Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Naskah Akademik Kepres Serangan Umum 1 Maret Dirilis, Peran Soeharto Disebut

Naskah akademik tersebut berjumlah 138 halaman, nama Soeharto tertulis sebanyak 48 kali sepanjang total halaman tersebut.

7 Maret 2022 | 16.17 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden ke-2 Soeharto. TEMPO/Gunawan Wicaksono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah merilis ke publik naskah akademik yang menjadi dasar kajian terbitnya Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md berharap publik bisa membaca naskah akademik tersebut dan memahami pertimbangan ihwal tidak adanya nama Soeharto dalam Kepres Serangan Umum 1 Maret.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"NA bisa dilihat di website Pemda DIY, website Kemendagri, dan website Polhukam," cuitnya di akun twitter @mohmahfudmd.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempo membuka naskah akademik yang dirilis di laman resmi Kemendagri. Setidaknya ada 30 buku yang dipakai sebagai rujukan tinjauan historiografi Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam buku-buku itu tercantum peran sentral sejumlah tokoh dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret, salah satunya Soeharto sebagai Komandan Wehrkreise III saat itu. Naskah akademik tersebut berjumlah 138 halaman, nama Soeharto tertulis sebanyak 48 kali sepanjang total halaman tersebut.

Dalam Kepres Nomor 2 Tahun 2022, nama Soeharto memang tidak disebut. Kepres itu menyatakan bahwa Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan didukung oleh Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya. Serangan itu merupakan bagian penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia.

Menurut Mahfud Md, tidak adanya nama Soeharto secara spesifik ditulis dalam Kepres bukan berarti menghilangkan peran Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Terpenting, ujar dia, peran Soeharto sudah dijelaskan dalam naskah akademik. "Ini sama dengan naskah Proklamasi 1945, hanya menyebut Soekarno-Hatta dari puluhan founding fathers lainnya," ujar Mahfud.

Dalam buku naskah akademik itu dijelaskan, kajian akademis yang baru tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 ini telah diseminarkan pada lingkup daerah dan lingkup nasional dalam berbagai seminar lokal dan nasional yang melibatkan para pakar sejarah dari berbagai universitas di Indonesia.

Mereka antara lain: Dr. Sri Margana, M.Phil (UGM); Julianto Ibrahim, M.Hum (UGM); Prof. Dr. Nina Herlina Lubis (UNPAD); Prof. Dr. Gusti Asnan, M.A. (UNAND); Dr. Suryadi Mapangara, M.Hum (UNHAS); Dr. Abdul Syukur, M.A. (UNJ); Dr. Hilmar Farid (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Pusat); Prof. Dr. Mahfud MD (Menkopolhukam); dan Prof. Dr. Dadan Wildan (Staf Ahli Sekneg). Seluruh pakar itu yang merekomendasikan agar agar Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 dijadikan sebagai Hari Nasional.

Dalam bagian penutup naskah akademik disebut, peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 sangat penting ditetapkan sebagai Hari Nasional dengan nama “Hari Penegakan Kedaulatan Negara” dengan mempertimbangkan berbagai alasan. Di antaranya;
penulisan kembali sejarah tentang Serangan Umum 1 Maret 1949 yang selama ini telah mengesampingkan peran para tokoh utama bangsa seperti Soekarno, Muhammad-Hatta, Panglima Besar Jenderal Soedirman, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan tokoh-tokoh penting lainnya baik sipil maupun militer.

"Hari Penegakan Kedaulatan Negara (HPKN) dirumuskan tanpa penokohan terhadap figur tertentu yang dianggap memainkan peran sentral dimaksudkan untuk memberikan kejernihan berpikir bahwa upaya menegakkan kedaulatan negara bukanlah upaya individual tetapi sebuah upaya yang dilaksanakan secara kolektif seluruh komponen bangsa," bunyi bagian saran dalam bagian penutup naskah akademik.

Politikus Partai Gerindra Fadli Zon berpendapat, nama Soeharto mestinya disebut, begitu juga dengan sejumlah tokoh Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang memimpin pemerintahan saat serangan itu terjadi.

"Saat itu Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad-Hatta sedang diasingkan dan tidak bisa melakukan kegiatan pemerintahan. Sehingga yang memberikan persetujuan dalam serangan umum tersebut adalah tokoh PDRI," tuturnya dalam
channel YouTube Fadli Zon Official.

Sementara Lektol Soeharto, ujar Fadli, memiliki peran menjadi penyambung lidah antara pemerintah dan Jenderal Soedirman yang bergerilya keluar masuk hutan. Oleh karenanya, Fadli Zon meminta agar pemerintah melakukan revisi terhadap surat keputusan tersebut. "Jangan ada manipulasi atau pembelokan terhadap sejarah," tuturnya. "Saya berharap ada revisi Kepres, khususnya pada bagian pertimbangan terutama yang menyebutkan Sukarno-Hatta menyetujui dan menggerakkan. Menurut saya itu salah, karena mereka saat itu dalam masa penahanan".

DEWI NURITA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus