SIAPA yang subversif dengan buntu? Tak lama lagi akan diketahui. Kini ada sekitar 100 nama di kantung yang mungkin akan kena tuduhan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Seratus nama itu dianggap bandar judi buntut di seluruh Indonesia yang selama ini membonceng peredaran KSOB dan TSSB, dua jenis undian yang sejak 1 Januari 1989 diganti dengan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) Mulai Jumat pekan lalu, dafta itu diproses. Mereka dipanggil melalui Kejaksaan Tinggi di daerah-daerah, dan bila bukti yang kuat ditemukan, perkaranya akan dilimpahkan ke pengadilan. Semua yang tercantum dalam daftar tadi akan diminta membuat pengakuan tertulis. Bila tak mengaku? "Tak apa-apa," kata Sukarton. Tapi diingatkannya bahwa semua kegiatan orang-orang yang mencurigakan itu tetap dipantau oleh anak buahnya. "Begitu ada bukti, dia kami tangkap." Maka, SDSB diharap akan berjalan tanpa diganggu -- atau disaingi -- oleh judi buntut. Memar inilah target utama pemberantasan bandar buntut yang dikoordinaskan oleh Jaksa Agung itu. Kata Sukarton, "Operasi pemberantasan judi buntut ini, tegasnya, ya untuk mengamankan SDSB." Tanggal 8 Desember yang lalu, Presiden menginstruksikan agar judi buntut diberantas sampai tuntas. Kepala Negara menilai kejahatan itu sebagai tindakan subvesi. Keppres 133/1965 memang mengklasifikasikan pengedaran lotere buntut sebagai perbuatan subversi. Meskipun itu aturan pra-Orde Baru, pemerintah masih menganggap perlu menggunakan sengatnya. Soalnya, bisa diduga SDSB akan kian merangsang bergeraknya buntut. Kupon undian itu paling murah Rp1.000 (untuk seri B. Kupon seri A, yang menawarkan hadiah tertinggi Rp1 milyar, berharga Rp5.000. Lebih mahal ketimbang undian sebelumnya. Dengan kupon yang lebih mahal itu, para pemimpin dan penjudi akan lebih baik memilih permainan menebak buntut nomor yang menang. Dengan Rp50 saja, bisa bertaruh. Malah di beberapa daerah, para agen judi buntut itu bersedia menjual kuponnya dengan kredit yang dibayar beberapa hari kemudian. Bila nomor yang dipasang itu kena, bandar akan membayar sesuai dengan nilai kupon yang dibeli si petaruh. Paling tidak, itulah yang dituduhkan terhadap Adi Wijaya, 51 tahun, bandar buntut dari Binjai, Sumatera Utara, yang ditahan Polres Langkat, 4 Desember yang lalu, di bawah pimpinan Letkol. Yunus Simanjuntak. Adi Wijaya didakwa mengedarkan kertas biasa yang dibungkusnya di dalam amplop warna merah. Di sebelah kiri kertas putih itu -- kupon begini memang sering disebut kupon putih -- dituliskan angka yang dipilih si penebak, sedangkan di kanannya dicantumkan besar taruhan yang dibayarkan konsumen yang berarti inilah harga jual kupon itu. Bila nomor undian dan SOB dan TSSB keluar-untuk kasus Adi Wijaya, katanya, yang dibuntuti adalah undian pacuan kuda Singapura -- sang bandar akan membayar pada para pemasang. Rinciannya: tepat untuk dua nomor dibayar 70 kali harga kupon, tepat tiga nomor 500 kali, dan empat nomor 3.000 kah. Melalui jaringan para bandar, judi buntut konon bisa merasuk ke desa-desa. Adi Wijaya, misalnya, dituduh punya agen di pelosok. Belum jelas bisa atau tidaknya ia dituduh berbuat subversif. Sebetulnya, selama ini polisi sudah sering menggebrak judi buntut. Dalam bulan Mei tahun lalu, misalnya, di seluruh jajaran Polri dilakukan operasi Balak Candi, yang ditujukan untuk menyikat judi buntut. Tapi rupanya, semua itu dianggap masih belum cukup sebagai penangkal, sampai Presiden merasa perlu mengingatkan adanya ancaman hukuman terhadap perbuatan subversif. Kini ditunggu sejauh mana ancaman hukuman itu diterapkan. Daftar nama yang dikantungi Sukarton sementara ini agaknya masih akan berkembang. Menurut Sukarton, Kejaksaan Agung masih akan menyesuaikan daftar para bandar buntut itu dengan berbagai instansi lain yang bertugas. Bisa memendek bisa memanjang. Di Jawa Timur, misalnya, daftar itu akan bertambah panjang. Kejaksaan Tinggi setempat cuma memperoleh tiga nama dari Sukarton. Padahal, di luar nama itu, mereka sudah punya daftar sendiri berisi 50 nama yang terserak di Surabaya dan hampir semua daerah tingkat dua di sana. "Hampir di setiap daerah ada dedengkotnya," ujar I Nyoman Suwanda, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Dari daftar Sukarton, daerah yang dianggap merupakan sarang bandar buntut utama adalah Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan DKI Jakarta. Di Medan, misalnya, 31 Desember yang lalu Jaksa Agung menyerahkan 30-an nama bandar kepada para pejabat di daerah itu. Salah satu di antaranya, menurut Sukarton, seorang perempuan cantik. Gerakan ini, juga menurut Sukarton, mendapat dukungan sepenuhnya dari ABRI. Jadi, kekuatan yang menjadi backing penjudi buntut tak bisa main coba-coba. "Pasukan ABRI 'kan pasti lebih kuat dari mereka," kata Sukarton. Diharapkan memang begitu. Sebab, tak jarang ada orang bersenjata yang melindungi perjudian itu. Di Aceh, misalnya, ada anggota Polri yang ditembak ketika bertugas. Penembaknya: backing judi buntut (lihat boks). Maka, menghancurkan para backing itu juga dianggap perlu. Brigjen. S.T. Nussy, salah seorang direktur di BAIS ABRI, menganggap sebaiknya selain para bandar, para backing itu juga bisa terjaring. "Prinsipnya, semua kegiatan yang menghambat kebijaksanaan pemerintah dan merusakkan masyarakat harus diatasi. Judi buntut itu sudah diperingatkan berkali-kali, ternyata masih ndak ngerti-ngerti juga. Ya, sekarang harus dengan kekerasan," kata Nussy tegas. Insya Allah, semua itu bukan sekadar gertak sambal. Sebab, sampai saat ini pemerintah berpendapat bahwa yang merasuk sampai ke desa-desa itu bukanlah KSOB atau TSSB yang resmi, dan menyetorkan dana pada pemerintah sampai Rp110 milyar setiap tahun, melainkan Si judi buntut. "Jadi, yang menyedot dana itu bukan TSSB, KSOB, maupun SDSB," kata Sukarton. Bagi mereka yang menentang SDSB, seperti para mahasiswa di UGM pekan lalu (lihat: Jembatan Anti-Virus), tentu menarik untuk meneliti apakah pendapat pemerintah itu sesuai dengan kenyataan. Amran Nasution, Agung Firmansyah, Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini