Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggugat status gila

Pemimpin transmigran ketapang dianggap gila. ia dipisahkan dari jemaahnya. pemeriksaan banding boleh dilakukan.

1 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NASIB puluhan bekas transmigran Ketapang yang ditampung di Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) Bekasi Timur terkatung- katung. Mereka yang menjadi pengikut Fianes Edy Wongsodimejo itu seperti anak ayam kehilangan induk. Sudah sebulan ini mereka tak bertemu dengan pemimpinnya. Sejak akhir November lalu, Edy dirawat di bagian penyakit jiwa RS Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. Edy sendiri merasa waras seratus persen. "Aneh, diperiksa saja belum, kok sudah keluar surat dokter yang menyebutkan saya gila," katanya kepada TEMPO. Menurut Edy, tuduhan gila itu direkayasa Pemerintah untuk memisahkan dirinya dari pengikutnya. Juni lalu, Edy dan pengikutnya datang ke gedung Kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, di Jakarta. Mereka dua hari di sana. Tujuannya, minta suaka politik ke Belanda karena merasa diperlakukan sewenang-wenang di Indonesia. Permintaannya ditolak. Sebelum ke Erasmus Huis, Edy bersama ke-66 jemaahnya mengembara ke pelbagai tempat. Mulanya mereka tinggal di Kampung Kepa Duri, Jakarta Barat. Karena bentrok dengan pemilik rumah, pada September 1992 mereka berangkat sebagai transmigran swadaya ke Ketapang, Kalimantan Barat. Di sana mereka tinggal bersama dalam rumah panjang berukuran 8 x 40 meter. Rupanya, kehadiran jemaah Edy ini tak disukai masyarakat setempat. Edy yang tak belajar di pesantren itu suka melecehkan ulama di tempat tinggalnya. Ia menganggap ajaran Islam yang diajarkannyalah yang paling benar. "Ajaran saya tak ada duanya di dunia ini," katanya. Ia mengaku mendapatkan ajarannya itu langsung dari Allah. Sehari-hari, sebagai contoh, pengikut Edi tak mengucapkan assalamualaikum atau terima kasih kepada tetangga. Mereka juga menyebut Nabi Muhammad tanpa diiringi sallallahu alaihi wasallam. Alasannya, sebutan itu ciptaan ulama dan membeda- bedakan derajat para nabi. Yang paling prinsip bagi Edy yang tak paham bahasa Arab itu, ia tak mengakui rukun Islam dan rukun iman karena tak ada dalam hadis. Karena ajarannya dianggap ganjil, Maret 1993 jemaah Edy diusir dari Ketapang. Rumah dan barang-barang mereka dibakar penduduk setempat. Oleh Pemda Ketapang, kelompok ini dikirim dengan kapal ke Semarang. Setelah sepekan di Semarang, mereka diangkut ke Panti Karya milik Departemen Sosial di Cipayung, Jakarta Timur. Selama tiga bulan, jemaah Edy dibina di Cipayung. Suatu hari, Edy dan jemaahnya kabur, lalu muncul di Erasmus Huis itu. Ulah mereka tentu merepotkan aparat keamanan. Ketika itu, Pangdam Jaya Mayjen A.M. Hendropriyono terjun menangani masalah ini. Edy dan jemaahnya lalu dititipkan di Liposos untuk dibina. Ulama dari Pemda DKI dan dari Polri didatangkan untuk meluruskan ajaran mereka. Upaya ini tidak mempan. "Ulama yang datang ternyata pengetahuan agamanya tidak melebihi saya," kata Edy. Karena pengaruh Edy terhadap jemaahnya sangat kuat, upaya pembinaan itu gagal. Lalu, Edy dipisahkan dari jemaahnya. Awalnya, ia hendak diseret ke pengadilan karena membuat surat jalan palsu ketika hendak ke Ketapang. Ketika Edy diperiksa, polisi melihat ucapan dan tingkah lakunya agak aneh. Karena itulah ia diperiksa di RS Polri. "Menurut pemeriksaan dokter, ia positif mengidap penyakit jiwa," kata Husaini Kusbiantoro, Kepala Biro Ketertiban Pemda DKI, yang menangani kasus transmigrasi Ketapang ini. Jadi, tidak benar tuduhan gila itu direkayasa. "Justru karena dianggap gila, Edy tidak jadi dituntut," kata Husaini. Karena merasa tidak gila, Edy mengadukan masalah ini ke Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Hak-Hak Asasi Manusia (LHAM) di Jakarta. Untuk menguji hasil pemeriksaan di RS Polri itu, LBH akan memohon pemeriksaan banding (second opinion). "Kami sudah mendapat surat kuasa dari istri Edy untuk minta second opinion dari dokter lain," kata Dwi Yanto dari LBH. "Saya lihat Edy itu aneh. Ketika ia disebut sakit jiwa, saya anggap benar saja," ujar Hendropriyono. Selain itu, menurut Hendropriyono, jika mereka mencurigai hasil pemeriksaan itu, silakan Edy diperiksa dokter lain.Bambang Sujatmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum