Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Muncul Kembali Lewat Koperasi

Inkoperindo (Induk Koperasi Pekerja Indonesia) yang didirikan tokoh tersingkir agus Sudono dianggap menyaingi SPSI. Imam Soedarwo menolak kehadiran koperasi tersebut. Sulit digugat karena punya dasar hukum.(nas)

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURAT peringatan itu ditandatangani oleh Ketua Umum SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) Imam Soedarwo. Ditujukan kepada DPD SPSI dan Puskobin (Pusat Koperasi Buruh Indonesia) seluruh Indonesia, isinya menegaskan, "Tidak bisa menerima kehadiran dan aktivitas apa yang dinamakan Inkoperindo di lingkungan SPSI." Inkoperindo adalah Induk Koperasi Pekerja Indonesia. Pembentukan Inkoperindo, menurut surat tersebut, di luar pengetahuan dan tanggung jawab DPP SPSI. Tindakan personil DPD SPSI dan Puskobin yang melibatkan diri dalam usaha pembentukan Inkoperindo yang diketuai Agus Sudono, tanpa konsultasi dengan induk organisasi, "jelas tidak sejalan dengan garis kebijaksanaan SPSI dan Puskobin". Surat tertanggal 10 Februari -- tapi baru diedarkan dua pekan silam -- itu menginstruksikan agar SPSI seluruh Indonesia meneliti keterlibatan personil SPSI dan Puskobin, serta mengambil langkah-langkah penegakan disiplin organisasi. "Bentrokan" antara SPSI dan Inkoperindo memang sulit dielakkan. Yang menarik, ada kesan tabrakan itu terjadi antara Ketua Umum SPSI Imam Soedarwo dengan Ketua Umum Inkoperindo Agus Sudono, bekas Ketua Umum FBSI (nama lama SPSI) yang dalam Kongres Nasional II FBSI awal Desember lalu digantikan Imam Soedarwo. Meski tergusur dari kepemimpinan SPSI, Agus Sudono, yang telah 30 tahunan menjadi tokoh buruh ini, rupa-rupanya masih mempunyai banyak pendukung. Dalam rapat kerja nasional antarpusat koperasi pekerja Indonesia di Sukabumi, 13-15 Januari silam, lahir kesepakatan untuk membentuk Inkoperindo. Dalam kepengurusan yang kemudian terbentuk, Agus Sudono secara aklamasi terpilih sebagai ketua umum. Banyak hal seputar Inkoperindo yang tampaknya menjengkelkan SPSI. Puskobin selama ini dianggap sebagai "milik" SPSI. Menurut M. Sinungunan, Ketua Bidang Sosial Ekonomi DPP SPSI, Puskobin yang dibentuk pada 1976 merupakan koperasi para pekerja yang berkaitan langsung dengan organisasi SPSI yang ada di tiap perusahaan. Banyak pimpinan SPSI atau basis yang aktif dalam Puskobin. "Tetapi anggota serikat pekerja dan anggota koperasi pada dasarnya sama," kata Sinungunan. Jumlah koperasi primer di bawah Puskobin di seluruh Indonesia saat ini, menurut Sinungunan, sekitar 400 yang sudah berbentuk badan hukum, dan sekitar 2 ribu yang belum. DPP SPSI sebetulnya sedang menyiapkan pembentukan induk koperasi buat koperasi-koperasi primer ini pada Maret ini "tapi karena sudah didahului Inkoperindo otomatis kami membatalkan pembentukan itu, karena tidak mungkin ada dua induk," ujar Sinungunan. Yang menggusarkan SPSI adalah keterlibatan begitu banyak tokoh SPSI di daerah pada pembentukan Inkoperindo, hingga timbul kesan mereka tetap mendukung Agus Sudono. Lebih lagi, mereka tidak memberi tahu rencana pembentukan Inkoperindo itu pada DPP SPSI. "Itu jelas menunjukkan kecenderungan untuk memisahkan lingkungan koperasi dari ruang lingkup organisasi SPSI," kata Sinungunan. Padahal, menurut dia, koperasi pekerja itu koperasi fungsional, yang tidak bisa melepaskan diri dari induk organisasi, seperti Inkopad dari Mabes TNI-AD. Karena itu, SPSI, lewat surat tertanggal 10 Februari itu, mengancam pengurus SPSI dan Puskobin yang aktif dalam Inkoperindo. "Bila mereka tetap ikut kebijaksanaan Inkoperindo, mereka akan dipersilakan mundur," ujar Sinungunan. Apakah ancaman tersebut akan memberi hasil, masih harus ditunggu. Sebab, Inkoperindo tampaknya sulit diganggu gugat karena dasar hukumnya kuat. Hanya dua pekan setelah terbentuk, pada 29 Januari lalu Inkoperindo diakui sebagai badan hukum oleh Departemen Koperasi. SPSI agaknya juga sulit untuk mencampuri Inkoperindo. Menurut UU Nomor 12/1967, organisasi koperasi harus berdiri mandiri. Berdasar keputusan bersama Menteri Koperasi dan Menteri Tenaga Kerja pada 1983, koperasi karyawan merupakan organisasi yang mandiri dan tidak bernaung atau bertanggung jawab kepada perusahaan atau serikat buruh perusahaan yang bersangkutan. Apalagi pembentukan Inkoperindo tampaknya direstui Departemen Koperasi. Pada saat pembentukannya, hadir sejumlah pejabat Departemen Koperasi, sedang Dirjen Bina Lembaga Koperasi memberikan pengarahan yang dibacakan Direktur Bina Organisasi Koperasi. Mayoritas Puskobin rupanya juga mendukung Inkoperindo. Menurut Saiful D.P., Sekretaris II Inkoperindo, saat ini anggota Inkoperindo berjumlah lebih dari 4 juta orang. "Tahun ini jumlah koperasi primer yang menjadi anggota diharapkan bertambah sekitar 3 ribu lagi," katanya. Agus Sudono, yang saat ini berada di Jenewa, Swiss, lewat telepon menjelaskan upaya mendirikan koperasi pekerja tingkat nasional, antara 1980 dan 1985 tidak berhasil karena waktu itu tidak ada tenaga khusus yang mengurus, di samping pengurus FBSI tidak bisa merangkap. Pada 30 Desember 1985, Agus menghadap Presiden Soeharto. "Petunjuk Presiden waktu itu, untuk membentuk koperasi pekerja ini sebaiknya menemui Menteri Koperasi," ujar Agus. Ia kemudian menemui Menteri Koperasi Bustanil Arifin. "Menurut Pak Bustanil, kalau saya sudah tidak di FBSI, sebaiknya membantu koperasi," kata Agus. Dengan "restu"itulah kemudian Inkoperindo lahir. Agus membantah lahirnya Inkoperindo untuk menyaingi SPSI, karena bidang kerjanya lain. SPSI menitikberatkan pada usaha menaikkan jumlah upah pekerja, sedang koperasi untuk meningkatkan daya beli mereka. "Serikat mengurusi perundang-undangannya, sedangkan koperasi mengurusi bidang ekonominya. Jadi, tidak benar kalau kita bersaing. Yang tepat, kita berlomba dalam kebajikan." Tentang adanya peringatan SPSI, Agus merasa heran. "Bagaimana SPSI bisa memperingatkan, wong secara organisatoris tidak ada hubungannya?" Ribut-ribut ini tampaknya bisa berkepanjangan. Kabarnya Menaker Sudomo kurang gembira dengan lahirnya Inkoperindo, terutama karena memakai istilah pekerja dan bukannya karyawan. Susanto Pudjomartono Laporan Moebanoe Moera, A. Luqman & Indrayati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus