Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Nasib keppres di kaca piring

Wali kota bandung ateng wahyudi diperintahkan Depdagri menggusur sejumlah bangunan. karena tak punya IBM (Izin Mendirikan Bangunan). ganti rugi tanah tak layak. gugatan penduduk ditolak pengadilan.

11 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AREAL seluas 4.500 meter persegi itu sudah rata dengan tanah. Senin pekan lalu, dengan dikawal belasan petugas Kota Madya Bandung, sebuah buldozer menyeruduk rumah-rumah beton yang ada di situ. "Hati saya sebenarnya tak tega. Mereka itu kan rakyat saya juga. Tapi karena ini sudah instruksi Pemerintah Pusat, apa boleh buat, apa pun yang terjadi di lapangan harus saya tempuh," kata Wali Kota Bandung Ateng Wahyudi. Ia mengaku mendapat perintah mengosongkan areal itu dari Depdagri, 4 Februari 1989. Sebelumnya, di sini ada 41 rumah penduduk. Tapi 7 Oktober 1987, dengan alasan bahwa bangunan itu tak memiliki IMB (Izin Mendirikan Bangunan), Pemda mulai menggusur rumah-rumah itu. Selain, menurut rencana induk tata kota, kawasan itu sendiri adalah untuk kawasan perdagangan -- bukan permukiman. Penggusuran 7 Oktober dua tahun yang lalu, memang tak mulus. Sejumlah rumah berhasil dirobohkan. Karena keributan, penggusuran dihentikan. Pemda pun mengadakan pendekatan, ganti rugi tanah yang semula cuma Rp 60.000 per m2, misalnya, dinaikkan jadi Rp 120.000. Namun, sebagian penduduk tetap bertahan dan kemudian menggugat Pemda di pengadilan. "Tapi yang sampai kini bertahan kan cuma 8 KK," ujar Nooryakin, Kepala Humas Pemda Bandung. Tapi kasus tanah ini cukup unik, selain kisahnya cukup panjang. Coba, perkara masih dalam proses pengadilan, tiba-tiba Wali Kota Bandung, atas perintah Depdagri tadi, menggusur rumah di situ. Wali Kota Ateng Wahyudi memang punya jawaban, "Eksekusi itu tak ada kaitan dengan keputusan pengadilan. Tapi karena mereka tak punya IMB," katanya. Kisah bermula sekitar 1941. Ketika itu Liem Kwat Tiong membeli tanah itu seharga 2.700 gulden dari Pemerintah Kota (Stadsgemeente) Bandung. Tapi tanah itu tak pernah diusahakan oleh Liem. Pada 1952 sejumlah bekas pejuang menempati tanah kosong itu. Pada 31 Desember 1981 Pemda memberikan sertifikat hak milik tanah itu kepada lima ahli waris Liem: Nyonya Liem Kwi Hwa Nio, Liem Hin Liem, Nyonya Liem Kwi Lian, Liem Hin Hok, dan Liem Beng Tjoe. Dasarnya, karena dulu tanah itu sudah dibeli Liem Kwat Tiong dari Belanda. Sesuai dengan rencana tata kota, maka para ahli waris ini akan membangun pasar swalayan di areal itu. Karena tanah sudah berpenghuni, maka Pemda meminta penduduk untuk mengosongkannya. Setelah itu penduduk mengirimkan laporan ke Menpan dan Kejaksaan Agung. Di sini ada berita menarik. Menurut suraf Menpan Sarwono Kusumaatmadja, 6 Juni 1988, jual beli antara Liem dan Pemerintah Belanda dulu tak mempunyai kekuatan hukum karena -- setelah diteliti -- jual beli itu sudah batal. Kejaksaan Agung, dengan surat tanggal 15 Agustus 1988, menyebutkan bahwa pemberian sertifikat hak milik atas ahli waris Liem Kwat Tong itu memiliki cacat hukum. Begini: Keputusan Presiden Nomor 32/1979 melarang pemindahkan hak atas semua tanah hak Barat yang berakhir 4 September 1980. Artinya, menurut surat Kejaksaan Agung itu, pemberian sertifikat kepada kelima ahli waris tadi adalah bertentangan dengan Keppres, dan penduduk yang kini mendiami tanah itu mestinya diprioritaskan untuk memperoleh sertifikat. "Saya prihatin melihat kasus hukum semacam ini," kata Humas Kejaksaan Agung Soeprijadi. Memang penduduk menggugat Wali Kota Bandung beserta kelima ahli waris tadi di pengadilan. Tapi, 23 Juni 1988, gugatan itu ditolak Pengadilan Negeri Bandung. Melalui Bambang Sulistomo, kuasa hukum mereka, penduduk naik banding. Tentu, Bambang Sulistomo amat kecewa pada penggusuran itu. Maka sebagai protes, mulai Selasa pekan lalu putra Bung Tomo "arek-arek Surabaya" ini melakukan puasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus