Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mencuri Subsidi, Aman Saja

Penyelundupan minyak ke luar negeri merugikan negara miliaran rupiah per hari. Siapa bertanggung jawab?

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALING lempar tanggung jawab di kalangan aparat pemerintahan merupakan tradisi yang sulit hilang, rupanya. Pekan-pekan ini, baik pihak polisi maupun Pertamina menyatakan cuci tangan atas penyelundupan bahan bakar minyak yang diramaikan media massa dan merugikan pemerintah miliaran rupiah setiap harinya. "Tugas polisilah mengawasi penyelewengan dalam jual-beli minyak," kata Gatot K. Wirojudo, penjabat sementara Dirut Pertamina. Kadispen Polda Metro Jaya, Letkol Zainuri Lubis, sebaliknya menganggap Pertamina yang bertanggung jawab—karena perusahaan minyak milik pemerintah itulah yang mengetahui lalu lintas peredaran minyak. "Masa, polisi ngurusi jual-beli," katanya. Sementara keduanya saling menyalahkan, kegiatan bongkar-muat minyak di Pantai Pasirurug, Cilincing, Jakarta Utara, berlangsung dengan merdeka. Padahal, lokasi itulah yang disebut oleh sejumlah media massa beberapa pekan terakhir sebagai salah satu "surga para penyelundup". Hanya berjarak beberapa kilometer dari Markas Polisi Sektor Kepulauan Seribu, kegiatan di situ berlangsung terbuka. Hasnah, seorang warga setempat, menandai bahwa kegiatan di situ kian ramai dalam tiga bulan terakhir. Suatu hari di pekan lalu, misalnya, tampak di situ tak kurang dari 50 truk bermuatan minyak sibuk memuntahkan isi perutnya ke sebuah tongkang. "Truk-truk itu bergantian datang mulai sore hingga subuh," kata Hasnah. Sebagian minyak disimpan dalam tangki-tangki milik Pertamina, sebelum disuntikkan ke tongkang. Sejumlah media melaporkan, tongkang-tongkang besar itu—berkapasitas 400 ton—membawanya ke laut lepas dan memindahkan muatannya ke kapal yang lebih besar. Minyak itu kemudian dijual ke luar negeri—antara lain Singapura dan Korea Selatan. Harga minyak Indonesia yang disubsidi memang tergolong murah, sehingga menjadi incaran di pasaran internasional. Di Brunei, Singapura, dan Malaysia, harga per liter premium mencapai Rp 1.600 hingga Rp 2.500, sementara di Indonesia hanya Rp 1.000. "Ada informasi bahwa Kapolsek setempat mengetahui penyelundupan tersebut," kata Ketua Komisi VII DPR, Irwan Prayitno, "tapi tidak berbuat apa pun." Polisi mengelak dari tuduhan bersikap pasif. Menurut Zainuri Lubis, polisi tidak bisa main tangkap begitu saja karena dalam beberapa kali pemeriksaan, kegiatan bongkar-muat itu dilengkapi dengan surat DO. Lebih dari itu, kata Zainuri, pihaknya selama ini tak pernah menerima laporan tentang adanya penyalahgunaan DO. DO atau delivery order adalah surat izin pembelian minyak yang dikeluarkan Pertamina kepada pabrik yang membutuhkan minyak dalam jumlah besar. Ini seperti surat jatah. Dalam surat itu tercantum seberapa banyak sebuah pabrik boleh membeli minyak dari depot Pertamina. Jatah tadi sesuai dengan kapasitas produksi pabrik yang bersangkutan, dan tidak boleh dijual ke pihak ketiga. Itu hanya teori. Dalam praktek, banyak pabrik memperoleh jatah lebih besar dari kapasitasnya dan menjual sisa minyaknya ke pihak ketiga, termasuk ke luar negeri. Sumber TEMPO di Pertamina mengungkapkan data yang mengindikasikan penyalahgunaan DO. Meski kebutuhan minyak pabrik-pabrik di dalam negeri merosot drastis karena krisis moneter, jumlah total jatah minyak yang dikeluarkan Pertamina relatif sama dengan sebelum krisis. Sebagai gambaran, ada 5.000 industri yang selama ini memperoleh DO dari Pertamina untuk wilayah Jabotabek saja. Setelah krisis, 50 persen industri itu tutup, tapi permintaan minyak ternyata hanya berkurang 5 persen. "Jumlah yang menguap itu besar kemungkinan diselundupkan ke Singapura dan Malaysia," kata sumber itu. Anggota DPR Irwan Prayitno curiga bahwa orang-dalam Pertamina terlibat dalam penjualan minyak bersubsidi itu ke luar negeri. "Pertamina-lah yang mengeluarkan DO. Mereka semestinya tahu ke mana perginya minyak itu," katanya. Penjualan minyak Indonesia—yang harganya murah karena disubsidi pemerintah—ke luar negeri adalah perbuatan ilegal. Para penyelundup itu memanfaatkan subsidi dan dana pemerintah untuk keuntungan pribadi mereka. "Untuk setiap liter solar, pemerintah memberi subsidi sebesar Rp 618," ujar Irwan Prayitno. Penyelundupan solar dari Cilincing ke luar negeri bisa mencapai 400 ribu liter per hari. Artinya, ada Rp 240 juta uang negara yang hilang setiap harinya. Dan itu baru lewat Cilincing. Dari berbagai lokasi, negara merugi miliaran rupiah setiap harinya. Polisi memang tak mungkin bekerja sendirian dalam menghukum para penyelundup. Pertama-tama, pihaknya harus memperoleh data awal tentang siapa yang patut dicuigai sebagai penyelundup—perusahaan yang punya jatah besar tapi tak ada kegiatan di pabriknya. Kedua, memeriksa DO saja tidak cukup karena dari situ polisi tak kan tahu ke mana minyak akan dikirim. Mereka harus mengirimkan satuan polisi perairan untuk mengetahui ada tidaknya bongkar-muat ke tanker internasional. Jadi? Saatnya untuk bekerja sama, bukan saling menyalahkan, jika penyelundupan ini dianggap penyakit serius dan harus dihentikan. Johan Budi S.P., Iwan Setiawan, Purwani Diyah Prabandari, Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus