Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTARUNGAN dalam PPP, yaitu Syarifuddin Harahap dan Achda melawan Naro, tampaknya mulai memasuki ronde-ronde terakhir. Setelah lama ditunggu, Senin pekan ini keputusan untuk menindak kedua pembangkang itu akhirnya disebarkan. Dalam surat keputusan tertanggal 3 Desember, yang ditandatangani Ketua Umum J. Naro dan Sekjen Mardinsyah, DPP PPP memberhentikan Syarifuddin Harahap dan B. Tamam Achda selaku wakil ketua Majelis Pertimbangan Partai dan wakil ketua Departemen Luar Negeri/Anggota Pleno DPP PPP. Turunan keputusan tersebut dikirimkan kepada Mendagri, Menko Polkam, dan Pimpinan DPR. Menurut Anggaran Rumah Tangga PPP, anggota partai yang kena sanksi mempunyai hak membela diri. Ia dapat mengajukan banding kepada tingkat kekuasaan partai yang lebih tinggi sampai kepada muktamar. Syarifuddin dan Achda mengaku belum menerima SK itu. Tampaknya, mereka tidak terlalu khawatir. "Lucu," kata Achda. "Masakan kami berdua dianggap indisipliner." Menurut dia, justru DPP PPP yang telah melakukan tindakan indisipliner terhadap keputusan MPR. "PPP sekarang sudah lari, dan akan menjurus keluar dari sistem nasional. Masa, ada program partai yang ingin mencapai ukhuah Islamiyah, 'kan sekarang sudah tidak ada lagi partai Islam," kata Achda. Sikap Syarifuddin lebih keras. "Kepemimpinan Pak Naro sudah tidak bisa dipertahankan lagi, karena akan terjadi konflik ideologi dan intern PPP, di pusat dan daerah, bila Naro terus memimpin," katanya. Ia tidak takut diberhentikan atau di-recall. "Saya sudah berpengalaman menjadi anggota DPR. Masih banyak yang bisa saya kerjakan," katanya. Salah satu rencananya adalah menyemFurnakan DPP PPP dalam waktu dekat ini. Serangan bertubi-tubi Syarifuddin Harahap terhadap Naro, yang sering terasa kasar - termasuk pernyataannya untuk menyusun DPP tandingan - bisa jadi akan memukul balik dirinya, karena pemerintah cenderung tidak ingin "membongkar yang sudah jadi". Namun, Syarifuddin membela diri. "Apa perlu saya menghadapi Naro secara halus? Naro itu 'kan naiknya secara kasar sekali, makanya harus dihadapi seperti ini. Terserahlah orang untuk menilainya," katanya. Diakuinya, DPP Syarikat Islam telah menonaktifkan dia. "Itu ulahnya Naro. Ia kembali telah melakukan politik belah bambu," ucapnya. Bila Syarifuddin Harahap dan Achda diberhentikan dari kepengurusan PPP, bisa jadi keanggotaan mereka di DPR juga bakal dicopot. Apakah recalling (penarikan) keduanya akan segera dilaksanakan? Tampaknya tidak akan serta merta. Soalnya, penarikan dua orang anggota FPP, Murtadho Makmur dan Ruhani, yang disampaikan lewat surat kepada pimpinan DPR 5 November lalu, hingga kini belum terlaksana (Lihat: Box). Hingga, bisa dimengerti bila Naro kini bersikap berhati-hati, agar tidak lebih kehilangan muka jika usul penarikan Syarifuddin dan Achda nantinya juga macet. Masalah prosedur penarikan anggota DPR kini memang ramai dipersoalkan. Ketua DPR Amirmachmud pekan lalu menegaskan, "DPR bukan kantor pos, yang kalau ada surat masuk lalu segera meneruskan kepada alamat yang dituju." Menurut prosedur, keputusan penarikan anggota DPR disampaikan suatu fraksi kepada presiden, lewat pimpinan DPR. Tapi menurut UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, serta Tata Tertib DPR, pergantian itu sebelumnya harus lebih dulu dimusyawarahkan dengan pimpinan DPR. Tujuannya, menurut Amirmachmud, "Agar recalling itu benar-benar didasarkan atas kebenaran, rasionil, obyektif, tidak ada unsur-unsur pribadi, dan melalui penelitian yang mendalam." Yang menarik, masalah prosedur serta keterlibatan pimpinan DPR ini mendadak dikemukakan sekarang, padahal dulu-dulu hal ini tidak pernah dipersoalkan. Hingga ada dugaan, ini memang "disengaja" untuk mempersulit penarikan sejumlah anggota FPP saat ini. Hal inilah yang agaknya membuat Syarifuddin dan Achda lebih berani. Konsultasi DPP PPP dengan pimpinan DPR sebetulnya telah dilakukan, setelah pekan lalu Naro menemui Amirmachmud. Menurut Sekjen Mardinsyah, kini antara DPP PPP dan Pimpinan DPR "sudah ada saling pengertian". Namun, hingga akhir pekan lalu, penarikan Murtadho Makmur dan Ruhani masih belum terlaksana. "Masih dalam proses musyawarah antara Pimpinan Dewan dan pihak-pihak yang bersangkutan," kata Amirmachmud. Menurut Murtadho, pimpinan DPRmemberikan alternatif kepadanya: jika surat DPP tentang recalling itu diterimanya, maka pimpinan DPR akan mengajukannya kepada Presiden. Jika ditolak, akan dikembalikan kepada DPP PPP. Murtadho menolak penarikannya lewat surat pada 15 Desember lalu, sedang Ruhani pada 8 Desember. J. Naro, sebagai sarjana hukum, tampaknya akan menempuh cara yang legalistis dalam soal recalling itu. "Kini tinggal DPR lagi yang perlu digarap," katanya pada TEMPO Senin lalu. Angin baik tampaknya masih bertiup ke pihaknya. Maka, bisa dimaklumi kalau Naro kali ini melangkah lebih tenang dan hati-hati. Perhitungannya lebih didasarkan pada akal sehat, tidak sekadar menurutkan panas hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo