Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengklaim pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN sesuai dengan apa yang diinginkan Indonesia. Jokowi membandingkan proyek IKN dengan Istana Kepresidenan Jakarta dan Bogor yang dibangun oleh Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi mengungkit Istana Negara dan Istana Merdeka pernah dihuni oleh dua kolonialis berbeda, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Gerardus van Overstraten dan Johan Wilhelm van Lansberge. Sementara Istana Bogor sempat ditempati oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem van Imhoff.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sudah kita tempati 79 tahun. Ini bau-bau kolonial selalu saya rasakan setiap hari, dibayang-bayangi. Dan sekali lagi, kita ingin menunjukan bahwa kita punya kemampuan untuk juga membangun ibu kota sesuai dengan keinginan kita,” kata Jokowi saat memberi arahan kepada kepala daerah di Istana Garuda, IKN, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Selasa, 13 Agustus 2024, dikutip dari keterangan video.
Mengenal Istana Negara
Dilansir dari laman Kementerian Sekretariat Negara, Rabu, 14 Agustus 2024, disebutkan Istana Negara terletak di Jalan Veteran dan menghadap ke Sungai Ciliwung. Istana ini membelakangi Istana Merdeka yang menghadap ke Taman Monumen Nasional dan dihubungkan oleh Halaman Tengah.
Lingkungan Istana Negara meliputi beberapa bangunan lain, yaitu Kantor Presiden, Wisma Negara, Masjid Baiturrahim, dan Museum Istana Kepresidenan.
Pada awalnya, Istana Negara merupakan kediaman pribadi seorang warga negara Belanda yang bernama J.A. van Braam. Ia mulai membangun kediamannya pada 1796 (pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten) sampai dengan tahun 1804 (pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Johannes Sieberg).
Namun, pada 1816 bangunan ini diambil alih oleh pemerintah Hindia-Belanda dan digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta kediaman para Gubernur Jenderal Belanda. Oleh karena itu pula, istana ini dijuluki “Hotel Gubernur Jenderal”.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Istana Negara menjadi saksi sejarah atas penandatanganan naskah Persetujuan Linggajati pada Selasa, 25 Maret 1947.
Setahun kemudian, pada 13 Maret 1948, Istana Negara kembali menjadi tuan rumah untuk pertemuan empat mata antara Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Letnan Gubernur Jendral Dr. Hubertus J. van Mook.
Fungsi Istana
Istana Negara juga berfungsi sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara, istana menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan, seperti pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rapat kerja nasional, pembukaan kongres bersifat nasional dan internasional, dan tempat jamuan kenegaraan.
Istana ini fungsinya lebih difokuskan kepada kegiatan resmi kepresidenan, yaitu sebagai kantor Presiden Republik Indonesia. Namun, jika peringatan hari besar kemerdekaan 17 Agustus, Istana Negara ini juga dipakai untuk acara jamuan makan Presiden dan para veteran.
Demikian juga jika datang tamu negara, Istana Negara dipakai untuk acara resmi jamuan makan malam kenegaraan, juga untuk tempat acara malam kesenian dengan menampilkan pertunjukan kesenian tradisional Indonesia, dari berbagai daerah, dengan berbagai tema, dekorasi, interior yang bervariasi pula.
Bagian-Bagian Istana
Gaya arsitektur Palladio tampak jelas dari eksterior istana ini yang menampilkan saka-saka bercorak Yunani. Bagian depan Istana Negara menonjolkan 14 saka dengan laras yang sama. Serambi di Istana Negara sedikit lebih sempit dibandingkan dengan serambi yang dimiliki Istana Merdeka.
Serambi Istana Negara dicapai dari dua anak tangga di sisi kanan dan kiri, serta bagian depannya ditutup dengan pagar balustrada.
Istana Negara pada dasarnya terdiri dari dua balairung besar yaitu Ruang Upacara dan Ruang Jamuan. Sesuai dengan namanya, Ruang Upacara adalah untuk tempat penyelenggaraan upacara-upacara resmi kenegaraan.
Di masa Hindia Belanda, Ruang Upacara dipakai sebagai ballroom untuk pesta-pesta yang disemarakkan dengan acara dansa.
Di ruang upacara tersedia dua perangkat gamelan: Jawa dan Bali, masing-masing ditempatkan di timur dan di barat dari podium yang berada di sisi selatan Ruang Upacara. Jika upacara mengharuskan diperdengarkannya lagu kebangsaan dengan korps musik dari Pasukan Pengaman Presiden maka ditempatkan di serambi belakang yang hanya dipisahkan oleh dinding belakang podium Ruang Upacara.
Auditorium ini dapat menampung seribu hadirin berdiri atau 350 hadirin duduk. Ruang Jamuan dipakai untuk jamuan kenegaraan atau sebagai ruang tempat para tamu beramah-tamah setelah upacara selesai. Ruangan ini dapat menampung 150 orang.
Serambi depan yang terbuka, menghadap ke Jalan Veteran, dapat dicapai dengan anak-anak tangga di kedua sisinya. Melalui pintu-pintu kaca, pengunjung akan tiba di ruang depan. Ruang depan ini dipergunakan sebagai tempat untuk tukar-menukar cenderamata antara dua Kepala Negara sebelum memasuki Ruang Jamuan.
Di ruang ini terdapat tiga kandelabra besar dan sepasang cermin antik yang tingginya hampir mencapai tiga meter.
Dari ruang depan ini terdapat sebuah koridor untuk mencapai Ruang Jamuan. Di kedua sisi koridor itu terdapat beberapa ruang khusus. Di sisi barat terdapat suite untuk Wakil Presiden dan ruang tunggu tamu Presiden. Ruang tamu Presiden ini dulunya merupakan Ruang Pusaka untuk menyimpan berbagai benda pusaka. Di ruang ini Presiden menemui tamu-tamunya.
Ruang kerja Presiden berada di sisi timur koridor ini, diapit dengan sebuah meja kerja besar, sebuah kursi kerja untuk Presiden, dua kursi hadap, dan sebuah lemari panjang untuk menyimpan berbagai benda seni. Di belakang ruang kerja ini terdapat ruang istirahat dan ruang makan bagi Presiden.
DANIEL A. FAJRI | ANDRY
Pilihan Editor: Jokowi Rasakan Bau Kolonial di Istana Jakarta Setiap Hari