Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Menu baru, siapa kafir ? menu baru, siapa kafir?

Disertasi harifuddin cawidu dari iain jakarta membahas konsep kufr menurut al-quran. diulas juga mengapa ada yang gampang mengkafirkan sesama. harifuddin memilah kekafiran menjadi tujuh macam.

15 April 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAH ini dia, pekan lalu telah lahir "Doktor Kafir". Olok-olok ini terdengar di IAIN Jakarta. Yang sebenarnya terjadi adalah Harifuddin Cawidu berhasil menyelesaikan kuliah pascasarjananya di sana lalu mengangkat Konsep Kufr dalam Al-Quran buat disertasinya. Menurut penilaian ahli tafsir seperti Dr. Quraisy Shihab, disertasi itu sangat bagus. Pendapatnya demikian bukan karena ia promotor Harifuddin. "Pemahaman seperti itu sangat dibutuhkan sekarang," ucap Quraisy Shihab. Untuk telaahnya itu bisa saja Harifuddin mendapat nilai "A". Namun, yang lebih penting, dosen IAIN Ujungpandang ini telah menyumbangkan suatu pemikiran untuk masalah mendasar. Sebab, istilah kufr alias kafir sudah melahirkan banyak korban. Dan setelah jauh dari masa hidup nabi, pengafiran terhadap seseorang mudah sekali dilakukan. bahkan sering terhadap sesama muslim. Di zaman Rasulullah, obyek pengafiran jelas sosoknya, seperti Abu Jahal dan Abu Lahab yang terang-terangan menolak dan memusuhi "seruan kebenaran" (sehingga Allah menurunkan Surah al-Lahab yang lima ayat itu). Setelah Islam meluas, kaum muslimin tak hanya harus menghadapi orang luar, tapi juga konflik di dalam. Penyebutan kafir kemudian menjadi tidak lagi tegas batasnya. Istilah kafir mulai juga dikenakan pada sesama muslim. Sikap seperti ini mula pertama berkembang di kalangan kaum Khawarij atau Khariji. Mereka lahir karena faktor politik. Belakangan sikap mereka mengeras. Siapa saja pengikut Ali atau pengikut Muawiyah, dan yang tak mau menuruti pendapat mereka ("manusia menentukan nasibnya sendiri"), langsung dicap kafir. Bahkan mereka ringan mengayun pedang. Ibnu Muljam dari Khawarij lalu membunuh Sayidina Ali sewaktu khalifah ini salat subuh di Masjid Kufah, Irak. Dan pada abad ini pengafiran masih terus terjadi. Malah lebih banyak. Yang menonjol adalah sikap yang dilontarkan Jamaah Takfier di Mesir. Mereka itu pecahan dari Ikhwanul Muslimin, lalu rajin menuding yang tak sepaham sebagai orang kafir, malah terhadap pejabat pemerintah. Dan dengan "jalan darah", kata mereka, orang-orang itu layak diperlakukan. Di Indonesia, jika masih ingat, pandangan serupa agaknya dianut pula oleh sebagin anggota GPK Warsidi dalam peristiwa Lampung. Februari silam. Banyaknya pengafiran merisaukan ulama. Lalu Muhammad Abduh menyebutkan, "Siapa saja masih mengucap syahadat dan bagaimana kelakuannya, ia tetap muslim. Bukan kafir."? Dr. Yusuf Qardawi malah menjadikan masalah ini sebagai kajian khusus dalam sebuah buku yang sudah diindonesiakan berjudul Mengkafirkan Sesama Muslim, Suatu ekses. Dari studinya terhadap Jamaah Takfier,Qardawi mengungkap jalan berpikir para pengafir itu. Sering pada mulanya mereka adalah orang-orang tertindas. Mereka digencet, bahkan dianiaya, justru karena berpegang pada hukum Allah. Maka, mereka menjadi fanatik. Di benaknya muncul pertanyaan, "Apa hukum bagi orang yang menyiksa kami di luar batas kemanusiaan hanya karena kami menyeru untuk kembali pada hukum Allah?" Mereka kemudian membuka Quran dan menemukan jawaban di Surah al-Maidah (ayat 44), "Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut hukum yang diturunkan Allah, merekalah orang-orang kafir. " Ayat yang tegas ini mereka jadikan pegangan mengafirkan orang. Lebih jauh, siapa yang menginterpretasikan ayat ini dan tak sependapat dengan mereka, maka dianggap pula kafir. Dasar itu hanya satu ayat. Padahal, Quran, kata Harifuddin, menyebut ungkapan kufr 527 kali. Sebagian di antaranya memakai istilah sirk, inkar, fisq yang juga menunjuk pada orang-orang kafir. Dari kajiannya itu, Hariruddin menyimpulkan yang berbeda dengan kesimpulan para pengafir. "Kufr tidak selalu berkonotasi lawan iman. Maknanya bervariasi. Dan yang kafir tak mesti orang yang kehilangan iman atau keluar dari Islam," katanya. Seperti menyusun "menu" Harifuddin memilih kekafiran itu menjadi tujuh macam. Bila seseorang secara lahir dan batin menolak Tuhan, rasul-rasul-nya, dan seluruh ajaran dibawanya, ia digolongkan kafir inkar. Kalau lahirnya menolak tapi batinnya, menerima disebut kafir juhud. Kalau lahirnya menerima tapi batin menolak, adalah kafir nifaq. Selain itu ada kekafiran syirik, nikmat, riddat, dan kitabi. Yang kafir syirik tidak mengingkari Tuhan, tapi menggantungkan nasib pada tuhan-tuhan palsu. Kafir nikmat, menyalahgunakan nikmat Tuhan. Kemalasan atau berfoya-foya masuk kelompok ini. "Pada umumnya manusia terkena kekafiran jenis ini, walaupun kadarnya berbeda," kata Harifuddin. Kafir riddat adalah kemurtadan (yang kini populer dituding untuk Salman Rushdie, pengarang The Satanic Verses). Sedang kafir kitabi adalah penganut agama lain yang berpangkal pada monoteisme. Apa yang dibahas Harifuddin tentu tidak termasuk petani yang dalam Quran juga disebut kuffar. Sebab, secara bahasa arti kafir adalah menutupi, dan petani selalu menutupi biji yang ditanamnya dengan tanah. Yang pasti, seperti dipertegas Quraisy Shihab, kekafiran bertingkat-tingkat. "Kekufuran seorang penarik becak dan kaum terpelajar berbeda," katanya. Seorang terpelajar tentu harus menanggung lebih berat beban atas kekufurannya. Sering para pengafir juga muslim yang baik. Seperti ditulis Qardawi, "Mereka sangat rajin berpuasa, bangun malam untuk salat, dan bertilawah Quran. Mereka orang-orang pemberani dalam membela kebenaran, dan mengorbankan jiwa dan raga dalam berjuang di jalan Allah." Ini agaknya yang disebut Rasulullah, "Tidak berarti sama sekali salat, bangun malam, dan tilawah salah seorang di antara kalian dibandingkan dengan salat, bangun malam, dan tilawah mereka." Dan mereka pula yang disebut Nabi, "Membiarkan pemuja berhala tetap hidup dan membunuh pemeluk muslim." Tapi mereka membaca Quran, "Yang pembacaannya tak mencapai lebih jauh dari kerongkongannya." Benarkah?Zaim Uchrowi dan Ahmadie Thaha

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum