan," ujar Hambali lirih. Dia sampai sekarang enggan turun menggarap sawah. Puluhan muridnya di Madrasah Diniyah Miftahul Hidayah, Cisereuh, pun telantar.
Hambali baru tertimpa nasib sial. Ayah dua anak ini diduga sebagai Noordin M. Top?salah satu tersangka teroris yang paling dicari. Jumat dua pekan lalu, rumahnya dikepung puluhan polisi bersenjata laras panjang. Tanpa perlawanan, Hambali dicokok polisi. Selama 16 jam yang melelahkan, Hambali dikorek soal "hubungannya" dengan aksi teror bom. Polisi curiga akibat rumah Hambali baru didatangi lima tamu yang diduga komplotan teroris. Padahal, "Mereka adalah saudara saya," ujar Hambali kepada Tempo. Tak terbukti terlibat, polisi pun melepas Hambali.
Hasil penelusuran Tempo menunjukkan ada setitik informasi. Menurut sekelompok tukang ojek di Cidaun, Kabupaten Cianjur, sebelumnya ada dua lelaki yang sempat mereka antar ke pelosok Cidaun. Keduanya berusia sekitar 35 tahun, berkulit putih, dan berpakaian rapi. "Mereka berbicara dengan logat Melayu yang kental," ujar Wahyudin, tukang ojek yang mengantar mereka. Polisi menduga keduanya adalah Dr. Azahari dan Noordin M. Top?dua tokoh yang disebut-sebut menjadi peracik bom di Hotel JW Marriott dan bom di Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta.
Meski menjadi buron nomor wahid, profil lengkap keduanya sebenarnya masih samar. Sidney Jones, Direktur International Crisis Group Asia Tenggara, menyebut Azahari sebagai peracik bom yang andal. Pria berusia 45 tahun yang bernama lengkap Dr. Azahari bin Husin itu berasal dari Malaysia. Dia konon pengganti Hambali alias Encep Nurjaman, yang kini ditahan oleh otoritas keamanan Amerika Serikat. Azahari, kabarnya, menggantikan Hambali untuk memimpin sayap kelompok Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara. "Mereka punya 300 ahli peracik bom lulusan Perang Afganistan," ujar Sidney Jones. Sedangkan Noordin M. Top diduga Sidney Jones, setidaknya dalam kasus bom Kuningan, bertindak sebagai "konseptor" serangan.
Dua tersangka itu kini "musuh pertama" pemerintah SBY. Keduanya diduga menyebabkan jatuhnya banyak korban, termasuk sembilan korban tewas di Kuningan. Peristiwa ledakan bom juga membuat muka Indonesia babak-belur di mata dunia, beberapa negara melarang warganya berkunjung. Maka, SBY rupanya ingin benar mengakhiri petualangan Azahari dan Noordin. Presiden baru ini bahkan secara khusus mendatangi Kepala Polri Da'i Bachtiar, pekan yang lalu, untuk mengutarakan keinginannya.
Maka, semua kepolisian daerah pun sibuk. Di Banten, misalnya, puluhan anggota Detasemen 88 Antiteror pekan lalu merangsek beberapa desa terpencil. Kapolda Banten, Komisaris Besar Polisi Abdurrachman, menyatakan beberapa titik yang dicurigai sebagai tempat persembunyian Azahari dan Noordin telah digeledah. Sebuah lokasi tempat latihan perang "Kelompok Serang" pimpinan Imam Samudra kembali disisir. Di Kampung Pasir Eureu, Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang itu, tahun 2001 silam polisi menangkap enam orang pelaku peledakan Atrium Senen, Jakarta. Beberapa barang bukti?senjata api jenis FN 45, beberapa peluru, pelontar granat, dan buku-buku tentang jihad?ditemukan di lokasi.
Namun operasi penggerebekan di Banten hanya menyapu angin. Kepala Polda Banten, Komisaris Besar Abdurrachman, mengeluhkan sikap masyarakat yang tak peduli dengan pengejaran para teroris. "Masyarakat Banten kurang kooperatif," tutur Abdurrachman, dan, "ada kesan mereka tak mau terbuka." Bahkan ada kelompok masyarakat yang menganggap para teroris adalah pelaku "jihad" di jalan Tuhan.
Apa pun alasannya, tugas menjerat dua orang itu tetap menjadi prioritas, dan itu menjadikan tidur malam polisi jadi berkurang. Kepala Polri Jenderal Polisi Da'i Bachtiar langsung bergerak. Da'i memerintahkan semua kepala kepolisian daerah menelisik setiap jejak yang ditinggal dua buron kakap itu. Selain mengerahkan Detasemen 88 Antiteror, polisi juga telah menyebar sekitar dua juta pamflet foto para tersangka teroris di seluruh wilayah hukum Indonesia. Untuk membantu perburuan, polisi menawarkan hadiah Rp 1 miliar kepada masyarakat yang memberikan informasi akurat. Tapi polisi seperti hanya mengejar bayangan. "Dr. Azahari dan Noordin M. Top tahu sedang dicari-cari polisi," kata Da'i Bachtiar, "Mereka pasti mengubah penampilan."
Sebenarnya, polisi pernah hampir berhasil menangkap Azahari dan Noordin pada September 2003. Ketika itu, setelah terjadi ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta, polisi mendeteksi Azahari dan Noordin di Bandung. Polisi memastikan kedua tersangka otak bom Marriott itu tinggal di rumah kontrakan di Jalan Kembang, Bandung. Mereka mengontrak dua kamar sederhana sejak 10 September 2003. Toh, meski telah mengerahkan puluhan petugas bersenjata, polisi tak berhasil menangkap keduanya. "Kami terlambat beberapa menit. Mereka keburu kabur," ujar Kapolri Da'i Bachtiar ketika itu. Polisi hanya mengamankan empat bom siap ledak di kamar yang dikontrak Azahari dan Noordin.
Sehari setelah bom Kedutaan Besar Australia mengoyak Jakarta, polisi kembali hampir berhasil menangkap Dr. Azahari dan Noordin M. Top. Ketika itu Detasemen 88 Antiteror meluncur ke rumah kontrakan di Jalan Raya VI RT 04/09, Kelurahan Cengkareng Barat, Jakarta. Di kamar yang dikontrak Rp 700 ribu untuk dua bulan itu, Azahari dan Noordin dipastikan sempat bersembunyi. Tapi polisi kembali terlambat dan hanya mendapati kamar 4 x 3 meter itu kosong dan berdebu. Selain melihat sebuah galon air mineral yang sudah kosong, polisi mengaku menemukan sisa serbuk bahan peledak berkekuatan tinggi.
Kemudian polisi mengendus keberadaan Azahari dan Noordin di Cikampek. Sebuah rumah kontrakan seluas 3,5 x 8 meter disewa lelaki yang menyodorkan KTP atas nama Budi Santoso. Tapi para pengontrak yang telah membayar Rp 240 ribu itu hanya tinggal selama empat hari. Warga setempat baru sadar bahwa mereka adalah komplotan Dr. Azahari setelah puluhan anggota Detasemen 88 Antiteror mengepung kontrakan yang telah kosong melompong. "Saya tak mengira mereka teroris yang meledakkan Kedubes Australia," ujar Sunoto, pengurus rumah kontrakan.
Kini polisi memang telah menangkap Agus Ahmad, 31 tahun. Ayah empat anak ini berasal dari Kampung Cijujung, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur. Agus, yang kini ditahan di Mabes Polri, ditengarai sebagai teman dekat Dr. Azahari dan Noodin M. Top. Polisi menyebut Agus sebagai penyimpan dan pembawa bom yang diledakkan di Kedutaan Australia. Seorang kakak iparnya, Asep Hilman, menyebut Agus pernah mengajak dua orang tamu menginap di kampung mertuanya. "Wajahnya memang mirip Dr. Azahari dan Noordin M. Top," ujar Asep Hilman. Selain itu, Asep membenarkan perihal adanya bungkusan yang sempat disimpan Agus di rumah mertuanya. Tapi Asep tak bisa memastikan apakah bungkusan tersebut berisi bahan peledak atau bukan. Soalnya, kata Asep, "Agus mengambilnya saat malam hari. Dia membawanya ke Jakarta."
Selain menahan Agus Ahmad, polisi juga telah menahan Munfiatun, 32 tahun. Munfiatun, alumnus Fakultas Pertanian Unibraw Malang yang selalu mengenakan cadar ini, bulan Juni 2004 baru menikah dengan Abdurrahman di Malang. Pernikahan yang berlangsung secara syiri itu hanya dihadiri beberapa orang saksi. Belakangan diketahui bahwa Abdurrahman tak lain adalah Noordin M. Top. Polisi berhasil menangkap Munfiatun pada 22 September lalu di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Subang, Jawa Barat.
Harojum, 60 tahun, ibu kandung Munfiatun, mengaku tak tahu bahwa menantunya adalah tersangka teroris. Meski sempat menghadiri pernikahan anaknya di Malang, Harojum menyatakan mereka tak pernah berhubungan. "Alamatnya tak dikasih. Nomor telepon genggamnya juga diganti," ujar Harojum kepada Bandelan Amarudin dari Tempo.
Tak jelas, apakah polisi akan segera menangkap Dr. Azahari dan Noordin M. Top. Yang pasti, waktu terus berjalan. Tenggat 100 hari yang ditetapkan Presiden Yudhoyono semakin dekat. Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar pekan lalu membuat pernyataan yang mengejutkan. Menurut Da'i, polisi sudah mengetahui keberadaan kedua buron kakap itu. Tapi, "Kami tak bisa bilang posisi mereka kepada wartawan," kata Da'i Bachtiar. "Nanti mereka kabur lagi."
Kita tunggu saja apakah benar dalam waktu dekat sosok kedua pengebom itu bisa ditangkap. Atau polisi hanya mengejar bayang-bayang.
Setiyardi, Deden Abdul Aziz (Cianjur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo