APARAT keamanan masih terus memburu para pelaku peristiwa Lampung. Dua anggota kelompok yang disebut pemerintah sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi itu, misalnya, dapat diringkus petugas Kodam V Brawijaya, di Desa Timahan, Kecamatan Kampak, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, pada 15 dan 18 Februari lalu. Berita penangkapan ini diungkapkan oleh Pangdam Brawijaya Mayor Jenderal Soegeng Soebroto kepada wartawan di Surabaya, Senin siang pekan ini. Mereka yang tertangkap dikenali sebagai Yani, 26 tahun, dan Duljalal, 30 tahun. Keduanya memang berasal dari desa tadi. Beberapa waktu yang lalu mereka diketahui merantau ke Lampung, lalu belakangan bergabung dengan kelompok yang mereka sebut sebagai "Jamaah Mujahidin Fisabilillah" di Cihideung, Talangsari III, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah. Dari hasil pemeriksaan sementara, Yani mengaku terlibat langsung mengeroyok Kapten Soetiman, Komandan Koramil Way Jepara, 6 Februari yang lalu. Sang kapten memang ditemukan tewas. Setelah Cihideung digerebek oleh satuan Korem Garuda Hitam, 7 Februari 1989, mereka lolos. Dengan naik bis, keduanya berhasil pulang ke kampungnya di Trenggalek. Kemudian jejaknya tercium oleh petugas keamanan. "Penangkapan tidak cuma di Jawa Timur. Di Jakarta juga ada penangkapan. Jumlah dan siapa saja mereka masih belum bisa dirinci," kata Pangdam Brawijaya itu. Ucapan itu nampaknya ada benarnya. Petugas Kodam Jakarta Raya, menurut beberapa sumber, juga telah berhasil meringkus sejumlah orang yang diduga terlibat GPK Warsidi di Lampung itu. Bahkan disebut-sebut tempat penggerebekannya adalah di Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Penggerebekan dilakukan di beberapa rumah pada tanggal 25 sampai 27 Februari lalu. Disebutkan sumber itu, aparat keamanan berhasil membekuk tujuh tersangka. Salah satu di antaranya disebut bernama Nur Hidayat, 30 tahun. Ia diduga sebagai tokoh penting gerakan ini. Aparat keamanan rupanya sudah mencium bahwa sejumlah anggota komplotan bersembunyi di daerah itu. Maka, sekitar pukul 20.00, Sabtu dua pekan lalu, petugas mengepung sebuah rumah kecil milik Haji Armat yang dikontrak oleh seseorang enam hari sebelumnya, yang dicurigai sebagai Nur Hidayat. Menurut sumber tadi, sekalipun sudah terkepung, penghuni rumah itu tetap bertahan berkurung di rumahnya. Petugas terpaksa melemparkan gas air mata ke dalam rumah. Rupanya, ia masih ingin melarikan diri lewat genting. Tapi ia dapat ditangkap. "Mula-mula ia mengaku bernama Abdullah, tapi setelah diperiksa baru mengaku bernama Nur Hidayat," kata sumber itu. Dari rumah itu disita satu ember plastik anak panah beracun, ketapel untuk pelempar anak panah, sejumlah bom molotov, bahan-bahan kimia, peta-peta, sebuah mesin ketik, sebuah radio tape recorder, dan satu bundel surat-surat penting. Penggerebekan yang dilakukan di rumah lain di kelurahan itu, berturut-turut dua malam setelah tertangkapnya Nur, berhasil meringkus enam anggota komplotan lainnya. Siapa Nur Hidayat? Menurut sumber lain, Desember 1988, oleh sekitar 20 anggota kelompoknya, Nur Hidayat telah dipilih sebagai Amir Musyafir "Jamaah Mujahidin Fisabilillah", melalui sebuah rapat di sebuah tempat di Jawa Barat. Karena persamaan tujuan, kelompok ini -- yang konon belakangan berjumlah sekitar 50 orang -- bergabung dengan kelompok Warsidi di Cihideung. Ketika aparat keamanan menggerebek Cihideung 7 Februari yang lalu, sejumlah teman Nur turut tewas atau tertangkap. Sebagian lagi melarikan diri. Nur Hidayat sendiri dikabarkan tak berada di Cihideung saat peristiwa terjadi. Postur lelaki ini biasa saja. Tinggi sekitar 167 cm, berat lebih kurang 55 kg. Beberapa tahun yang lalu namanya cukup berkibar di kalangan karateka. Terakhir, 1984, ia adalah pemegang sabuk Dan II Inkai (Institut Karatedo Indonesia). Ia berkali-kali mengikuti kejuaraan nasional karate, mewakili DKI dan kemudian Riau. Prestasi puncaknya ialah ketika menjuarai Mantik Cup pada 1981. Ini adalah turnamen karate tingkat nasional yang dikoordinasikan oleh Federasi Karate Indonesia, Forki. "Dia memang seorang karateka berbakat, rajin berlatih, dan hubungan dengan guru baik," kata Boyong, seorang pelatih karate di Cirebon, Jawa Barat, bekas teman latihan Nur Hidayat. Lelaki bermata sipit dengan dada sedikit bungkuk ini dilahirkan di Desa Madurasa, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Ayahnya adalah pensiunan ABRI, berasal dari daerah Sumatera Barat, dan kini menjadi pengusaha bengkel di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Setelah menamatkan SMP di kampungnya, Cilimus, putra kedua dari empat bersaudara ini melanjutkan sekolah di SMA Negeri I Cirebon. Sejak itu pula ia mulai belajar karate. Sejak kecil ia memang sudah dikirim orangtuanya belajar mengaji pada Kiai Dulmanan di Sangkan Hurip, enam kilometer dari rumahnya. Tapi itu cuma mengaji Quran biasa. Ia tak pernah masuk pesantren. Setamat SMA, 1980, karena keandalannya sebagai karateka, ia diterima bekerja sebagai pegawai Bea Cukai di Jakarta. Ia kemudian ditugaskan di Tanjung Balai Karimun, Propinsi Riau. Sejak 1983, menurut seorang teman sekerjanya kepada TEMPO, Nur Hidayat kelihatan bertingkah "aneh". Anak muda pendiam ini mulai mengejek-ejek pekerjaan di Bea Cukai itu sebagai pekerjaan kafir. Saat bekerja di kantor, ia nampak asyik membaca sejumlah buku-buku agama. "Ia juga, kabarnya, belajar ilmu kebatinan," kata temannya itu. Puncak keanehan Nur Hidayat terjadi pada 1984, ketika mengikuti suatu pendidikan teknis yang dilaksanakan kantornya. Ia tiba-tiba meninggalkan pekerjaan dan menghilang entah ke mana. Rupanya, Nur pulang ke Jakarta. Di sini ia bekerja apa saja. Sempat ia menjadi pedagang bakso segala. Ia menikah dengan seorang guru TK dan punya dua anak yang kini berusia enam dan lima tahun. Sejak saat itulah, kabarnya, Nur mulai bergabung dengan sejumlah anak-anak muda di Jakarta. Mereka mmembentuk kelompok pengajian yang "keras". Sampai kemudian pecah peristiwa Lampung itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini