TAK ada yang berjubah, sementara topi putih, pakaian khas para haji yang baru pulang dari Mekah, menyembul jarang dari 500 peserta Muktamar I Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI), di Jakarta, 20-22 Maret lalu. Sebagian mereka berjas, lengkap dengan dasinya. Inilah muktamar kaum "mampu", yang disarankan oleh hampir semua pejabat pemerintah dalam sambutannya, agar menggalang dana. "Saya yakin, dengan itu Saudara bisa usul SDSB dihapuskan," kata Menteri Rudini. Dalam catatan, ada sejuta haji di Indonesia, sejak 1970. Jika mereka membayar infak bulanan Rp 10.000, setahun terkumpul Rp 120 milyar. Keputusan terpenting muktamar adalah kesepakatan membentuk Badan Koordinasi (Bakor) IPHI Pusat. Semula, beberapa utusan organisasi persaudaraan haji (orpeha) mengusulkan agar Jaksa Agung Sukarton dan Dirjen Bimas Islam & Urusan Haji Andy Lolo Tonang menjadi ketua. Akhirnya, terpilih dr. H. Sulastomo, 53 tahun, menjadi Ketua Umum Bakor IPHI. Cikal-bakal organisasi ini terbentuk pada 22 Juni 1952. Ketika itu, 31 warga Bantul, Yogyakarta, yang sedang berhaji ke Mekah dalam bimbingan K.H. Mathori Al-Huda berinisiatif membentuk Persaudaraan Djamaah Hadji Indonesia. Kegiatannya padat di Pondok Pesantren Ibnul Qayyim dan Gedung Sasonoworo, alun-alun Yogya. Dana pun mengalir, hingga berdiri Rumah Sakit "Syuhada Haji" di Blitar, Jawa Timur -- sekaligus jadi tugu musibah kecelakaan pesawat terbang haji di Kolombo, 1975. Keberhasilan itu rupanya ditoleh kaum bersurban lainnya. Lalu berdiri ratusan organisasi serupa di banyak daerah Indonesia, dengan ragam nama. Misalnya Wihdatul Hujjaj (Bogor), Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (Medan), Yayasan Persaudaraan Haji (Madiun), Yayasan Persaudaraan Haji Kloter 1978-80 (Surabaya), dan Serikat Haji Wanita (Riau). Mereka menata diri, melalui pertemuan persaudaraan haji I, yang dihadiri utusan dari 12 provinsi, Agustus 1982, di Jakarta. Kemudian orpehanya merebak ke seluruh provinsi. Mereka bertemu lagi kedua kalinya, Desember 1985, melahirkan piagam pembentukan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). Inilah satu-satunya wadah para haji, sesuai dengan UU 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tapi kegiatan orpeha daerah yang belum terpusat itu sudah nyata. "Kami membuat kuburan Islam," laporan H. Mumun H.S., utusan orpeha Irian Jaya. Iuran Rp 5 ribu-10 ribu dari 2.500 anggotanya disalurkan ke korban bencana alam atau yatim piatu. Sisanya disimpan di bank, untuk kegiatannya bersama Majelis Dakwah Islamiyah (MDI). Orpeha Maluku juga bekerja sama dengan GUPPI, MDI, dan Al-Hidayah, beberapa organisasi yang dekat dengan Golkar. Tapi orpeha lainnya yang independen mendirikan Sekolah Tinggi Pertanian di Lampung. Sedangkan orpeha Jawa Tengah membangun 18 masjid, 2 rumah bersalin, dan 5 rumah sakit. Contoh lain: orpeha Sumatera Utara membangun rumah sakit seharga Rp 6 milyar. Sementara para haji Tasikmalaya membeli dua gedung bioskop untuk dijadikan gedung dakwah. Lain lagi orpeha Jawa Timur, mereka memberi beasiswa dan membangun asrama mahasiswa murah. Dana Rp 10 ribu per bulan dari jemaah, akan dibuatkan bank perkreditan rakyat. "Haji itu berkorban, seperti Nabi Ibrahim menyembelih anaknya," kata Dr. Kabat, ketua orpeha Surabaya. Sulastomo, bekas Ketua Umum HMI, punya harapan seperti Wakil Presiden Sudharmono: IPHI tetap sebagai organisasi amal kebajikan, dan tidak berorientasi pada kelompok tertentu. AT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini