Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah separuh jadi itu agak tersembunyi dari jalan desa. Terletak di Lorong I, Desa Pelanggahan, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh, rumah kosong ini kontras dengan rumah lain di sekelilingnya. Rumput liar merambati besi-besi tiang beton. Dinding batanya kelihatan telanjang, belum lagi sempat dilapis semen. Kayu kusen dan pintunya kering-kerontang didera panas.
Rumah dengan rumput liar itu adalah satu dari 1.409 rumah produksi Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias yang menurut audit Badan Pengawas Keuangan (BPK) ”bermasalah” karena tak laik huni. Dibangun dengan anggaran periode 2005, rumah tak layak pakai ini tersebar di lima wilayah. Di Banda Aceh sebanyak 646 unit, Aceh Besar 574 unit, Aceh Selatan 73 unit, Aceh Barat 66 unit, dan Nagan Raya 50 unit,
Sebagian penduduk korban tsunami terpaksa merogoh kantong sendiri untuk membuat rumahnya pantas dihuni. Fakhri, yang tinggal sekitar 100 meter dari rumah yang ditumbuhi rumput liar tadi, adalah salah satunya. Ia melengkapi rumahnya dengan menambah lantai, loteng, sekat kamar dan mengecat seluruh bangunan. ”Kontraktor yang dulu membangun rumah ini lari,” katanya.
Kontraktor yang minggat hanya salah satu dari masalah yang dihadapi BRR dalam membangun rumah bagi korban tsunami. Akibatnya, target membangun 78 ribu sampai Desember 2006—dari 128 ribu rumah yang mesti selesai pada 2009—gagal dicapai. Sampai akhir 2006 hanya 57 ribu rumah yang bisa dibangun. Entah berhubungan dengan perkara ini atau tidak, pada 17 Januari lalu, Deputi Perumahan dan Pemukiman BRR Andy Siswanto mengundurkan diri.
Gerakan Anti Korupsi Aceh (GERAK) menganggap Andy mundur karena gagal memenuhi target. Selain soal target, kualitas bangunan juga jadi buah mulut karena jauh di bawah spesifikasi yang dituntut. ”Ada yang tanpa kakus, dinding retak-retak, kayunya berkualitas rendah,” kata Khalik Saing, pemimpin proyek penelitian pembangunan rumah GERAK.
Apa betul itu salah Andy? Ketika ditemui, Andy tak bersedia bicara karena terikat komitmen dengan BRR. Direktur Prakarsa Pembangunan Partisipatif BRR, Kamal Farza, menyatakan Andy tak bersalah. Mantan atasannya itu belum lagi masuk BRR ketika 1.409 rumah bermasalah itu dibangun. Andy baru masuk pada Januari 2006. Justru Andy membuat sejumlah perbaikan konsep dan melibatkan masyarakat. ”Setiap rumah yang dibangun tahun 2006 sudah punya sumur sendiri,” kata Kamal.
Andy boleh jadi konseptor ulung. Lulusan Universitas Gadjah Mada 1981 ini pernah menempuh studi pengembangan tata kota di Amerika dan Inggris, hingga mendapat gelar doktor dari Architectural Association School of Architecture di Inggris. Tapi tekanan yang dihadapi Ketua BRR Koentoro Mangkusubroto untuk membangun rumah secepat-cepatnya rupanya membuat kerja Andy dirasakan lamban. ”Yang dibutuhkan orang yang bisa membangun cepat,” kata seorang bekas Deputi BRR. Pada evaluasi 2006, Koentoro meminta Andy pindah menjadi Deputi Pembangunan Perkotaan, sesuai dengan keahliannya. Menolak digeser, Andy memilih mundur.
Ada yang menghubungkan mundurnya Andy dengan penolakannya terhadap gagasan menyerahkan pembangunan rumah pada enam wilayah di Aceh yang sudah berjalan sejak Juli 2006. Dalam soal ini dia tak sepaham dengan Koentoro. Sayang, Koentoro tak menjawab pesan pendek Tempo yang meminta konfirmasinya.
Alhasil, kini posisi Andy digantikan Bambang Sudiatmo, bekas Direktur Perumahan pada 2005, saat 1.409 rumah bermasalah tadi dibangun. Pejabat baru ini mengatakan akan memanggil para kontraktor ”nakal” untuk meneruskan rumah yang terbengkalai agar sesuai dengan spesifikasi kontrak. Itu untuk rumah yang dibangun pada 2005. Rehabilitasi juga dilakukan untuk rumah yang dibangun pada 2006 karena, kata Bambang, ”Banyak juga yang tak sesuai dengan spesifikasi.”
Membangun rumah supercepat dan layak huni ternyata tak gampang.
Kurie Suditomo, Adi Warsidi (Banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo