Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka dibidik pasal 154 kuhp

Belasan mahasiswa ditahan polda metro jaya karena berdemonstrasi tanpa izin. mereka dianggap mengganggu ketertiban umum. dengan menamakan diri "komite mahasiswa penurunan tarif listrik" dari berbagai PT.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPAT berkumpul telah ditetapkan: di halaman Gedung KONI Pusat, Pintu I Senayan. "Berkumpul jam 9.30, Kamis 8 Juni 1989," begitu sebagian bunyi pesan yang beredar lewat selebaran fotokopi ke beberapa kampus itu. Maka, pagi itu, puluhan mahasiswa berdatangan dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan Bogor. Aksi demonstrasi kecil-kecilan itu pun digelar. Dari Pintu I Senayan, anak-anak muda -- yang menamakan diri Komite Mahasiswa Penurunan Tarif Listrik (KMPTL) -- itu bergerak menyusuri Jalan Sudirman, lalu berbelok kiri di Jembatan Semanggi, dan masuk ke Jalan Gatot Subroto. Mereka terus bergerak ke arah gedung DPR, sembari merentang poster dan spanduk yang menentang kenaikan tarif listrik itu. KMPTL sebelumnya telah beberapa kali berdemonstrasi, dan antara lain berhasil menemui Mensesneg Moerdiono. Demo mahasiswa Kamis pagi itu kontan menarik perhatian massa pemakai jalan. Para pengemudi kendaraan umum atau pribadi melambatkan laju mobilnya. Ada pula penumpang bis yang meloncat turun, untuk sejenak melihat demo itu dari dekat. Rombongan mahasiswa itu pun jadi tontonan. Maka, lalu lintas di jalur padat itu pun mulai tersedat. Sekitar 300 meter dari pintu gerbang gedung DPR, persis si samping Balai Sidang, sepasukan polisi menghadang. Kapolres Jakarta Pusat, Letkol. Pol. Noegroho Djajusman, mencoba membujuk agar anak-anak muda itu bubar. Tawaran itu kontan ditolak. Noegroho tak kehilangan akal. Serombongan bis wisata yang kebetulan lewat dicegat. Mereka diajak naik ke dalam bis untuk diantar ke DPR agar kemacetan terhindar. Kembali, tawaran itu ditampik. Noegroho masih belum menyerah. Dia datangkan bis ber-AC untuk mengantar sekitar 75 orang demonstran itu ke DPR, yang tinggal beberapa ratus langkah lagi. Tawaran tetap ditolak. Sementara itu, polisi menutup lalu lintas Jalan Gatot Subroto itu. Lalu pasukan Brimob datang membantu. Adegan berikutnya: anak-anak muda itu dengan paksa diangkut dengan truk ke Markas Polda Metro Jaya. Kapolda Metro Jaya, Mayjen. Pol. Poedy Syamsuddin, dalam siaran persnya, menilai aksi mahasiswa itu berlangsung kurang tertib. "Mengakibatkan terganggunya lalu lintas, dan dengan sendirinya mengganggu ketertiban umum," katanya. Lagi pula, tambah Poedy, anak-anak muda itu melakukan kesalahan prosedur: membuat aksi tanpa izin dari polisi, dan mendatangi pimpinan DPR tanpa pemberitahuan. Menjelang petang, menurut siaran itu, 16 orang mahasiswa datang ke Markas Polda. Kepada para petugas, anak-anak muda itu minta dipertemukan dengan 75 rekannya yang ada dalam tahanan. Ketika dilakukan pemeriksaan terhadap para "tamu" itu, polisi menemukan segepok kertas selebaran, yang judulnya seram "Senayan Berdarah 8 Juni 1989". Dua orang dari mereka langsung diamankan. Selebaran itu memang cenderung mendramatisasi keadaan. Insiden di siang hari itu digambarkan dengan kata-kata "Darah pun bersimbah. Jalanan memerah oleh percikan darah". Ngeri, kan? "Selebaran itu materinya memutarbalikkan fakta, mendiskreditkan ABRI, dan bersifat menghasut," kata Poedy. Selama pemeriksaan, menurut kabar, polisi sempat terheran-heran. Pasalnya, dalam tas para mahasiswa itu ditemukan pakaian, sikat gigi, odol, sabun, dan sejumlah uang. "Kami memang telah siap ditahan," begitu pengakuan seorang dari mereka kepada TEMPO. Setelah dilakukan pemeriksaan, esok harinya sebagian besar anak-anak muda itu dibebaskan. Hingga Senin pekan ini, 14 orang di antara mereka masih ditahan. Termasuk di antaranya pembawa selebaran seram itu. Guna pemeriksaan yang lebih intensif, polisi telah mengeluarkan surat penahanan untuk mereka. Kepada mereka, seperti tertulis dalam surat penahanan yang berlaku 20 hari itu, polisi menjatuhkan tuduhan melakukan tindak kejahatan terhadap ketertiban umum. Mereka dibidik dengan pasal 154 sub 160 KUHP, yang masing-masing memuat ancaman kurungan setinggi-tingginya tujuh tahun atau enam bulan. Sementara polisi mengambil ancang-ancang memperkarakan para mahasiswa itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersiap pula menolong anak-anak muda itu. "Mereka kena tuduhan berat, jadi harus didampingi pengacara," ujar Abdul Fikar Hadjar dari LBH Jakarta. Sebelum perkara naik ke meja hijau, LBH berniat mempraperadilankan polisi. Pasalnya, terhadap mahasiswa yang hanya "diinapkan" semalam karena tak terbukti bersalah itu, polisi menahan mereka sekitar 30 jam, enam jam melebihi batas yang diizinkan dalam KUHAP. "Kami telah menerima surat kuasanya," tambah Fikar. Aksi mahasiswa, pekan lalu, tidak hanya berlangsung di Jakarta, Sebelum insiden di Senayan, aksi unjuk rasa juga berlangsung di Yogyakarta dan Bandung. Berbeda dengan demo di Jakarta, anak-anak Yogya dan Bandung membuat aksi dengan tema internasional. Sekelompok mahasiswa Yogya, Rabu pekan lalu, melakukan aksi unjuk simpati kepada mahasiswa-mahasiswa Cina yang baru saja membuat aksi sejarah di Lapangan Tiananmen, Beijing. Anak-anak Yogya itu mengecam rezim Deng yang membubarkan demo dengan semburan pelor. Mereka lalu mengimbau Pemerintah menunda pencairan hubungan diplomatik dengan RRC. Sementara itu, Senin pekan lalu, sekelompok mahasiswa Bandung melakukan salat gaib untuk Ayatullah Khomeini. Sementara aksi di Jakarta diperiksa, Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) Mayor Jenderal Soedibjo menilai bahwa aksi mahasiswa di Bandung dan Yogya itu bebas dari tunggangan pihak mana pun. "Saya kira aksi itu masih merupakan bagian dari dinamika kelompok ilmiah yang tanggap terhadap lingkungannya," ujar Soedibjo kepada wartawan, seusai menghadap Wapres Sudharmono, di kantornya Medan Merdeka Selatan, Jumat pagi pekan lalu. Selama aksi-aksi unjuk rasa itu tidak menimbulkan ekses-ekses buruk, "Ya, kita catat dan kita dengar," ujar Kepala Bakin yang masih gres ini.Laporan Achmadie Thaha dan Ardian Taufik Gasuri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum