Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohd. Sabri A.R.
Dosen Filsafat Universitas Islam Negeri Alauddin
Adakah pengetahuan yang mungkin tentang Tuhan? Setidaknya Dia mewartakan diri-Nya melalui selubung yang dipilih-Nya: bermula dari senyap ke sunyi, sunyi ke bunyi, bunyi ke aksara, aksara mengalir lirih pada sebilah arus sungai literasi yang beku, lalu meluahkan kitab. Sebab itu, Rudolf Otto menyebut-Nya mysterium, tremendum et fascinans: sebuah kegaiban unik yang menautkan kejut-getir dan rindu yang menyengat.
St Thomas Aquinas mendaku: "Quasi ignotus cognoscitur-Tuhan dikenal sebagai Dia yang tak dikenal." Kelak inilah yang menjadi akar epistemik theologia negativa. Jika konstruksi teologi mainstream sejauh ini mengandaikan Tuhan dengan menampilkan sisi positifnya atau via affirmativa, teologi negatif "meraba" paras Tuhan via negativa. "Teologi negatif" sebab itu adalah wacana yang sedikit ganjil dalam studi agama. Denys Turner, dalam The Darkness of God (1995) bahkan lebih memilih untuk tidak mendefinisikannya, dan mengisyaratkan satu hal: not-saying, "usah bercakap apa-apa tentang Tuhan."
Tapi, dari rongga gurun yang sunyi pada abad ke-7 Hijriyah, teosof genial Ibn 'Arabi tak mau takluk. Ia menerobos semesta kode "negativitas" Ilahi: "Penampakan Tuhan paling sempurna terjadi pada diri perempuan." Sebuah narasi yang mengguncang justru di tengah-tengah kuatnya arus otoritarianisme religius kaum laki-laki dalam tradisi pemikiran Islam. Pernyataan Ibn 'Arabi dalam Fushsh al-Hikm itu lebih merupakan aksara yang menyimpul: tajalli, doktrin 'irfani tentang citra dan "manifestasi" Tuhan.
Ada pandangan yang terbelah antara kaum sufi dan aktivis feminis kontemporer tentang relasi gender. Tidak seperti kaum feminis yang mengandaikan relasi gender sebagai socially constructed, para sufi memandang relasi gender sebagai sesuatu yang "kodrati". Kalaupun relasi itu dapat berubah-bagi sufi seperti Ibn 'Arabi-setidaknya ia merupakan manifestasi ilahiah yang intrinsik dan bersifat perenial: bahwa kualitas-kualitas maskulin dan feminin adalah dua "kembar" dari perwujudan kasih sayang Tuhan.
Dalam permenungan visio dei Ibn 'Arabi, Tuhan mengandung dalam diri-Nya anasir maskulin dan feminin sekaligus. Sebuah cara pandang yang bersilang haluan dengan mayoritas penganut monoteis yang mengandaikan Tuhan sebagai yang "maskulin".
Bagi Ibn 'Arabi, perempuan dan laki-laki ibarat "sepasang tangan" Tuhan yang solid. Sachiko Murata melukiskan dua aspek ini sebagai "yin-yang" yang bergerak tak kenal henti dan saling mengisi. Lingkaran putih mengandung unsur hitam dan terkontaminasi olehnya. Sebaliknya, lingkaran hitam mengandung unsur putih, dan tak dapat menampik kehadirannya. Relasi keduanya bahkan melampaui "oposisi biner" yang memprioritaskan satu hal di atas yang lain.
Dalam alegoris Ibn 'Arabi, relasi laki-laki dan perempuan adalah relasi yang penuh ketegangan, tapi juga harmoni: jika laki-laki adalah "langit" yang memberi, perempuan adalah "bumi" yang menerima. Langit membutuhkan bumi, karena tanpa bumi apalah arti curah hujan dan pesona gemintang di malam sepi. Demikian pula bumi yang reseptif: begitu mendamba aliran rahmat yang tercurah dari langit. Tapi, ini tidak dengan sendirinya bermakna langit lebih unggul daripada bumi.
Sebab, menurut Ibn 'Arabi, langit hanyalah rongga raksasa yang tak berisi apa-apa kecuali kekosongan. Karena itu, langit amat haus akan bumi. Sedangkan bumi mengandaikan kepenuhan dan keberlimpahan. Bumi mengandung banyak hal yang invisible, meski ketakterlihatannya itu justru menjadi "kekuatan" tersendiri baginya.
Tapi, bagi Ibn 'Arabi, perempuan bukan rahasia yang sepenuhnya tertutup dan invisible, karena dia adalah materi. Berbeda dengan laki-laki yang identik dengan roh. Perempuan ibarat "raga" yang merawat kehidupan, sedangkan laki-laki identik dengan "nyawa" yang memberi kehidupan. Kendati demikian-lagi-lagi catatan Ibn 'Arabi-meski perempuan adalah materi, (ada kedekatan mother "ibu" dan matter "materi"), ia adalah materi yang immateriil. Perempuan, dalam sifatnya yang terindrai, adalah juga rahasia yang tak teraba. Sebab, dalam diri perempuan Tuhan menancapkan keajaiban agungnya, dalam wujud kasih, yang mentransmisikan langsung sifat Rahman-Rahim-Nya.
Kini relasi laki-laki-perempuan tengah terkoyak dalam kehidupan kontemporer kita. Perempuan mengalami sekian banyak pelecehan dan diskriminasi. Wajah perempuan adalah tanda kerentanan. Kapitalisme telah "merobek" wajah itu melalui komodifikasi, iklan, dan advertensi. Sedangkan budaya patriarki bergerak mendistorsi wajah itu lewat agama dan budaya yang tak ramah pada perbedaan. Melalui doktrin sufistiknya, Ibn 'Arabi sejatinya hendak mengatakan, "Dengan penghormatan dan cinta kepada yang lain, hidup akan terasa indah". Dan, pada detak inilah, akan terasa "kehadiran" Tuhan pada diri perempuan.
Tuhan via negativa, karena itu, mengandaikan Dia yang tak terjangkau, tak tercakapkan: sebuah kesunyian mutlak yang mahasenyap, tapi juga Maha-Lain Penuh Cinta. Jangan-jangan, Tuhan dalam kearifan via negativa adalah episentrum: misterium yang menyedot setiap rindu yang membuncah "melebur" dengan-Nya, di setiap penggal waktu. Itu sebabnya, jalan menemui-Nya, membentang sebanyak napas para pencarinya.
Komunitas Literasi Makassar menerima naskah literasi Anda. Silakan kirim naskah Anda sepanjang 4.000-5.000 karakter atau 500-700 kata, tulisan literasi harus memenuhi tiga unsur, yakni peristiwa, literatur, dan style. Sertakan juga data penulis dan foto ke alamat e-mail: [email protected] atau [email protected].
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo