Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA sidang pertama Kabinet Indonesia Bersatu, Jumat dua pekan lalu, seyogianya hadir tiga pejabat setingkat menteri, yakni Kepala Kepolisian RI, Panglima TNI, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Namun Abdullah Mahmud Hendropriyono, Kepala BIN, tak terlihat. Sejak Kamis 21 Oktober, Hendro juga sudah tak ngantor di Pejaten, markas para intel negara.
"Kepala BIN tak hadir lagi," kata Sekretaris Kabinet, Sudi Silalahi, kepada para wartawan. "Beliau telah menyerahkan jabatannya." Untuk sementara, Wakil Kepala BIN, As'ad Said, ditunjuk menggantikan Hendro. Muncul pertanyaan karena, ketika mengumumkan kabinetnya pada 20 Oktober lalu, Presiden Yudhoyono tidak menyinggung pasal BIN. "Jadi, seperti juga Kapolri dan Panglima TNI, jika belum ada pengumuman pergantian, ya belum diganti," kata Effendy Choirie, Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR.
Namun begitulah kenyataannya. Spekulasi politik pun muncul. Benarkah orang dekat mantan presiden Megawati Soekarnoputri itu mundur karena tak cocok dengan Presiden Yudhoyono? "Tidak betul saya mengundurkan diri," ujar Hendro ketika ditemui di Bali, Sabtu dua pekan lalu. "Masa tugas saya memang sudah selesai," ia menambahkan.
Menurut Hendro, masa tugasnya selesai begitu presiden Megawati lengser. Sesuai dengan Beleid Nomor 170 M dan Nomor 37 Pens yang diteken Megawati dua hari sebelum lengser, Hendro resmi pensiun sebagai Kepala BIN dan anggota Kabinet Gotong-Royong. Alasan lain, jabatan Kepala BIN tidak dicantumkan dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Artinya, Kepala BIN bukan lagi bagian dari anggota kabinet, sebagaimana pada pemerintahan Megawati.
Hendro mengaku berinisiatif menyerahkan kekuasaan ke wakilnya, As'ad Said. "Juga karena saya tidak tahu kapan Kepala BIN baru ditunjuk," ia menegaskan. "Bukan karena tak cocok dengan kepemimpinan Pak Yudhoyono." Sikap Hendro ini, menurut Effendy Choirie, sah-sah saja, mengingat belum ada kejelasan mengenai posisi BIN.
Sebagai sebuah lembaga setingkat menteri, Kepala BIN diangkat oleh presiden. Jika presiden turun, bisa ditafsirkan Kepala BIN juga tak lagi menjabat. "Tapi pengertiannya bisa juga sama dengan Kapolri dan Panglima TNI. Walau presiden lengser, ia tak serta-merta lengser, " kata Effendy. Bedanya, untuk mengganti Kapolri dan Panglima TNI, presiden harus meminta persetujuan DPR.
Hendro sendiri ingin BIN tak menjadi lembaga setingkat menteri. "Agar kalau masa baktinya habis, Kepala BIN belum tentu diganti, supaya ada kesinambungan dalam operasional sistem," kata Hendro. "Soalnya ini jabatan teknis, bukan politis." Usul itu tak direspons. Hingga pekan lalu, posisi BIN belum juga dibahas.
Menurut Effendy Choirie, sikap Hendro bisa dipahami. "Ini kan juga bentuk solidaritas kepada Mega," katanya. "Mega yang mengangkat, Mega juga yang melengserkan." Satu di antara orang terdekat Megawati memang membisikkan, Hendro ikut rombongan menteri yang dilengserkan Mega lebih karena ia menjaga perasaan Mega.
Kedekatan Hendro dengan Megawati bukan hal baru. Pada awal 1990-an, ketika masih militer aktif, Hendro ikut menyokong dan mengamankan langkah Mega maju menjadi ketua umum dalam Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Surabaya. Setelah huru-hara politik membuat PDI berubah menjadi PDI Perjuangan, dan menang Pemilu 1999, kedekatan itu tetap terpelihara.
Setahun kemudian Hendro terang-terangan menyatakan tertarik bergabung dengan Partai Moncong Putih itu. Ketika masa pensiunnya tiba, Hendro resmi mengantongi kartu tanda anggota PDI Perjuangan. Ia pun makin tampak tak jauh dari Mega. Pada 2001, begitu Mega menjadi presiden, ia ditarik menjadi Kepala BIN.
Memang, kiprahnya sebagai Kepala BIN kadang bikin setori. Misalnya ketika ia mensinyalir keberadaan jaringan teroris di Indonesia. Ketika itu banyak yang bergurau, BIN sedang main mata dengan Amerika. Terakhir Hendro masih sempat buka suara, meminta kewenangan BIN menangkap orang, menyusul peledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia.
Sebagai politisi ia juga tak kurang ramai. Misalnya ketika namanya tercantum sebagai calon juru kampanye PDI Perjuangan, Februari lalu. Rupa-rupa reaksi muncul. Sebagai Kepala BIN, Hendro dikhawatirkan menggunakan aparat intelijen demi kemenangan partainya. Hendro cepat tanggap, mundur dari barisan juru kampanye.
Heboh terakhir adalah penganugerahan pangkat jenderal kehormatan kepada Hendrodi samping untuk Hari Sabarno. Anugerah di ujung masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri ini jadi pembicaraan ramai. Bahkan masalah penganugerahan pangkat jenderal kehormatan ini sulit dilepaskan dari pengunduran diri Jenderal Endriartono Sutarto sebagai Panglima TNI.
Kini, siapa gerangan yang dibidik Presiden Yudhoyono untuk menduduki posisi Kepala BIN? Belum ketahuan, memang. Di kalangan orang dekat Presiden memang beredar beberapa nama. Tetapi, mengingat pengalaman penyusunan Kabinet Indonesia Baru, tidak ada orang yang bisa mengklaim diri terlalu dekat dengan SBY, sehingga tahu semua hal.
Di antara nama yang beredar terdengarlah Mayjen Purnawirawan Syamsir Siregar, Mayjen Purnawirawan Achdari, Mayjen Mohammad Yasin, dan Wakil Kepala BIN As'ad Said. Syamsir, Achdari, dan Yasin bukan orang baru bagi SBY. Syamsir dan Achdari, alumnus Akademi Militer Nasional 1965, sudah berjuang untuk memenangkan SBY dalam pemilu presiden lalu.
Syamsir adalah koordinator tim sukses SBY untuk wilayah Sumatera. Achdari berada di balik penyusunan konsep pemenangan SBY. Wakil ketua umum tim nasional kampanye SBY ini pernah menjadi wakil Syamsir Siregar saat memimpin Badan Intelijen ABRI (BIA) pada 1996. Lepas dari BIA, Achdari dikaryakan menjadi Dirjen Sospol Departemen Dalam Negeri.
Syamsir sendiri enggan berkomentar mengenai kehadiran namanya sebagai kandidat Kepala BIN. "Wah, lelucon politik itu tak perlu dikomentari," katanya. Bagaimana pula peluang As'ad Said? Orang dalam BIN ini dianggap mampu menata kembali organisasi BIN secara menyeluruh, sekaligus melahirkan atmosfer baru sebagai orang sipil pertama yang memimpin lembaga intelijen.
Kandidat lain yang tak boleh dianggap enteng adalah Mohammad Yasin. Kawan seangkatan SBY di Akabri 1973 ini pernah menjadi Komandan Detasemen Induk (Pendidikan) Badan Intelijen Strategis (BAIS) di Cilendek, Bogor. Posisi terakhirnya adalah salah satu deputi SBY di Kantor Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Meski masih militer aktif, "Kalau dibutuhkan, saya siap," katanya.
Widiarsi Agustina, Hanibal W.Y.W., Rofiqi Hassan, Sapto Pradityo, Yura Syahrul (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo