TAK ada ledakan. Tak ada pula yang naik pitam. Semua berlangsung biasa. Tak ada kesan bahwa masalah yang sedang dibicarakan hari itu suatu soal yang amat sulit. Malah sempat terlihat beberapa anggota DPR terkantuk-kantuk. Ruang Graha Karana di Gedung DPR Senayan, Jakarta, yang sejuk itu memang cukup merangsang kantuk. Padahal, Senin pagi lalu itu dimulailah sidang paripurna DPR untuk mendengarkan pemandangan umum fraksi-fraksi mengenai RUU (Rancangan Undang-Undang) Peradilan Agama (PA) yang disampaikan pemerintah ke DPR, 28 Januari yang lalu. Semula banyak yang memperkirakan debat di DPR mengenai RUU ini bakal ramai. Soalnya, sejak Februari silam RUU ini menjadi pembicaraan serius di kalangan politikus di dalam dan di luar DPR. DPP Golkar, sebagai pemilik fraksi terbesar di DPR, disibukkan dengan pertemuan-pertemuan intern untuk merumuskan pendapat terhadap RUU itu. Itu terjadi terutama setelah di luar beredar sebuah makalah intern yang disusun oleh kalangan yang kurang setuju pada eksistensi RUU itu. Mereka menuduh bahwa RUU yang menggunakan hukum Islam itu sebagai bentuk lain dari usaha merealisasikan "Piagam Jakarta". Isu itu kemudian dibantah oleh Presiden Soeharto. Sebelumnya, di luar DPR, muncul pula kekhawatiran dari sebagian masyarakat, khususnya dari kalangan non-Islam, bahwa RUU-PA itu akan mengurangi hak-hak mereka. Tapi itulah, seperti dikatakan R.M. Purba, juru bicara F-ABRI di rapat pleno DPR ndi, "Dialog yang telah terjadi, yang mengangkat substansi permasalahan yang cukup peka, tidak menimbulkan gejala terganggunya ketenangan kehidupan bermasyarakat. Itu pertanda semakin dewasanya kehidupan berpolitik di Indonesia." RUU ini antara lain mengatur kedudukan dan wewenang peradilan agama dalam mengadili perkara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan dan segala akibatnya, kewarisan, wasiat, wakaf, sedekah, dan hibah, menurut hukum Islam. Ternyata, dari pemandangan umum yang disampaikan keempat fraksi hari itu, tak satu fraksi pun yang menyatakan menolak RUU itu. F-ABRI, misalnya, menganggapnya sebagai penjabaran UU Nomor 14/1970 -- antara lain menyebutkan adanya empat peradilan di Indonesia: peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara -- dan menilai RUU-PA merupakan suatu kebutuhan yang tak dapat lagi ditunda-tunda. Dalam keterangan pers seusai sidang DPR itu, Ketua F-ABRI Soebijono mengatakan bahwa waktu yang dipilih pemerintah untuk menyampaikan RUU itu cukup tepat, ketika masyarakat Indonesia dalam suasana kerukunan beragama yang baik. "Jika pembahasannya ditunda, maka waktunya akan berdekatan dengan pemilu, dan masalah PA bisa diperpolitisir oleh segolongan orang untuk kepentingan pemilu. Itu bisa menyebabkan perpecahan bangsa." Soebijono juga menyatakan, kekhawatiran bahwa RUU itu punya hubungan dengan Piagam Jakarta kurang pada tempatnya. Fraksi ABRI sama sekali tak melihat hal itu di dalam RUU-PA. "Jangankan sudah benar-benar ada penerapan Piagam Jakarta, kalau kita ketahui gejalanya saja, F-ABRI akan segera mengambil tindakan," katanya. Untuk itu pula F-ABRI mengusulkan agar bukan saja hakim, seperti yang disebutkan RUU, tapi panitera, juru sita, dan pegawai lainnya di lingkungan PA juga harus diwajibkan tidak terlibat organisasi terlarang. "Kata-kata tidak terlibat PKI kurang cukup, perlu ditambah tidak terlibat organisasi terlarang, baik ekstrem kiri maupun ekstrem kanan," ujar Sundoro Syamsuri, juru bicara F-ABRI, kepada wartawan di luar sidang. Selain itu, F-ABRI memberikan berbagai saran serta pertanyaan yang pada pokoknya untuk lebih menyempurnakan RUU. F-KP tampaknya sudah menyelesaikan perbedaan pendapat secara intern. Maka, dalam pemandangan umum yang disampaikan A. Moestahid Astari, mereka menyatakan terima kasihnya pada pemerintah, yang telah menyusun RUU yang sesuai dengan kehendak UU Nomor 14/1970 itu. Moestahid hanya mengajukan sembilan point yang ditemukan fraksinya, yang masih memerlukan penjelasan. Misalnya, fraksi ini mempertanyakan mengapa wakil sekretaris dan juru sita pengganti harus beragama Islam. Sedang soal hakim yang ditegaskan RUU ini harus beragama Islam tak lagi dipersoalkan F-KP. Dipertanyakan pula masalah Li'an sebagai salah satu syarat perceraian yang masih tercantum di RUU. Padahal, syarat-syarat perceraian sudah diatur di UU Perkawinan 1974. Pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendasar datang dari F-PDI. Fraksi ini, melalui juru bicaranya Budi Hardiono, misalnya, masih meminta penjelasan yang lebih tuntas dari pemerintah, untuk menjawab pertanyaan di sementara kalangan masyarakat tentang kemungkinan adanya kecenderungan RUU tersebut dengan Piagam Jakarta. Fraksi ini mempertanyakan pula eksistensi hukum adat dengan adanya RUU-PA, kemudian meminta jaminan yang lebih tegas bahwa RUU ini diberlakukan kepada orang Islam secara sukarela. Artinya, seorang Islam diperkenankan menyelesaikan perkara kewarisan di peradilan umum. Belum jelas juga bagi F-PDI, langkah-langkah apa yang akan diambil pemerintah untuk mencegah timbulnya masalah politis psikologis dengan berlakunya kelak undang-undang yang hanya untuk golongan tertentu itu. Fraksi kepala banteng ini mengusulkan pula, demi menegakkan kemandirian dan kebebasan lembaga peradilan, wewenang tertentu yang diberikan RUU itu pada Menteri Agama perlu dialihkan ke Mahkamah Agung. F-PP dengan tegas mendukung RUU-PA. Fraksi ini memaparkan sejarah, bahwa sebenarnya PA sudah ada di Indonesia sebelum kedatangan Belanda. Kewenangan PA kemudian disunat -- misalnya tak boleh menyelesaikan kewarisan -- sebagai hasil teori receptie yang dijalankan Snouck Hurgronye yang pada dasarnya bertujuan menghalangi umat Islam menjalankan ajaran agamanya. Menteri Agama Munawir Sjadzali, yang didampingi Menteri Kehakiman Ismail Saleh, tampak santai mengikuti acara itu. "Kolonial Belanda dengan divide et impera toh mengakui eksistensi Peradilan Agama, sekalipun dibatasi di sana-sini. Masa, kita masih memberlakukan hukum yang berbeda-beda untuk umat Islam?" katanya.Amran Nasution, Ahmadie Thaha, Rustam F. Mandayun, Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini