Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

22 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komite Etik KPK Periksa Anas

Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Selasa pekan lalu. Selama sekitar dua jam, Anas ditanyai seputar tuduhan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. "Sudah saya jawab semua," kata Anas.

Dalam pemeriksaan itu, Anas mengaku pernah bertemu dengan Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah. Tapi Anas tak menjelaskan kapan dan di mana pertemuan berlangsung. Anas membantah tudingan pertemuan itu membahas rencana menyetop pengusutan korupsi terhadap petinggi Demokrat, kecuali terhadap Nazaruddin. "Tak ada pelanggaran etika berkaitan dengan komunikasi," kata Anas.

KPK membentuk Komite Etik untuk mengusut dugaan pelanggaran etika oleh petinggi dan staf KPK. Pengusutan bermula dari pengakuan Nazaruddin ketika masih dalam pelarian di luar negeri bahwa Anas dan Chandra sepakat pengusutan kasus korupsi wisma atlet SEA Games di elite Demokrat hanya dilakukan terhadap Nazaruddin.

Ketua Divisi Hukum Partai Demokrat Denny Kailimang, yang mendampingi Anas, juga mengatakan Anas pernah bertemu dengan pemimpin KPK. Tapi itu terjadi pada 2007.

Mantan Direktur Merpati Jadi Tersangka

Kejaksaan Agung menetapkan dua tersangka dalam kasus penyewaan pesawat oleh PT Merpati Nusantara Airlines. Mereka adalah bekas Direktur Utama PT Merpati Hotasi Nababan dan Direktur Keuangan Guntur Aradea. "Keduanya diduga terlibat dalam proses penyewaan dua pesawat Merpati," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rachmad, Rabu pekan lalu.

Noor menolak menjelaskan keterlibatan langsung keduanya sehingga ditetapkan sebagai tersangka. PT Merpati melakukan perjanjian penyewaan dua pesawat dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group Inc (TALG) pada 19 Desember 2006. Perusahaan penyewaan asal Amerika Serikat itu rencananya menyiapkan dua pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 untuk Merpati.

Pada 21 Desember 2006, Merpati mengirim US$ 1 juta atau setara dengan Rp 9 miliar ke TALG sebagai jaminan atau security deposit penyewaan. Namun, hingga tenggat yang disepakati, yakni Januari 2007, pesawat yang dipesan tak kunjung datang. Walhasil, kejaksaan menjadikan duit penyewaan US$ 1 juta itu sebagai jumlah dugaan kerugian negara.

21 Koruptor Bebas

Sebanyak 21 terpidana korupsi menghirup udara bebas Rabu pekan lalu. Mereka merupakan bagian dari 444 terpidana korupsi yang mendapat keringanan hukuman berkaitan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pemberian remisi untuk terpidana terbagi dalam dua kategori. Pertama, remisi umum 1, yakni pengurangan masa hukuman. Dalam remisi ini, terpidana masih menjalani sisa hukuman. Kedua, remisi umum 2, yang terpidananya langsung bebas.

Direktur Informasi dan Komunikasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Murdiyanto tidak menyebutkan daftar nama terpidana korupsi itu. "Saya tidak hafal nama-nama mereka," katanya. Saat ini ada 1.008 terpidana korupsi yang sedang menjalani hukuman.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera, Muhammad Misbakhun, termasuk yang bebas. Ia terpidana kasus pemalsuan dokumen pencairan kredit Bank Century senilai US$ 22,5 juta. "Ya, benar, karena memang itu haknya," kata Kepala Lembaga Pemasyarakatan Salemba Yusfahrudin.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Makassar Abdul Muttalib menganggap pemberian remisi kepada koruptor tidak pantas. "Tak perlu ada remisi," katanya. "Biarkan mereka menjalani hukuman sampai waktu yang ditentukan."

Malaysia Tahan 9 Nelayan RI

Pemerintah Malaysia menahan sembilan nelayan Indonesia asal Dusun Dua, Pulau Sebaji, Pantai Labu, Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Senin pekan lalu. Mereka dituduh telah memasuki perairan negeri itu tanpa izin.

Fajar Tri Rohadi, Liaison Officer Laut Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Penang, menyatakan sudah menemui para nelayan pada hari pertama mereka ditangkap. Konsulat juga berencana mengajukan permohonan pembebasan. "Secara lisan sudah saya sampaikan, tapi secara tertulis baru akan dikirim hari ini," kata Fajar, Kamis pekan lalu.

Pemerintah Malaysia menyatakan para nelayan dianggap telah memasuki 19 mil perairan Lumut, Perak, Malaysia. Tapi, menurut Fajar, para nelayan mengaku tak tahu sudah memasuki perairan Malaysia. "Alat yang mereka gunakan kurang mendukung karena hanya kompas kecil," katanya.

Para nelayan tersebut, Fajar melanjutkan, menggunakan dua kapal kecil. Mereka menumpang kapal tanpa nama berukuran 12 x 2,5 meter. Di Jakarta, Kementerian Luar Negeri mengatakan pemerintah telah mengirim pendamping bagi para nelayan itu pada 16 Agustus, sehari setelah mereka ditangkap. "Kami tengah mengkaji apakah mereka memang melanggar batas atau tidak," ujar Michael Tene, juru bicara Kementerian.

Penembakan 17 Agustus di Papua

Penembakan terjadi di tiga tempat di Papua pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, Rabu pekan lalu. Baku tembak pertama terjadi antara anggota TNI/Polri dan kelompok yang dipimpin John Yogi di Kabupaten Dogiyai. Kontak senjata terjadi sejak pukul 01.00 hingga 08.00 waktu setempat.

"Satu orang dari kelompok separatis tewas tertembak, dua polisi terluka, dan seorang tukang ojek terkena panah di tangannya," kata komandan pergeseran pasukan Kepolisian Sektor Kammu, Moenamani, Kabupaten Dogiyai, Inspektur Satu Bram Mauri. Identitas korban tewas belum diketahui.

Di dekat Kota Mulia, Puncak Jaya, penembakan juga terjadi pada pukul 08.00 waktu setempat. Disebutkan ada anggota TNI yang tewas tertembak. Namun Panglima Kodam VII Cenderawasih Mayor Jenderal Erfi Triassunu membantah hal itu.

Erfi hanya memastikan penembakan itu bertujuan mengganggu jalannya peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Namun pelaksanaan upacara 17 Agustus di sana, menurut Erfi, berjalan sukses.

Serangan juga terjadi saat upacara 17 Agustus berlangsung di Enarotali, Kabupaten Paniai. "Ketika bendera sudah naik dan talinya diikat di tiang, suara tembakan terdengar dari arah gunung," kata Bupati Paniai Naftali Yogi.

Kepala Keamanan Ahmadiyah Divonis 6 Bulan

Majelis hakim Pengadilan Negeri Serang, Banten, menjatuhkan vonis enam bulan penjara kepada kepala keamanan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Deden Sudjana. Hakim menilai Deden terbukti melakukan penganiayaan terhadap saksi Idris alias Idis.

"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melawan pejabat hukum dan melakukan penganiayaan," kata ketua majelis hakim Sumartono ketika membacakan putusan Senin pekan lalu. Putusan ini lebih ringan tiga bulan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum.

Dalam putusannya, hakim mengatakan Deden memimpin rombongan anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia datang ke Kampung Peundeuy, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, pada 6 Februari 2011. Rombongan ini berangkat dari Bekasi pada 5 Februari menggunakan dua mobil.

Deden juga diketahui sempat berhenti di Kota Serang untuk menjemput anggota Ahmadiyah yang berasal dari Bogor dan Serang. Mereka membawa tiga tombak, satu karung batu, katapel, dan golok.

Menanggapi putusan itu, Deden menyatakan pikir-pikir. "Saya kan korban, tapi kenapa saya yang malah dihukum?" kata Deden.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus